"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."
Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.
Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!
Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.
Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Napas di Ujung Maut
Bau obat-obatan yang tajam dan suara detak mesin monitor jantung yang monoton menjadi latar belakang kesadaran Risa Permata yang remang-remang. Pandangannya kabur, putih, dan berat. Paru-parunya terasa seperti diisi oleh pasir panas; setiap tarikan napas adalah perjuangan yang menyiksa. Gaun putih gading yang ia kenakan saat di panggung kabupaten kini telah diganti dengan gaun rumah sakit yang tipis dan kasar.
Risa tidak tahu berapa lama ia pingsan. Hal terakhir yang ia ingat adalah rasa manis yang aneh dari air pemberian Nyai Ratna, darah yang menetes ke mikrofon, dan wajah Doni yang tersenyum penuh kemenangan saat tubuh Risa menghantam lantai panggung.
"Dia masih belum mati juga?"
Suara rendah dan penuh kebencian itu menembus kabut kesadaran Risa. Itu suara Doni.
Risa mencoba menggerakkan jarinya, namun tubuhnya terasa seperti lumpuh. Ia hanya bisa membuka matanya sedikit, cukup untuk melihat bayangan Doni yang berdiri di samping tempat tidurnya. Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang masuk dari jendela rumah sakit yang tinggi. Tidak ada perawat, tidak ada penjaga. Doni telah memastikan ruangan VIP ini terisolasi dari dunia luar.
"Dokter bilang dosis racun dari Ibu seharusnya cukup untuk menghentikan jantungmu di atas panggung tadi, Risa," Doni berbicara sendiri, suaranya tenang namun mengandung kegilaan yang mengerikan. Ia mengelus selang oksigen yang terhubung ke hidung Risa. "Kau benar-benar keras kepala. Sama seperti ayahmu. Dia butuh waktu satu jam untuk mati di dasar jurang, dan kau... kau butuh waktu berhari-hari untuk menyerah."
Risa ingin berteriak, ingin mencakar wajah monster di depannya, namun ia hanya bisa mengeluarkan rintihan lemah yang diredam oleh masker oksigen.
"Acara di kabupaten tadi berantakan karena kau, tapi Ayah berhasil mengatasinya," lanjut Doni sambil tertawa kecil. "Wartawan diberitahu bahwa kau overdosis obat depresi karena merasa bersalah atas hutang ayahmu. Publik sekarang kasihan padaku, Risa. Mereka melihatku sebagai suami yang tabah menghadapi istri yang tidak stabil mentalnya."
Doni mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Risa. "Dan sekarang, babak terakhir harus selesai. Aku tidak bisa membiarkanmu bangun dan bicara pada orang-orang Adhyaksa itu."
Tangan Doni yang kasar perlahan bergerak menuju alat bantu napas. Jarinya memegang kabel listrik yang terhubung ke monitor jantung.
"Selamat tinggal, Istriku. Di kehidupan selanjutnya, pilihlah untuk menjadi orang yang bodoh agar kau tidak perlu menderita seperti ini," desis Doni.
Dengan satu sentakan kuat, Doni mencabut kabel utama. TEEEEEEET... Suara alarm monitor jantung memekik panjang, membelah kesunyian malam. Doni tidak berhenti di situ; ia menekan bantal ke wajah Risa, mencoba mempercepat proses kematiannya agar terlihat seperti gagal jantung saat tidur.
Risa meronta dengan sisa tenaganya. Kakinya yang patah terasa sangat nyeri saat bergesekan dengan seprai, namun ia tidak bisa melepaskan diri dari tekanan bantal Doni. Pandangannya mulai menghitam. Oksigen di paru-parunya habis.
Tuhan... apakah ini akhirnya? Apakah aku akan mati tanpa melihat mereka hancur?
Tiba-tiba, pintu kamar rawat dihantam terbuka dengan suara menggelegar.
BRAKK!
"ANGKAT TANGANMU, DONI WIJAYA!"
Sesosok pria jangkung dengan aura yang luar biasa kuat masuk ke dalam ruangan. Di belakangnya, beberapa pria berpakaian setelan hitam dengan senjata di tangan segera mengepung Doni.
Doni tersentak kaget dan melepaskan bantalnya. Risa terengah-engah, menghirup udara dengan serakah saat bantal itu terlepas. Ia melihat pria itu—sosok yang sama yang ia lihat di barisan depan penonton di kabupaten tadi siang.
Revano Adhyaksa.
Wajah Revano tampak sangat dingin, matanya yang tajam seperti pedang menatap Doni dengan kejijikan yang mendalam. Ia melangkah maju dengan tenang, namun setiap langkahnya seolah-olah membawa beban ribuan ton tekanan.
"Siapa kau?! Berani sekali kau masuk ke ruangan pribadiku!" teriak Doni, mencoba menutupi rasa takutnya yang mulai memuncak.
Revano tidak menjawab. Ia hanya memberikan isyarat kecil pada anak buahnya. Dua pria besar segera meringkus Doni dan menekan wajahnya ke dinding rumah sakit.
"Aku adalah orang yang seharusnya sudah kau takuti sejak kau pertama kali menyentuh aset keluarga Permata," suara Revano rendah dan berwibawa. Ia mendekati tempat tidur Risa, melihat kondisi Risa yang mengenaskan dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Kau... Revano Adhyaksa?" rintih Risa di balik masker oksigennya.
Revano menatap Risa sejenak, lalu tangannya yang terawat rapi bergerak memasang kembali kabel monitor jantung yang dicabut Doni. Suara alarm berhenti, digantikan oleh detak jantung yang kembali teratur.
"Jangan banyak bicara, Nona Risa. Kau aman sekarang," ujar Revano. Suaranya tidak hangat, namun penuh dengan rasa perlindungan yang kuat.
Doni meronta-ronta di tangan penjaga. "Kau tidak bisa melakukan ini! Aku suaminya secara sah! Aku punya hak hukum atas dia!"
Revano berbalik, menatap Doni dengan senyum miring yang meremehkan. "Hak hukum? Setelah apa yang kau lakukan di panggung tadi siang? Aku sudah memegang rekaman medis yang membuktikan adanya racun arsenik di dalam darahnya. Dan anak buahku baru saja merekam aksimu mencoba membunuhnya dengan bantal tadi."
Wajah Doni menjadi pucat pasi seputih kapas. "Rekaman...?"
"Ya. Rumah sakit ini sekarang berada di bawah pengawasanku. Pamanmu Hari, ayahmu Surya... mereka sedang sibuk menghadapi audit mendadak dari pusat. Kau sendirian sekarang, Doni," Revano mendekat ke arah Doni, lalu membisikkan sesuatu yang membuat Doni gemetar hebat. "Aku tidak akan membiarkanmu mati dengan mudah. Kau akan membusuk di penjara setelah melihat semua hartamu dirampas habis."
"Bawa dia keluar. Serahkan pada tim hukum," perintah Revano.
Doni diseret keluar dari ruangan seperti sampah. Suara teriakannya menghilang di lorong rumah sakit, meninggalkan Risa dan Revano dalam kesunyian ruangan VIP itu.
Risa menatap langit-langit ruangan, air mata perlahan mengalir di sudut matanya. Ia merasa seperti baru saja kembali dari gerbang neraka.
"Kenapa kau menolongku?" tanya Risa lirih. "Apa kau juga menginginkan koordinat tambang itu?"
Revano duduk di kursi di samping tempat tidur. Ia tidak menyangkal, namun ia juga tidak membenarkan. "Ayahmu, Baskoro, adalah rekan bisnis yang jujur. Ayahku berhutang nyawa padanya di masa lalu. Aku datang untuk melunasi hutang itu, sekaligus mengambil apa yang seharusnya menjadi milik Adhyaksa Group."
"Jadi kau sama saja dengan mereka..." bisik Risa dengan nada getir.
"Ada perbedaan besar antara mitra bisnis dan perampok, Risa," Revano menatap mata Risa dengan tajam. "Aku akan memberimu perlindungan, pengobatan terbaik, dan keadilan. Sebagai gantinya, kau harus memberikan semua informasi yang kau tahu tentang pengkhianatan di ladang utara."
Risa terdiam. Di dalam saku gaun rumah sakitnya, ia merasakan kancing perekam yang masih ada di sana. Pria misterius semalam berhasil menyelamatkannya ke dalam gaun baru ini saat ia pingsan.
"Aku punya rekaman pengakuan Doni," ujar Risa. "Dia mengaku membunuh Ayah. Dia mengaku melakukan ini semua untuk merampas aset Permata."
Mata Revano berkilat penuh minat. "Berikan padaku. Rekaman itu adalah paku terakhir untuk peti mati keluarga Wijaya."
Risa mengeluarkan kancing itu dan menyerahkannya pada Revano. Saat tangan mereka bersentuhan, Risa merasakan hawa dingin yang luar biasa dari Revano. Pria ini bukan orang baik—dia adalah penguasa bisnis yang kejam. Namun, di tengah lautan iblis yang ingin memakannya, Risa menyadari bahwa Revano adalah satu-satunya hiu yang bisa mengalahkan para serigala itu.
"Istirahatlah. Besok, tim pengacaraku akan datang untuk memulai proses perceraian dan pembatalan semua dokumen yang kau tanda tangani di bawah paksaan," ujar Revano sambil berdiri. "Rumahmu di desa sudah aku segel. Nyai Ratna dan Tante Dina sedang dalam pelarian."
"Paman Hari?" tanya Risa.
"Dia yang pertama kali menjual informasi tentangmu kepadaku saat dia tahu situasinya mulai tidak menguntungkan bagi Pak Surya," Revano menyeringai dingin. "Pamanmu itu benar-benar tikus yang pintar mencari kapal baru."
Risa menutup matanya. Pengkhianatan Paman Hari sudah tidak mengejutkannya lagi. Ia merasa sangat lelah, bukan hanya fisiknya, tapi jiwanya.
Keesokan paginya, berita besar mengguncang Desa Makmur dan kota kabupaten. Pak Surya resmi dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Kepala Desa karena dugaan korupsi lahan dan keterlibatan dalam kasus pembunuhan berencana. Doni Wijaya ditahan di sel khusus kepolisian kota.
Namun, kedamaian itu hanya sementara bagi Risa.
Saat Revano sedang tidak ada di rumah sakit, sesosok wanita masuk ke kamar rawat Risa. Ia menggunakan pakaian perawat lengkap dengan masker, namun Risa segera mengenali tatapan mata yang penuh kebencian itu.
Melati.
"Kau pikir kau sudah menang karena dilindungi oleh Adhyaksa?" Melati mendekati tempat tidur Risa dengan sebuah suntikan di tangannya. "Kau salah, Risa. Jika aku tidak bisa mendapatkan harta itu lewat Doni, maka tidak boleh ada seorang pun yang mendapatkannya. Termasuk kau."
Risa mencoba meraih tombol darurat di samping tempat tidurnya, namun Melati dengan cepat menepis tangannya.
"Pria Revano itu hanya memanfaatkanmu! Begitu dia mendapatkan koordinatnya, dia akan membuangmu ke selokan!" geram Melati. "Lebih baik kau mati sekarang di tanganku daripada melihat musuh-musuhmu berpesta di atas tanah ayahmu!"
Melati menekan leher Risa dengan satu tangan, sementara tangan lainnya bersiap menyuntikkan cairan bening ke selang infus Risa.
"Katakan padaku! Di mana koordinat itu?! Jika kau memberitahuku sekarang, aku akan membiarkanmu hidup!" Melati mengancam dengan suara yang gemetar karena amarah dan ketakutan.
Risa menatap Melati dengan tatapan yang sangat tenang—tatapan seseorang yang sudah tidak takut lagi pada kematian. "Kau tahu, Melati? Di kehidupan ini, aku kehilangan segalanya. Tapi aku tidak akan membiarkan wanita rendahan sepertimu mendapatkan satu inci pun dari tanah Ayahku."
"JALANG!" Melati hendak menekan jarum suntik itu, namun pintu kamar kembali terbuka.
Seorang wanita tua masuk dengan membawa nampan makanan. Bi Nah!
"NON RISA!" teriak Bi Nah melihat Melati. Ia langsung menjatuhkan nampannya dan menerjang Melati dengan seluruh kekuatannya.
Perkelahian terjadi di dalam kamar rawat yang sempit itu. Melati yang muda dan kuat berhasil mendorong Bi Nah hingga terjatuh, namun keributan itu menarik perhatian penjaga Revano di luar.
Melati panik. Ia menyadari waktunya habis. Ia melempar suntikan itu ke arah Risa dan lari menuju jendela rumah sakit, nekat melompat dari lantai dua ke arah atap paviliun di bawahnya.
Bi Nah merangkak mendekati Risa, memeluknya sambil menangis. "Non... Non tidak apa-apa?"
Risa hanya bisa mengangguk lemah. Ia melihat ke arah pintu, berharap Revano masuk. Namun yang masuk adalah asisten Revano, seorang pria berkacamata bernama Leo.
"Tuan Revano sedang ada urusan mendadak di kantor pusat. Dia memerintahkan untuk memindahkan Anda ke kediaman Adhyaksa malam ini juga," ujar Leo dengan nada formal. "Tempat ini sudah tidak aman."
Risa dibawa pergi dari rumah sakit dalam pengawalan ketat. Saat mobil mewah itu meluncur meninggalkan area rumah sakit, Risa melihat bayangan Melati yang berdiri di pinggir jalan dengan wajah hancur, menatap mobil itu dengan dendam yang semakin dalam.
Di kediaman Adhyaksa yang megah—sebuah mansion di atas bukit yang lebih mirip benteng daripada rumah—Risa ditempatkan di sebuah kamar yang sangat mewah. Namun, ia merasa seperti berpindah dari satu penjara ke penjara lainnya.
Malam itu, Revano datang menemuinya. Pria itu tampak lelah, dasinya sudah longgar.
"Melati berhasil kabur. Dia memiliki koneksi dengan sindikat perdagangan gelap di perbatasan," ujar Revano sambil menuangkan minuman untuk dirinya sendiri. "Dan pamanmu, Hari... dia ditemukan tewas di kamar hotelnya dua jam yang lalu. Serangan jantung, menurut polisi."
Risa membeku. "Paman Hari... mati?"
"Tepat setelah dia memberikan semua dokumen padaku," Revano menatap Risa. "Sepertinya ada pihak ketiga yang tidak ingin rahasia ini terbongkar sepenuhnya. Seseorang yang lebih besar dari keluarga Wijaya."
Risa menyadari bahwa penderitaannya belum berakhir. Ia telah lolos dari cengkeraman Doni, namun ia sekarang berada di tengah pusaran badai yang jauh lebih besar.
"Risa," Revano mendekat, suaranya kini terdengar lebih serius. "Besok adalah pembacaan wasiat ayahmu yang sebenarnya. Ada satu syarat di dalam wasiat itu yang harus kau penuhi agar Adhyaksa Group bisa mengambil alih perlindungan atas seluruh aset Permata secara permanen."
"Apa syaratnya?" tanya Risa.
Revano menatap mata Risa dalam-dalam. "Kau harus menikah denganku. Secara hukum. Hanya dengan begitu, aku memiliki dasar legal untuk bertarung melawan konsorsium yang membunuh ayahmu."
Risa tertawa pahit, air mata kembali mengalir di pipinya. "Menikah lagi? Baru kemarin aku hampir mati di tangan suamiku, dan sekarang kau memintaku masuk ke dalam sangkar yang lain?"
"Bedanya, Risa," Revano memegang dagu Risa, memaksanya menatap matanya yang dingin namun penuh determinasi. "Di sangkar ini, kau akan menjadi ratunya. Dan aku akan memberikanmu pedang untuk membalas dendam pada setiap orang yang pernah menyentuhmu. Pilihlah: Menjadi janda yang diburu seumur hidup, atau menjadi Nyonya Adhyaksa yang ditakuti dunia."
Risa terdiam di bawah rembulan yang pucat. Ia melihat ke arah tangannya yang hancur. Ia melihat kakinya yang dibalut gips.
Di kehidupan pertama ini, Risa Permata mengambil keputusan paling berisiko dalam hidupnya. Ia menerima tangan Revano, bukan karena cinta, tapi karena ia butuh kekuatan iblis untuk menghancurkan para iblis.
"Baiklah, Revano. Aku akan menikahimu. Tapi ingat satu hal..." bisik Risa dengan nada yang sangat dingin. "Jika kau mengkhianatiku seperti yang dilakukan Doni, aku sendiri yang akan memastikan seluruh dinasti Adhyaksa runtuh bersamaku."
Revano menyeringai, sebuah seringai yang menandai dimulainya aliansi berdarah. "Aku sangat menantikannya, Nyonya Adhyaksa."
[HOOK/CLIFFHANGER]
Malam itu, saat Risa sedang beristirahat, ia tanpa sengaja mendengar percakapan Revano di telepon di ruang sebelah.
"Ya, rencananya berjalan sempurna. Dia sudah setuju untuk menikah," suara Revano terdengar sangat berbeda, penuh dengan kelicikan. "Begitu pernikahan sah, koordinat tambang itu akan menjadi milik kita sepenuhnya. Baskoro memang bodoh, dia pikir aku akan benar-benar melindungi putrinya."
Risa terpaku di balik pintu. Jantungnya berdegup kencang. Ternyata, "penyelamat"-nya tidak berbeda dengan para "perampok" yang lain. Ia baru saja keluar dari mulut buaya, dan masuk ke dalam mulut singa.
Namun, kali ini Risa tidak menangis. Ia menggenggam erat perekam kancing di tangannya.
"Kau salah, Revano," bisik Risa dalam kegelapan. "Kali ini, aku yang akan memainkan permainannya."