NovelToon NovelToon
Wild, Wicked, Livia !!!

Wild, Wicked, Livia !!!

Status: sedang berlangsung
Genre:Gadis nakal / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Mengubah Takdir
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.

Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.

Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.

Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 14 Penolakan yg berulang

Begitu amarahnya mereda, Veronica duduk terkulai di tepi ranjang. Nafasnya masih tersengal, namun air mata sudah berhenti mengalir. Narendra membantu merapikan rambutnya yang kusut dan mengambilkan selimut.

“Minum dulu,” ucap Narendra pelan sambil menyodorkan segelas air.

Veronica menerimanya dengan tangan yang sedikit gemetar.

“Terima kasih…” gumamnya, suaranya jauh lebih lembut daripada sebelumnya.

Narendra membantu melepas cardigan yang dipakainya, mengatur posisi bantalnya, dan memastikan Veronica nyaman. Ia menyelimuti tubuh istrinya dengan hati-hati, seakan menyelimuti sesuatu yang rapuh.

Setelah semuanya rapi, Narendra mulai bersiap untuk berbaring di sisi ranjang yang lain, tempatnya biasanya tidur.

Namun tiba-tiba tangan Veronica menahan dadanya.

“Jangan tidur di sini,” ucapnya datar tapi tegas.

Narendra menoleh, sedikit tidak percaya.

“Ver… kita suami istri. Kita harusnya tidur bersama. Sudah cukup lama kamu memisahkan diri.”

Veronica memalingkan wajah. “Aku tidak nyaman kalau kamu ada terlalu dekat.”

Narendra menarik napas, mencoba menahan rasa tersinggungnya.

“Tidak nyaman, atau kamu menghindar?”

Nada suaranya tegas, tapi bukan marah, lebih seperti seseorang yang sudah terlalu sering dipukul oleh keadaan.

Veronica menggigit bibirnya, ia tidak menjawab.

Narendra melanjutkan, suaranya lebih berat.

“Ver… aku juga manusia. Aku juga punya emosi. Punya kebutuhan. Kita sudah berbulan-bulan tidur terpisah. Setiap kali aku mencoba mendekat, kamu selalu menolak.”

“Ren…” suara Veronica lirih. “Aku takut kamu jijik. Aku tidak sempurna lagi…”

Narendra menggeleng keras. “Bukan itu masalahnya. Tapi kamu terus mendorongku menjauh. Kamu tidak pernah membiarkanku menyentuhmu, bahkan sekadar untuk memelukmu.”

Air mata kembali menggenang di mata Veronica. “Aku… aku tidak bisa. Aku takut kamu kecewa.”

Narendra mengusap wajahnya sendiri, ia lelah mendengar alasan Veronica yang template

“Kamu istriku. Aku tidak pernah menuntut lebih dari itu. Tapi kamu tidak bisa terus mengusirku seperti ini.”

Ia menatap Veronica dalam-dalam.

“Ini rumah kita. Ranjang kita. Aku suami kamu, Veronica.”

Namun Veronica tetap keras kepala. “Aku bilang, jangan tidur di sini.” Suaranya bergetar namun tetap memaksa.

Narendra terdiam.

Diam panjang.

Akhirnya ia mundur selangkah, dengan hati yang pasrah.

“Oke,” ucapnya pendek, kecewa terselubung dalam ketenangan.

Veronica menutup wajahnya dengan selimut, tubuhnya gemetar karena campuran rasa takut dan rasa bersalah.

Narendra berjalan keluar dari kamar dengan langkah berat, bukan karena fisiknya lelah, tapi karena hatinya terasa kosong.

Dan ketika pintu kamar menutup perlahan di belakangnya… Ia tahu jarak di antara mereka semakin lebar.

Lebih lebar dari sebelumnya.

Lebih sepi daripada malam mana pun.

Narendra menutup pintu kamar tamu dengan sedikit hentakan, tidak keras, tapi cukup untuk menunjukkan betapa lelah dan kesalnya ia malam itu. Ranjang yang sudah berbulan-bulan ia tiduri sendirian terasa dingin, lebih dingin dari biasanya. Ia duduk di tepi kasur, menatap lantai yang remang-remang.

Ia mengusap wajahnya kasar.

“Aku sudah mencoba… tapi dia tetap begitu.”

Ia sudah berusaha memperbaiki rumah tangganya, lebih sabar, lebih pengertian, lebih baik dari yang mungkin layak ia lakukan. Namun Veronica… selalu keras kepala. Selalu defensif. Selalu memutar arah kesalahan.

Narendra menyandarkan punggung ke headboard ranjang, kepalanya menengadah. Dan mau tidak mau, bayang-bayang kejadian dua tahun lalu muncul lagi, tajam seperti duri.

Hari ketika hidup mereka berubah.

Veronica terbaring di ranjang rumah sakit, wajahnya penuh lebam, kakinya patah parah hingga tak bisa berjalan. Tangisnya pecah setiap kali ingat bagaimana mobil yang ia kendarai, mobil sport kesayangannya melaju tanpa kendali di jalan menurun usai pesta alkohol bersama teman-temannya.

Kecelakaan tunggal.

Karena mabuk.

Karena ceroboh.

Tapi…

Veronica menatap Narendra dengan mata merah dan penuh kebencian, sambil berteriak:

“Ini semua salah kamu! Mobil itu tidak kamu rawat! Kalau remnya tidak blong aku tidak akan begini!”

Narendra terdiam waktu itu. Terpukul. Bingung. Terluka.

Padahal ia sudah berkali-kali mengingatkan Veronica untuk selalu berhati-hati, selalu mengecek mobilnya, tetapi Veronica selalu menolak dengan alasan sibuk ataupun malas.

Semua orang tahu itu kecelakaan akibat kelalaiannya sendiri. Tapi dalam dunia Veronica, tak satu pun salah adalah miliknya.

Narendra menutup mata.

“Aku sudah maafkan dia… tapi dia tidak pernah memaafkan dirinya sendiri. Dan sayangnya, dia tidak akan pernah berhenti menyalahkanku.” Ia menghela napas panjang, mengusap tengkuknya yang tegang.

Pikirannya kacau, rumah tangganya kacau, dan malam itu… ia merasa terjebak dalam lingkaran yang tak pernah berubah.

Namun tanpa ia sadari, ada satu kilas singkat yang kembali muncul di benaknya, tatapan Livia yang polos dan jujur, ekspresinya ketika lemah, kulitnya yang panas dalam genggamannya, dan tato indah di punggung gadis itu.

Narendra membuka mata, menatap hampa. Ia merasa rumah bukan lagi tempat ia ingin kembali. Dan itu membuat dada lelaki itu terasa semakin sesak.

 

Pagi itu matahari belum naik sepenuhnya ketika Narendra bangun. Cahaya subuh yang lembut menyelinap dari celah gorden, namun bukan itu yang membuatnya terjaga.

Ia menatap langit-langit kamar tamu beberapa detik, menarik napas panjang, lalu bangkit.

Ia tidak ingin melihat wajah muram Veronica pagi ini.

Tidak ingin bertengkar lagi, tidak ingin memulai hari dengan sunyi yang menyesakkan.

Lebih baik pergi.

Menyegarkan kepala. Mengatur ulang napas. Mencari tempat di mana pikirannya bisa diam sebentar.

Narendra mengenakan baju olahraganya, kaos hitam sederhana, celana training, dan sepatu lari yang ia selalu gunakan untuk olahraga. Ia bahkan menahan diri agar tidak membuat suara apa pun saat keluar dari kamar, tidak ingin membangunkan Veronica.

Rumah masih gelap dan dingin saat ia mengambil kunci mobil. Sesampainya di garasi, ia sempat memandangi rumah besar itu.

Rumah yang megah…

Namun semakin terasa kosong baginya. Narendra menghela napas dan masuk ke mobil.

...🍃...

Stadion kota sudah tampak dari kejauhan ketika langit berubah menjadi jingga muda. Beberapa pelari lain sudah memulai rutinitas pagi mereka. Narendra memarkirkan mobil, memasang earphone, dan mulai berlari perlahan mengitari lintasan.

Gerakan pertama selalu yang paling sulit. Begitu banyak beban yang menempel di bahu, pikiran, dan dada.

Tiap langkah terasa seperti upaya melepaskan sedikit demi sedikit tekanan itu.

Tek… tek… tek…

Sepatu Narendra menghantam lintasan, ritme stabil yang mulai menenangkan.

Udara pagi segar, dingin dan melegakan, sesuatu yang tidak ia rasakan di rumah.

Di tempat ini ia bisa bernafas lega.

Namun sekuat apa pun ia mencoba fokus pada larinya… Bayangan Veronica yang menangis dan marah terus muncul. Bayangan pernikahan yang retak, yang tidak pernah sembuh.

Dan entah kenapa bayangan Livia muncul menyelip, tanpa permisi.

Narendra mempercepat larinya. Seolah berusaha berlari menjauh dari semua itu.

Tapi hati?

Sulit diajak berlari.

Tetap tinggal dan memikirkan apa yang tidak seharusnya dipikirkan.

Narendra berhenti di pinggir lintasan, sedikit membungkuk sambil menahan lutut, mencoba mengatur napas yang mulai berat. Keringat menetes dari pelipisnya, ritme jantungnya masih kencang akibat pelariannya yang terlalu cepat.

Ia menarik napas panjang, lalu menegakkan tubuh.

Dan saat itu, matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang sangat ia kenal. Seorang perempuan berjalan pelan keluar dari area tangga stadion, mengikat rambut panjangnya yang sedikit berantakan.

Tank top olahraga warna hitam yang ketat membalut tubuhnya, memperlihatkan garis bahunya yang lentik dan tato bunga mawar kecil di tulang selangkanya. ia juga mengenakan Legging ketat yang menonjolkan lekuk kaki jenjangnya.

Narendra spontan terdiam.

Bukan karena pakaian itu vulgar, bukan.

Tapi karena penampilannya terlalu… berbeda.

Terlalu mencolok.

Terlalu hidup.

Perempuan itu adalah, Livia.

Ia mengenakan pakaian olahraga yang benar-benar tidak pernah Narendra bayangkan akan ia lihat padanya, ketat, terbuka, dan begitu percaya diri. Bahkan di bawah sinar pagi yang lembut, Livia seperti pusat perhatian.

Livia melakukan sedikit stretching, mencondongkan badan ke depan, lalu ke samping. Gerakannya luwes, santai, seolah tubuhnya sudah sangat terbiasa bergerak.

Narendra tiba-tiba merasa tidak bisa mengalihkan pandangan.

Kenapa dia ada di sini? Kenapa sendirian? Kenapa… aku harus bertemu dengannya disini ?

Livia tampak belum menyadari keberadaannya. Earphone menempel di telinganya, dan kepalanya sedikit ikut mengikuti irama musik yang ia dengarkan. Sesekali ia tersenyum kecil, senyum yang jauh lebih nyata dibanding yang pernah ia tunjukkan di kantor.

Narendra menelan ludah tanpa sadar.

Ia tidak tahu apakah itu karena kelelahan setelah berlari… Atau karena sosok Livia yang tiba-tiba muncul seperti itu di saat ia sedang butuh jeda dari semua beban hidupnya.

Dan ketika akhirnya Livia melihat ke arahnya… Ia berhenti. Alisnya terangkat sedikit.

Mata mereka bertemu.

Dunia terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Hanya ada detak jantung Narendra yang tak bisa ia kendalikan.

“Pak Narendra?”

Suara Livia terdengar terkejut, namun tidak seketus biasanya.

Narendra berdiri tegak, berusaha terlihat santai meski dadanya masih berdebar.

“Pagi, Livia.”

Suara lelaki itu lirih, nyaris serak.

Pagi yang tadinya tenang… tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang sulit ia definisikan.

Dan kali ini, Narendra sadar... Livia tidak hanya mengganggu pikirannya.

Dia mulai mengacaukan detak jantungnya.

...🥂...

...🥂...

...🥂...

...Bersambung......

1
kalea rizuky
jangan jd pelakor
septi fahrozi
semakin penasaran jadinya ngapain mereka... 🤣🤣
Priyatin
ho ho ho kok semakin rumit hubungannya othor😰😰😰
Priyatin
lama kali nunggu up nya thor.
lanjut dong🙏🙏🙏
Wita S
kerennn
Wita S
ayoo up kak...ceritanya kerennnn
Mian Fauzi: thankyou 🫶 tp sabar yaa...aku masih selesain novelku yg lain hehe
total 1 replies
Siti Naimah
ampun deh...belum apa2 Livia sudah mendapat kekerasan dari dimas.sebaiknya sampai disini saja livia.gak usah diterusin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!