Seorang pemuda tampan yang katanya paling sempurna, berkharisma, unggul dalam segala bidang, dan yang tanpa celah, diam-diam menyimpan sebuah rahasia besar dibalik indahnya.
Sinan bingung. Entah sejak kapan ia mulai terbiasa akan mimpi aneh yang terus menerus hadir. Datang dan melekat pada dirinya. Tetapi lama-kelamaan pertanyaan yang mengudara juga semakin menumpuk. "Mengapa mimpi ini ada." "Mengapa mimpi ini selalu hadir." "Mengapa mimpi ini datang tanpa akhir."
Namun dari banyaknya pertanyaan, ada satu yang paling dominan. Dan yang terus tertanam di benak. "Gadis misterius itu.. siapa."
Suatu pertanyaan yang ia pikir hanya akan berakhir sama. Tetapi kenyataan berkata lain, karena rupanya gadis misterius itu benar-benar ada. Malahan seolah dengan sengaja melemparkan dirinya pada Sinan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yotwoattack., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A M BAB 09 - semakin dekat.
Hari-hari setelahnya berjalan sebagaimana biasa dengan hubungan keduanya yang kian dekat. Usaha Sinan yang sejak awal excited sendiri kini membuahkan hasil, bisa dilihat dari wajah Dinya yang sekarang sudah mulai menunjukan raut bervariasi. Tak hanya datar.
"Nyontek." Gadis itu bergeser mendekat. "Yang fisika sama matematika juga."
Mendapati untuk yang kesekian kalinya gadis itu mencontek dan tidak mengerjakan soal-soal yang guru berikan sendiri, Sinan hanya terkekeh. Pemuda tampan itu malah dengan enteng menggeser bukunya diatas meja. Mendekatkan buku pada gadis pemalas itu.
Srek.
Ngomong-ngomong sekarang mereka teman sebangku. Tentu itu bisa terjadi atas kehendak Sinan yang dengan santai meninggalkan teman sebangku lamanya untuk bisa duduk dengan Dinya.
"Kapan-kapan terima tawaran aku makanya. Biar kamu bisa ngerjain sendiri." Kata Sinan sambil menopang dagunya.
Sebelumnya pemuda itu sudah beberapa kali memberikan penawaran untuk dirinya bisa mengajari Dinya. Bukan karena ia keberatan dicontek atau apa, ia hanya ingin gadis itu sedikit paham paling tidak mengerti.
"Ngapain, kalau ada yang mudah kenapa harus yang susah. " Santai gadis itu tanpa menoleh sebelum kembali melanjutkan kegiatan mencatatnya. Membuat Sinan mendengus lalu terkekeh geli.
Hampir satu minggu mengenal Dinya, pemuda yang dulunya hanya memiliki peran belajar dan belajar itu mulai bisa menyimpulkan beberapa hal mengenai sifat dan tingkah gadis tersebut. Satu malas, dua tidak pernah ingin bersusah payah.
Sembari masih terkekeh tangan Sinan terulur untuk memainkan ujung rambut dari gadis yang sedang dalam jarak begitu dekat dengannya. Surai Dinya hitam legam, begitu tebal dan panjang dengan gelombang manis di bagian ujung.
"Gimana." Ujarnya dengan sorot terpaku pada gadis itu. "Udah sejauh ini gak ada yang ganggu, kan?"
Karena tak mendapati adanya respon, pemuda itu hanya terkekeh sembari tangannya masih bergerak gencar.
"Hm hm hmm.." Sinan bersenandung. "Kamu pakai shampo apa.. wanginya enak." Tangan besar dengan jari-jemari yang kokoh dan lentik itu terus memainkan ujung rambut Dinya. Awalnya memang hanya memutar-mutarnya saja namun lama-kelamaan gerakan itu merembet ke pucuk kepala dan memberi usapan disana. Lalu jari nakal itu menoel-noel pipi si gadis yang hanya fokus pada kegiatan mencatatnya.
"Dinya." Sinan memanggil dalam keadaan tangan yang masih memegangi pipi gadis itu. "Pipinya aku bantu pegangin. Takut jatuh."
Plak!
Tawa pemuda itu seketika menyembur. Bukannya mengaduh ia malah merasa geli dengan tepukan kecil yang barusan dilayangkan Dinya pada dadanya. Bahkan saat ini gadis itu masih menatapnya nyalang.
"Habisnya diajak ngobrol gak nyaut, kebiasaan banget." Sinan masih geli. Senyumnya bahkan hampir melebar sampai ke telinga apabila tidak ditahan. "Ngomong-ngomong muka kamu kalau lagi marah gitu tambah lucu."
Seseorang yang diajak bicara mendengus lalu kembali berkutat pada catatan yang tinggal sedikit. Setelah dirasa selesai, gadis itu lantas menoleh garang pada Sinan. Berniat melanjutkan amarah yang tertunda.
"Makin dibiarin lo makin nyebelin sumpah." Kesalnya sebelum menyapu pandangan pada sekeliling. "Kalau lagi gak banyak orang serius udah gue gaplok."
Seketika tawa pemuda itu mengudara. Kekehan renyah yang dilayangkan berakhir pada sapuan air mata geli. Sinan mendekat, menyandarkan kepalanya pada pundak Dinya dengan punggung yang masih bergetar.
"Ya ampun, kenapa gak dari dulu-dulu aja kita ketemu." Komentar pemuda itu. "Biar aku gak usah cari-cari muka dan fokus sama kamu aja."
Ingatan Sinan sedikit terlempar ketika ia baru memasuki SMP dan SMA yang berjalan dengan penuh kepalsuan. Ia dituntut untuk menunjukkan sikap dan perilaku yang sempurna sampai dengan tanpa sadar ia seperti membuat dinding pemisah antara jati dirinya dan 'dia' yang dipandang orang banyak.
Menyandarkan diri dengan lebih dalam pada Dinya, tangan Sinan lantas kembali memainkan ujung rambut gadis itu.
"Dinya, kira-kira kamu tertarik gak sama cowo caper." Ujarnya tiba-tiba. " Cowo yang pengennya dipandang sempurna terus."
Sebelum menyahut Dinya sempat mendorong kepala Sinan sampai pemuda itu berduduk tegak dan menopang dagunya. Seolah menunggu kalimat yang akan keluar dari gadis itu.
"B aja."
Apa yang keluar tak ayal langsung menciptakan kerutan pada dahi seseorang yang dibuat menunggu. Dari pandangan Sinan seolah mengatakan 'tambahin atau aku cium' yah.. kira-kira begitu.
"Gue kurang perduli mau caper atau enggak. Kerabat bukan apa bukan, ngapain gue urusin." Santai gadis itu. "Tapi kalau ditanya tertarik atau enggaknya.. tergantung siapa cowonya dulu."
Deg..
Entah mengapa kalimat datar yang dilayangkan sambil sedikit meliriknya itu lagi-lagi menciptakan reaksi aneh. Sambil menahan senyum pemuda itu kembali mendekat, ingin bersandar lagi namun buru-buru ditepis.
"Ehehe, bikin baper aja." Ujarnya sembari mengelus leher dengan canggung. "Kalau cowonya aku gimana tuh."
Tak berselang lama setelah ujaran Sinan melayang bell masuk malah berbunyi dan membuat obrolan keduanya terhenti disitu. Membuat menit-menit Sinan berikutnya dilalui dengan bosan. Sebagaimana biasa, guru yang masuk segera mengajar dan para murid yang ada lantas mulai berfokus kepada pelajaran. Namun ditengah-tengah pelajaran itu, si bapak guru malah memanggil.
"Dinya. Sinan." Ujarnya yang langsung menciptakan atensi seisi kelas tertuju pada dua murid paling pojok. "Kemari kalian."
Dinya meringis seolah tahu apa yang selanjutnya akan terjadi. Sembari menyenggol pemuda disebelahnya ia lantas berdiri lalu berjalan menghampiri si bapak dengan Sinan yang membuntuti dari belakang.
"Dinya, saya tahu kamu mencontek." Sambut guru itu ketika keduanya baru sampai. Sambil menyodorkan buku catatan sambil pandangan si guru menelisik anak baru tersebut dari atas sampai bawah. "Mau bagaimanapun kamu berusaha untuk ngubah tulisannya, tetep bakal keliatan di mata saya."
Sinan yang secara diam-diam disenggol gadis itu tak bisa berbuat banyak. Ia hanya berdiri tegak disamping Dinya dengan tatapan seisi kelas yang tertawa dibalik punggungnya.
"Padahal kamu murid baru loh." Ujar si bapak sembari mengedarkan tatapan pada pemuda disamping Dinya. "Dan kamu Sinan, gak biasa-biasanya kamu ngebiarin orang nyontek ke kamu."
Itu benar, meski Sinan dikenal ramah dan baik. Sejauh ini tiada yang bisa membuka buku atau bahkan tas pemuda tersebut. Ia paling pelit dalam urusan itu, dan fakta tersebut berlaku untuk semua orang tak terkecuali Max dan yang lain.
"Huh." Si bapak hanya menghembuskan nafas. "Yasudah yasudah. Kalian boleh kembali. Kalau sekali lagi kejadian ini terulang, saya gak bakal selembut ini. Mengerti?"
Setelah melayangkan anggukan lemah, gadis datar itu lantas mengayun tungkainya dengan Sinan dibelakang yang mengamati bagaimana layu punggung Dinya. Rasanya ingin tertawa namun pemuda itu sadar bahkan ini bukan saatnya.