Di Desa Fuyun yang terkubur salju, Ling Tian dikenal sebagai dua hal yakni badut desa yang tak pernah berhenti tertawa, dan "Anak Pembawa Sial" yang dibenci semua orang.
Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum konyol dan sikap acuh tak acuh itu, tersimpan jiwa yang lelah karena kesepian dan... garis darah monster purba yang paling ditakuti langit yakni Kunpeng.
Enam puluh ribu tahun lalu, Ras Kunpeng musnah demi menyegel Void Sovereign, entitas kelaparan yang memangsa realitas. Kini, segel itu retak. Langit mulai berdarah kembali, dan monster-monster dimensi merangkak keluar dari bayang-bayang sejarah.
Sebagai pewaris terakhir, Ling Tian dipaksa memilih. Terus bersembunyi di balik topeng humornya sementara dunia hancur, atau melepaskan "monster" di dalam dirinya untuk menelan segala ancaman.
Di jalan di mana menjadi pahlawan berarti harus menjadi pemangsa, Ling Tian akan menyadari satu hal yakni untuk menyelamatkan surga, dia mungkin harus memakan langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alvarizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11: Setetes Lautan Purba
Ruangan di balik pintu batu itu tidak besar. Tidak ada gunungan koin emas, tidak ada senjata pusaka yang tertancap di batu, yang ada hanya sebuah keheningan biru.
Dinding ruangan itu terbuat dari kristal Deep Sea yang memancarkan cahaya redup, menerangi ruangan dengan nuansa seperti di dasar samudra. Udaranya berat, lembap, dan asin. Saat Ling Tian melangkah masuk, dia merasa seolah sedang berjalan menembus air, meski kakinya memijak lantai batu kering.
Di tengah ruangan, terdapat sebuah altar sederhana dari batu karang putih. Dan di atas altar itu, melayang sebuah benda.
Setetes cairan.
Ukurannya hanya sebesar ibu jari, berwarna emas kebiruan, berputar pelan pada porosnya sendiri. Cairan itu memancarkan tekanan yang mengerikan seolah-olah seekor raksasa sedang berdiri di sana, menekan dada Ling Tian hingga sesak napas.
"Cantik..." bisik Ling Tian. Matanya terpaku. Rasa sakit dan mual akibat memakan kelelawar tadi mendadak hilang, digantikan oleh rasa hormat yang aneh.
"Itu dia," suara Tuan Kun terdengar khidmat, hampir seperti berbisik di dalam gereja suci. "Darah Esensi Kunpeng. Sisa peninggalan dari tubuhku yang dulu pernah terluka di era perang pertama."
Tuan Kun melayang mengelilingi tetesan itu.
"Darah ini mengandung memori genetik ras kami. Dan yang lebih penting... ia mengandung kekuatan regenerasi 'Samudra Kehidupan'. Ini adalah obat penawar sempurna untuk tubuhmu yang mulai rusak karena racun dan mineralisasi."
Ling Tian melangkah mendekat. Lututnya gemetar. Tekanan dari setetes darah ini lebih kuat daripada tekanan Utusan Sekte Li Yanzhi.
"Jadi..." Ling Tian menelan ludah. "Aku tinggal meminumnya?"
"Meminumnya?" Tuan Kun tertawa pendek, "Kalau kau menelannya lewat mulut, perutmu akan meledak, kerongkonganmu akan leleh, dan kau akan mati dalam bentuk bubur daging."
Ling Tian berhenti selangkah dari altar. "Oke. Terdengar menyenangkan. Jadi bagaimana caranya?"
"Serap lewat Jantungmu."
Tuan Kun menunjuk dada kiri Ling Tian dengan sirip transparannya.
"Buka bajumu. Tempelkan tetesan itu tepat di atas jantungmu. Biarkan 'Gerbang' di dalam dirimu yang menariknya masuk. Tapi ingat, Ling Tian..."
Wajah roh kecil itu berubah serius.
"Proses ini akan menghancurkan darah manusiamu yang kotor untuk digantikan dengan darah purba. Rasanya tidak akan seperti dipijat. Rasanya akan seperti seluruh tulangmu dicabut satu per satu lalu dipasang lagi secara paksa."
"Kau bisa mati karena syok rasa sakit. Kau siap?"
Ling Tian menatap dadanya yang penuh luka cakar. Dia kemudian menatap tangannya yang kasar. Dia teringat wajah merendahkan Li Wei, tatapan dingin Xueya, dan senyum palsu Kepala Desa. Dia tidak punya pilihan. Menjadi manusia berarti menjadi injakan kaki manusia kuat lainnya.
"Tuan Kun," Ling Tian tersenyum miring, membuka kancing baju goninya yang sudah compang-camping, membiarkannya jatuh ke lantai. Dadanya kurus, penuh memar ungu dan goresan darah yang telah mengering.
"Rasa sakit itu seperti teman lama. Dia satu-satunya yang setia menemaniku sejak kecil."
Ling Tian segera maju. Dia mengulurkan tangan kanannya, menyentuh tetesan emas itu perlahan, lalu dengan gerakan cepat, menempelkannya ke dada kirinya tepat di atas jantung.
Hening sedetik.
Lalu...
JLEB.
Cairan emas itu tidak menetes. Ia menyusup masuk. Ia menembus kulit dan daging Ling Tian seperti besi panas menembus mentega.
"Hhh..."
Mata Ling Tian melotot. Mulutnya terbuka untuk berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar.
Darah emas itu masuk ke jantungnya.
DUM!
Jantungnya berhenti berdetak sesaat, lalu memompa dengan kekuatan seratus kali lipat.
DUM! DUM! DUM!
Terasa panas namun bukan panas layaknya api. Ini panas yang mendidih. Ling Tian merasa darah di dalam venanya berubah menjadi lahar cair. Dia jatuh berlutut, mencengkeram dadanya.
"ARGHHHHHHHH!"
Jeritan itu akhirnya pecah. Menggema memantul di dinding kristal.
Tubuh Ling Tian mengejang. Pembuluh darah di leher, wajah, dan lengannya menonjol keluar, berubah warna menjadi biru bersinar. Kulitnya mulai retak-retak seperti tanah kemarau, mengeluarkan asap putih.
"Tahan!" teriak Tuan Kun. "Jangan pingsan! Fokuskan pikiranmu! Arahkan energinya ke tulang belakang!"
Ling Tian menggigit bibirnya sampai berdarah untuk tetap sadar. Sakitnya luar biasa. Rasanya seperti ada jutaan semut api yang memakan dagingnya dari dalam, sementara tulang-tulangnya diremukkan oleh palu godam.
Kotoran hitam berbau busuk mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Itu adalah residu, kotoran, dan kelemahan genetik manusia yang dibuang paksa oleh setetes darah Kunpeng.
Di tengah rasa sakit yang memburamkan kesadaran itu, pikiran Ling Tian ditarik masuk ke dalam sebuah visi.
BLAM!
Dia tidak lagi berada di gua melainkan dia tengah melayang di angkasa.
Di bawahnya, bukan tanah, tapi lautan luas tanpa batas yang ombaknya setinggi gunung. Langit di atasnya berwarna ungu pekat, dipenuhi bintang-bintang yang bergerak cepat.
Lalu, dia melihatnya.
Seekor makhluk raksasa muncul dari dalam laut. Sayapnya... sayapnya menutupi cakrawala. Setiap lembar bulunya adalah badai, setiap kepakannya adalah angin topan.
Kunpeng.
Makhluk itu mendongak, menatap retakan di langit. Di sana, kegelapan pekat sedang mencoba masuk. Void Sovereign.
Sang Kunpeng tidak takut. Dia membuka paruhnya, dan suara purba mengguncang jiwa Ling Tian:
"LANGIT ADALAH MAKANANKU. KEHAMPAAN ADALAH MINUMANKU. AKU TIDAK AKAN TUNDUK PADA TAKDIR!"
Kunpeng itu menerjang ke langit, menantang para dewa dan iblis sendirian.
Air mata menetes dari sudut mata Ling Tian di dunia nyata. Itu bukan kesedihan melainkan sebuah rasa kagum. Rasa kerinduan akan kebebasan mutlak.
"Aku..." desis Ling Tian, tubuhnya masih berasap di lantai gua. "Aku... tidak akan tunduk..."
KRAAAK!
Suara tulang belakang Ling Tian bergeser. Struktur tubuhnya berubah. Tulangnya menjadi lebih padat, sumsumnya memproduksi darah baru yang lebih kuat. Otot-ototnya merajut kembali, serat-seratnya menjadi lebih liat dan eksplosif.
Cahaya biru menyelimuti tubuhnya, membentuk kepompong energi.
Satu jam berlalu dalam penyiksaan itu.
Perlahan, cahaya itu meredup.
Ling Tian terbaring telentang di lantai dingin. Napasnya mulai tenang.
Lapisan kulit mati dan kotoran hitam yang menutupi tubuhnya mulai retak dan rontok, memperlihatkan kulit baru di bawahnya.
Kulit itu putih bersih, namun tidak pucat seperti mayat. Ia memancarkan kilau sehat seperti giok hangat. Luka-luka cakaran kelelawar hilang tanpa bekas. Tubuhnya yang dulu kurus kering kini terlihat proporsional, bukan kekar berlebihan, tapi atletis sempurna. Setiap otot terbentuk rapi, siap meledakkan kekuatan kapan saja.
Ling Tian membuka mata. Matanya kini nampak hitam dan di kedalaman pupil matanya, ada sebuah titik cahaya biru yang berputar pelan seperti galaksi mini.
Dia duduk, mulai meremas tangannya.
'Sangat kuat'.
Dia merasa bisa menghancurkan batu kali hanya dengan remasan tangan. Indra pendengarannya menajam, dia bisa mendengar tetesan air dari jarak lima puluh meter. Dia bisa mencium aroma hutan di luar gua.
"Selamat," kata Tuan Kun, nadanya terdengar bangga. "Kau selamat dari Evolusi Tahap Awal: 'Tulang Besi Kunpeng'. Kultivasimu telah melonjak."
Ling Tian memeriksa kondisinya. "Body Tempering Tingkat... 5? Tidak, Tingkat 6 Puncak?" Ling Tian terbelalak.
Dalam satu malam, dia melompat dari sampah tanpa kultivasi menjadi setara dengan murid luar yang berlatih tiga tahun penuh.
"Ini gila," Ling Tian tertawa kecil, suaranya terdengar lebih dalam dan berwibawa.
Dia berdiri, membersihkan sisa kotoran dari tubuhnya. Dia merasa ringan, seolah gravitasi bumi tidak lagi membelenggunya sekuat dulu.
"Jangan senang dulu," potong Tuan Kun. "Kau baru saja membuat keributan energi yang besar. Dan matahari sudah terbit."
Ling Tian menoleh ke arah pintu keluar gua. Cahaya pagi yang remang-remang mulai masuk dari kejauhan.
"Ah, benar. Tamu-tamu pagi," Ling Tian menyeringai. Dia memungut kembali batang besi hitamnya yang kini terasa seringan ranting di tangannya dan mengenakan kembali baju goninya yang sudah hancur.
Meskipun bajunya compang-camping seperti pengemis, aura yang dia pancarkan sekarang bukan lagi aura pelayan. Itu aura raja muda yang baru bangun tidur.
"Ayo, Tuan Kun. Kita sapa mereka. Tidak sopan membuat orang menunggu mayatku terlalu lama."
Di Luar Gua Angin Ratapan.
Kabut pagi masih menyelimuti hutan bambu hitam. Udara dingin menusuk tulang.
Li Wei berdiri dengan tongkat penyangganya, menggigil kedinginan tapi wajahnya berseri-seri. Di sebelahnya berdiri Diaken Zhao dan dua murid senior Divisi Disiplin yang dibawa sebagai saksi.
"Sudah jam segini," kata Li Wei, melihat matahari yang mulai muncul. "Pasti sudah mati. Kelelawar-kelelawar itu tidak akan menyisakan daging Ling Tian sedikitpun."
Diaken Zhao mengangguk, memasang wajah sedih palsu. "Sayang sekali. Pelayan Ling Tian tersesat dan tewas dalam tugas. Kita hanya perlu masuk dan ambil token identitasnya kalau masih ada sisa dan kita tutup kasus ini."
"Biar aku yang masuk, Paman," kata Li Wei bersemangat. "Aku ingin... memastikan sendiri." 'Aku ingin melihat tulang-tulangnya,' batinnya jahat.
Mereka bertiga melangkah mendekati mulut gua. Namun, langkah mereka terhenti.
Dari dalam kegelapan mulut gua yang menganga, terdengar suara langkah kaki.
Tap. Tap. Tap.
Langkahnya tegap, tenang dan berirama.
Li Wei memicingkan mata. "Siapa itu? Hantu?"
Sosok itu muncul dari balik bayangan, melangkah keluar menyambut sinar matahari pagi.
Rambut hitamnya sedikit panjang dan basah, menempel di dahi. Baju pelayannya hancur lebur, memperlihatkan dada dan lengan yang... tunggu, kenapa kulitnya mulus? Di mana luka gigitannya?
Ling Tian berhenti di depan mereka. Dia merenggangkan lehernya, krek, lalu menatap Li Wei dengan senyum cerah yang menyilaukan.
"Selamat pagi, Tuan Muda Li, Diaken Zhao," sapa Ling Tian ramah.
"Udara pagi ini segar sekali, ya? Terima kasih sudah mengirimku ke sini. Tempat ini... sangat cocok untukku."
Rahang Li Wei jatuh. Diaken Zhao melotot seolah tengah melihat mayat hidup.
"Kau... kau masih hidup?" gagap Li Wei. "Bagaimana dengan kelelawarnya? Suara ratapan anginnya?"
Ling Tian mengangkat bahu santai. "Oh, mereka? Mereka sedang tidur, mungkin kekenyangan," jawab Ling Tian ambigu.
Matanya berkilat biru sesaat saat menatap Diaken Zhao.
"Nah, Diaken. Saya sudah menyelesaikan shift malam saya dengan selamat. Apakah saya boleh minta sarapan sekarang? Saya lapar sekali. Rasanya saya bisa memakan seekor sapi..." Dia mencondongkan tubuh sedikit ke arah Li Wei. "...atau babi."