Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.
14
Kania bangun pagi, tetapi ia tidak akan lari pagi. Ia merasakan kelelahan yang berbeda—kelelahan karna konflik emosional. Kania memutuskan untuk tidak keluar rumah. Ia mengunci pintu, mematikan lampu, dan menarik tirai. Ia tidak ingin melihat wajah Bara atau Dini.
Siang harinya Dini datang. Dini merasa khawatir setelah tidak melihat Kania di Kedai atau di jalan setapak.
Dini mengetuk pintu. ‘’Mbak Kania? Ini aku, Dini! Kenapa sepi sekali? Mbak Kania baik baik saja? Aku bawakan klepon, mbak.’’
Kania berteriak dari dalam. ‘’Aku baik baik saja, Din. Maaf aku sedang tidak enak badan. Aku akan menghubungimu besok.’’
Dini mengernyitkan dahi setelah mendengar suara tegas Kania. Ia tahu Kania sedang dalam mode ‘mengurung diri untuk menyembuhkan’ seperti saat ia pertama kali datang ke desa. Dini meninggalkan klepon di ambang pintu dan pergi dengan rasa khawatir.
Setelah Dini gagal menemui Kania, Dini pergi ke kedai Senja Ranu, tempat Bara pasti sedang sibuk membereskan sisa Panen Raya.
Bara terlihat lelah tapi fokus, membersihkan peralatan kopi dan merapikan sisa kekacauan dari pesta semalam. Ia baru saja bangun, ia memikirkan Kania, ia tahu Kania sedang dalam mode ‘menghindar’.
Dini masuk dengan langkah serius. Ia tidak memesan kopi.
‘’Mas Bara, bisakah kita bicara sebentar?”
Bara menghentikan pekerjaannya. Ia tahu ini pasti tentang Kania. ‘’Tentu, Din. Duduklah.”
Dini menatap Bara dengan tatapan seorang sahabat yang peduli tetapi juga seorang sahabat yang khawatir.
‘’Mbak Kania mengurung diri di rumah. Apakah kalian ada masalah? Mbak Kania tidak mau bicara denganku, dia hanya bilang sedang tidak enak badan dan besok akan menghubungiku.’’
‘’Aku tahu. Aku kesana semalam. Dia tidak menyalakan lampu.’’
Dini menjelaskan apa yang Kania rasakan. ‘’Dia melihat kalian berdua—kamu dan mbak Laras. Dia melihat bagaimana kalian saling menatap dengan penuh kepercayaan. Dia melihat kamu bahkan bersandar di bahu mbak Laras tanpa sadar. Mungkin mbak Kania berpikir Laras adalah rekanmu dan dia hanyalah hiburanmu.’’
‘’Jangan biarkan mbak Kania terlalu lama sendiri dengan pikirannya. Pergilah mas, temui mbak Kania.’’
‘’Kau benar, Dini. Aku terlalu menganggap remeh. Aku akan pergi menemuinya. Terima kasih.”
Setelah Dini meninggalkan rumah Kania. Kania kembali mengurung diri, tetapi tidak lama kemudian, Bara datang.
Tiba tiba, terdenegar ketukan keras dan mendesak di pintu depan.
‘’Kania! Aku tahu kamu di dalam! Tolong buka pintunya sekarang, kita harus bicara!”
Kania mengabaikannya. Ia tidak ingin membuka pintu. Ia takut kelemahannya akan terlihat.
‘’Aku tidak akan pergi, Kania. Jika kamu tidak membukanya, aku akan duduk di teras ini sampai besok pagi, dan seluruh desa akan tahu kalau ada masalah diantara kita.’’
Kania menghela napas berat. Kania tahu ia harus mengalah. Kania tidak membuka pintu seperti yang Bara pinta. Ia berjalan ke ruang tamu dan membuka jendela yang menghadap ke teras, membiarkan cahaya pagi masuk.
Bara berdiri di teras. Wajahnya terlihat lelah dan di penuhi kecemasan.
Kania memulai dengan suara keras. ‘’Kenapa, aku baik baik saja.’’
Bara menghela napas. ‘’Maaf. Atas sikapku saat panen raya. Aku terlalu sibuk menjadi Bara si penyelamat desa, sehingga aku lupa menjadi Bara si pasanganmu. Aku minta maaf.’’
Kania mengungkapkan segala isi hatinya. ‘’Bukan hanya sibuk, Bara. Aku melihat kalian. Kalian punya bahasa rahasia, refleks yang tidak terucapkan! Laras tahu persis apa yang harus dilakukan, sementara aku hanya bisa lari mencari senter. Di mata semua orang, termasuk aku sendiri, Laras adalah takdirmu yang sebenarnya. Dia adalah ketahananmu. Aku..aku hanyalah keindahan yang rapuh yang kamu pilih saat kamu sedang lelah.’’
Bara mendengarkan dengan sabar. Ia mengakui ikatan masa lalunya dengan Laras, tetapi menegaskan mengapa ia memilih masa depan bersama Kania.
‘’Ya, aku dan Laras punya sejarah. Kami punya refleks yang tidak terucapkan, itu benar. Itu adalah akar yang dalam yang kami bagi di desa ini. Dan aku tidak akan pernah memotong akar itu, Kania. Itu adalah bagian dari diriku.”
Bara melangkah mendekati jendela, menatap Kania lurus lurus. ‘’Tapi aku tidak memilihmu karena aku lelah. Kania, Laras selalu memberiku kepastian. Tapi kamu memberiku kemungkinan!’’
Kania menyadari bahwa Bara melihat dirinya sebagai sebuah kekuatan berbeda, yang setara. Rasa sakitnya mereda, digantikan oleh kelegaan.
Bara masih berdiri dekat jendela yang dibuka Kania. Jendela kayu itu menjadi batas fisik antara mereka. Kania bersandar di kusen, tangannya bersedekap, namun raut wajahnya sudah mulai melunak.
Bara melepaskan napas panjang. ‘’Buka pintunya, Kani. Kenapa bicara lewat jendela? Kamu pikir aku ini Romeo dan kamu Juliet? Ini desa Ranu Asri, bukan Verona.’’
Kania tersenyum tipis, mendengar lelucon Bara. ‘’Romeo dan Juliet berakhir tragis, Bara. Aku tidak mau berakhir tragis hanya karena aku membuka pintu pada pria yang terlalu sibuk menyelamatkan Balai Desa.’’
Bara menyadari candaan itu berhasil sedikit meredakan ketegangan diantara mereka. Bara bersandar di kusen. ‘’Sayangnya, saat ini ada penghalang kaca dan sekat kayu di antara kita.’’
‘’Kenapa kalau tidak ada’’
‘’Aku ingin menciummu.’’ Yang langsung membuat Kania tersipu.
Kania terlihat sudah melunak. Tapi ia perlu waktu untuk dirinya sendiri. Ia membuka kunci pintu, tetapi hanya membuka sedikit, membiarkan Bara melihat wajahnya yang terlihat lelah.
Bara melangkah maju. “Terima kasih, Kania. Aku boleh masuk sekarang. Kita harus bicara. Aku harus jelaskan semuanya padamu.’’
Kania menahan pintu dengan tangan. ‘’Jangan, Bara. Tolong..Jangan masuk sekarang.”
Bara terkejut. Ia melihat Kania tidak marah, tetapi memintanya jangan melangkah masuk.
Dengan suara lembut tapi terdengar tegas, Kania berkata. ‘’Aku butuh waktu, mas Bara. Aku butuh waktu untuk menyatukan kembali semua kepingan yang pecah semalam. Aku melihat kalian, dan aku melihat betapa jauhnya aku dari menjadi partner yang kamu butuhkan. Aku tidak ingin kamu menjelaskannya, aku ingin aku sendiri yang mengerti.’’
‘’Aku harus melawan rasa takutku pada ketidakbergunaan. Aku tidak bisa melakukan itu kalau kamu ada di sini, menyentuhku dan membuat semua masalah ini terasa mudah. Karena itu tidak mudah.”
Kania mengangkat matanya, memberikan tatapan yang meyakinkan Bara bahwa ini bukan penolakan, melainkan penangguhan.
“Aku berjanji padamu, ini bukan berarti aku menyerah. Aku hanya butuh waktu untuk membuat diriku sekuat janji yang kuberikan padamu. Aku hanya mengurung diri, begitu hatiku sudah pulih dari rasa takut ini, aku yang akan datang mencarimu di kedai.’’
Bara mundur selangkah. “Baiklah, Kania. Aku menghargai kejujuranmu. Aku tahu ini sulit bagimu. Aku tidak akan memaksamu.”
Bara mengulurkan tangan dan menyentuh dahi Kania dengan Ibu jari. ‘’Aku akan menunggumu di kedai. Tapi jangan lama lama, aku merindukanmu.’’
Kania tersenyum tipis, merasa lega bahwa Bara mengerti. “Aku tidak akan lama, mas Bara.”
Kania kemudian menutup pintu perlahan. Bara berdiri di teras selama beberapa saat, menatap pintu yang tertutup itu. Bara berbalik dan berjalan kembali ke kedainya, kini dengan harapan baru; menunggu dengan sabar untuk wanita yang sedang berjuang demi cintanya.