Seorang putri Adipati menikahi putra mahkota melalui dekrit pernikahan, namun kebahagiaan yang diharapkan berubah menjadi luka dan pengkhianatan. Rahasia demi rahasia terungkap, membuatnya mempertanyakan siapa yang bisa dipercaya. Di tengah kekacauan, ia mengambil langkah berani dengan meminta dekrit perceraian untuk membebaskan diri dari takdir yang mengikatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 09
Cheng Xiao memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu mengukir senyum cerah di bibirnya. Dengan langkah ringan, ia kembali memasuki kediaman, menghampiri sang Ayah yang menantinya.
"Apakah kau akan kembali ke istana Putra Mahkota sekarang?" tanya Adipati Cheng dengan nada cemas, saat Cheng Xiao menghampirinya. Kerutan di wajahnya semakin terlihat jelas, mencerminkan kekhawatiran yang mendalam.
Cheng Xiao menggelengkan kepalanya, lalu merangkul lengan sang Ayah dengan manja. "Tidak, Ayah. Aku akan kembali nanti, setelah kerinduanku pada Ayah terobati," ujarnya, menyembunyikan kebenaran di balik senyumnya.
Adipati Cheng tersenyum hangat, membalas pelukan putrinya. Kini, setelah mengetahui pahitnya kehidupan Cheng Xiao di istana Putra Mahkota, ia benar-benar tidak rela untuk melepaskannya. Meski baru dua minggu berlalu, rasanya ia tak sanggup mengembalikan putrinya ke sisi suaminya.
"Apakah Ayah ingin mendengarkanku bermain guzheng?" tawar Cheng Xiao, berusaha mencairkan suasana.
Ia merasakan tarikan napas berat sang Ayah, menyadari bahwa kesedihan yang terus-menerus diperlihatkan hanya akan memperburuk kesehatan pria paruh baya itu. Ia ingin menunjukkan keceriaannya, menyembunyikan luka di hatinya demi sang Ayah.
"Tentu saja, Xiao'er. Dua minggu ini Ayah benar-benar tidak bisa tidur nyenyak karena tidak mendengar alunan musik yang kau mainkan," jawab Adipati Cheng, menyadari upaya putrinya untuk mengalihkan perhatiannya.
"Bibi Li, tolong siapkan guzheng nona di taman," perintah Adipati Cheng, yang langsung diangguki dengan senang oleh Bibi Li, kepala pelayan yang sudah lama mengabdi di keluarga Cheng.
Cheng Xiao dan Adipati Cheng bergandengan tangan, berjalan menuju taman kediaman yang asri. Bibi Li dan Lian'er, pelayan pribadi Cheng Xiao, menatap haru pemandangan anak dan ayah yang bergandengan tangan dari belakang. Bibi Li menyeka air mata yang mengalir di pipinya. "Lian'er, aku seperti melihat nona muda kecil yang ceria dan tanpa beban seperti dulu," bisiknya lirih.
Lian'er, yang selalu berada di sisi Cheng Xiao, tentu saja merasakan kesedihan yang sama. Apalagi, dialah saksi bisu penderitaan sang nona di istana Putra Mahkota. "Bibi, andai nona berpisah dengan Putra Mahkota, apakah dia akan kembali seperti dulu lagi?" tanya Lian'er dengan nada penuh harap.
Bibi Li hanya bisa menghela napas, "Apakah akan ada saatnya nona muda melepaskan Putra Mahkota, itu adalah keputusannya. Kita hanya bisa mendukungnya," jawab Bibi Li, berusaha memberikan semangat.
Di taman kediaman Adipati, semua pelayan berkumpul, menikmati alunan musik guzheng yang dimainkan oleh nona muda mereka. Tidak ada alunan musik sedih yang menyayat hati, Cheng Xiao tidak ingin membagi kesedihannya dengan mereka.
Tidak ada batasan antara pelayan dan tuan saat mereka berkumpul seperti ini. Cheng Xiao menganggap mereka sebagai keluarga, karena merekalah yang mengurusnya sejak kecil, setelah kehilangan ibunya tercinta. Alunan musik yang ceria mengalir, menyatukan mereka dalam kehangatan dan kebersamaan.
Di tengah alunan musik yang riang, seorang pelayan berlari menghampiri Adipati Cheng, membisikkan sesuatu di telinganya. Raut wajah Adipati Cheng berubah menjadi serius, lalu menatap Cheng Xiao dengan tatapan khawatir.
"Xiao'er, Putra Mahkota datang," ucap Adipati Cheng, suaranya nyaris tak terdengar di tengah alunan musik. "Namun, bukan untuk menjemputmu kembali ke istana, melainkan untuk... menginap."
Cheng Xiao terdiam, jarinya berhenti memetik senar guzheng. Senyum yang tadi menghiasi wajahnya perlahan memudar, digantikan dengan raut bingung. Menginap? Apa maksudnya?
"Sepertinya... Yang Mulia datang untuk melaksanakan tradisi pulang ke rumah mertua setelah pernikahan," lanjut Adipati Cheng, menjelaskan dengan hati-hati.
Cheng Xiao terkejut. Tradisi itu... Ia sama sekali tidak menyangka Putra Mahkota akan melakukannya. Selama ini, ia merasa hubungan mereka begitu dingin dan formal. Mungkinkah... ada sedikit perubahan dalam diri suaminya itu?
"Ayah, biarkan aku menyambutnya," ucap Cheng Xiao, berusaha menenangkan diri. Ia harus bersikap sopan dan menghormati tradisi keluarga.
Adipati Cheng mengangguk, lalu memberi isyarat kepada para pelayan untuk membubarkan diri. Dalam sekejap, taman yang tadinya ramai dan ceria, kini menjadi lebih tenang. Hanya tersisa Cheng Xiao dan Adipati Cheng yang menanti kedatangan Putra Mahkota.
Tidak lama kemudian, sosok tinggi tegap dengan pakaian yang lebih sederhana dari biasanya muncul di gerbang taman. Wajahnya datar, tanpa ekspresi, namun aura ketegasannya tetap terpancar kuat. Cheng Xiao menundukkan kepala memberi hormat, diikuti oleh Adipati Cheng.
"Salam kepada Yang Mulia Putra Mahkota," ucap mereka serempak.
Putra Mahkota mengangguk singkat, lalu mengarahkan pandangannya pada Cheng Xiao. "Aku datang untuk melaksanakan tradisi pulang ke rumah mertua," ucapnya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.
Cheng Xiao mengangkat wajahnya, menatap mata Putra Mahkota dengan tatapan terkejut. Ia tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari mulut suaminya.
"Yang Mulia terlalu sopan," jawab Cheng Xiao, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
"Ini adalah tradisi yang harus dihormati," balas Putra Mahkota, lalu mengalihkan pandangannya pada Adipati Cheng. "Adipati, mohon izinkan saya untuk menginap di kediaman Anda selama beberapa hari."
"Tentu saja, Yang Mulia. Ini adalah suatu kehormatan bagi keluarga Cheng," jawab Adipati Cheng dengan senyum ramah. Meski hatinya seketika sakit saat melihat suami putri nya itu.
Cheng Xiao dan Adipati Cheng kemudian mempersilakan Putra Mahkota untuk masuk ke dalam kediaman. Bibi Li dan Lian'er segera menyiapkan kamar terbaik untuk Yang Mulia, serta hidangan istimewa untuk menyambut kedatangannya.
Usai menikmati hidangan makan malam yang mewah, Cheng Xiao kembali ke kamarnya. Ia meminta Bibi Li dan para pelayan lainnya untuk menyiapkan kamar terpisah bagi Putra Mahkota. Entahlah, hatinya masih bergejolak, dan ia merasa belum siap untuk berbagi ruang dengan pria yang berstatus sebagai suaminya itu.
Malam semakin larut, namun Cheng Xiao tak kunjung bisa memejamkan mata. Pikirannya berkecamuk, bayangan kejadian di istana terus menghantuinya. Dengan gelisah, ia bangkit dari ranjang, lalu berjalan keluar kamar menuju taman bunga lili yang terletak tak jauh dari sana.
Di taman yang sunyi, Cheng Xiao duduk seorang diri di meja batu, menatap langit malam yang bertaburan bintang. Cahaya rembulan menerangi wajahnya yang pucat, menampakkan kesedihan yang mendalam. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meresapi aroma harum bunga lili kesukaannya, berharap dapat menenangkan hatinya yang gundah.
"Bukankah kau menyukai bunga mawar? Kenapa justru banyak sekali bunga lili di sini?" Suara berat Putra Mahkota yang sangat dikenali Cheng Xiao tiba-tiba terdengar dari belakangnya, memecah kesunyian malam.
Cheng Xiao terkesiap, segera bangkit berdiri dan memberikan salam hormat kepada pria itu. "Salam, Yang Mulia." Suaranya terdengar bergetar, menandakan kegugupan yang ia rasakan.
Putra Mahkota Wang Yuwen kemudian duduk di kursi seberang Cheng Xiao, sementara wanita itu tetap berdiri, merasa tidak siap untuk duduk berdekatan dengan suaminya.
"Duduklah," perintah Wang Yuwen dengan nada lembut, "ada yang ingin aku bicarakan denganmu."
Cheng Xiao menggigit bibir dalamnya, merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia takut, gugup, dan bingung. Dengan langkah ragu, Cheng Xiao akhirnya duduk kembali di kursinya, namun kepalanya terus tertunduk, tak berani menatap wajah Putra Mahkota. Wang Yuwen menatap Cheng Xiao dengan tatapan yang sulit diartikan. Pria itu menghela napas panjang saat matanya tertuju pada memar yang ia sebabkan di pipi wanita itu beberapa waktu lalu.
"Maafkan aku," ujar Wang Yuwen dengan suara lirih, terdengar tulus dan penuh penyesalan.
semangat up nya 💪
semangat up lagi 💪💪💪
Semangat thor 💪