NovelToon NovelToon
SNIPER CANTIK MILIK TUAN MAFIA

SNIPER CANTIK MILIK TUAN MAFIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Mafia / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Rizky Handayani Sr.

Olivia Xera Hilson, gadis cantik dan berwibawa yang tumbuh dalam bayang-bayang kekuasaan, terpaksa menerima tawaran pernikahan dari Vincent Lucashe Verhaag seorang pria karismatik sekaligus pewaris tunggal keluarga bisnis paling berpengaruh di Amerika.
Namun di balik cincin dan janji suci itu, tersembunyi dua rahasia kelam yang sama-sama mereka lindungi.
Olivia bukan wanita biasa ia menyimpan identitas berbahaya yang dia simpan sendiri, sementara Vincent pun menutupi sisi gelap nya yang sangat berpengaruh di dunia bawah.
Ketika cinta dan tipu daya mulai saling bertabrakan, keduanya harus memutuskan. apakah pernikahan ini akan menjadi awal kebahagiaan, atau perang paling mematikan yang pernah mereka hadapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Handayani Sr., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Gerbang besar itu pun terbuka perlahan, lalu lebar.

Mobil hitam mewah yang membawa Olivia meluncur masuk ke halaman mansion megah keluarga Vincent. Aroma rumput yang baru disiram dan barisan pohon maple di tepi jalan masuk menambah kesan anggun pada tempat itu.

Olivia menatap keluar jendela mobil, matanya menyapu deretan kendaraan di pelataran. Tidak ada tanda-tanda mobil Grandpa nya.

“Syukurlah, Grandpa belum sampai,” gumamnya lega. Ia masih mengingat jelas pesan singkat Vincent tadi bahwa Tuan William akan datang ke mansion malam ini.

Begitu mobil berhenti di depan pintu utama, Olivia turun dengan anggun. Sepatu haknya mengetuk lembut lantai marmer putih yang berkilau. Ia membawa beberapa kantong berisi kue dan minuman, oleh-oleh kecil untuk menemani jamuan keluarga.

Suasana mansion terasa tenang terlalu tenang. Tak ada suara pelayan, tak ada langkah siapa pun di aula. Namun Olivia tak memedulikannya; ia berjalan menuju ruang tamu dan meletakkan kantong-kantong belanjaan di atas meja.

“Baru pulang?”

Suara bariton berat itu terdengar di belakangnya, membuat Olivia tersentak.

Ia segera berbalik. Vincent berdiri di ambang pintu dengan kemeja hitam yang lengannya digulung sampai siku, aura dinginnya begitu kuat sampai udara di sekitarnya terasa menegang.

“Huh, ngagetin aja,” ucap Olivia cepat, mencoba menutupi debaran dadanya. “Iya… tadi ada sedikit urusan sama rekan kerja.”

Vincent hanya menatapnya sekilas, tajam tapi datar. Lalu, tanpa ekspresi berlebihan, ia mengangguk pelan.

“Bersiaplah. Grandpa akan tiba sebentar lagi.” Suaranya dingin, penuh wibawa.

“Baik,” jawab Olivia singkat.

Ia mengangkat dagunya sedikit, menatap balik pria itu sejenak ada ketegangan halus di antara mereka sebelum akhirnya berbalik dan melangkah naik ke lantai atas. Langkahnya tenang, tapi dalam hatinya sudah mulai bersiap untuk menghadapi malam yang panjang.

* * * *

Ruang keluarga malam itu dipenuhi cahaya lembut dari lampu gantung kristal. Aroma teh melati bercampur dengan wangi kayu manis dari lilin aromaterapi di sudut ruangan.

Olivia, Vincent, dan Tuan William tengah duduk santai di sofa besar setelah makan malam.

Tuan William menatap Olivia dengan mata teduhnya yang mulai berkerut dimakan usia.

“Apakah kamu nyaman tinggal di sini, Olivia?” tanyanya lembut, namun penuh perhatian khas seorang tetua.

Olivia tersenyum kecil, agak canggung.

“Ah… nyaman, grandpa,” jawabnya, mencoba terdengar meyakinkan meski ada sedikit kecut di ujung suaranya.

Tuan William mengangguk pelan, lalu menoleh ke cucunya yang duduk di samping Olivia dengan ekspresi dingin dan tatapan yang sulit diterjemahkan.

“Syukurlah kalau begitu. Asal pria dingin ini tidak membuatmu stres, aku sudah lega,” gumamnya sambil melirik Vincent tajam namun penuh kasih.

Vincent hanya menghela napas pelan.

“Jangan berlebihan, Grandpa” sahutnya datar, nada suaranya tenang tapi mengandung peringatan halus.

Suasana sejenak sunyi, hingga tiba-tiba Tuan William membuka topik baru.

“Ngomong-ngomong, kalian tidak berencana pergi bulan madu?” tanyanya santai.

Pertanyaan itu membuat Olivia yang sedang menyesap tehnya langsung tersedak.

“Huk—huk—!”

Ia buru-buru menutup mulutnya dengan tisu, pipinya memerah.

Tuan William justru tersenyum geli.

“Bukankah itu ide yang bagus? Kalian bisa saling mengenal lebih dekat. Kakek ingin melihat kalian benar-benar seperti pasangan muda yang bahagia.”

Olivia melirik ke arah pria di sampingnya. Vincent tetap tenang begitu tenang hingga terasa dingin seperti dinding marmer di belakangnya.

“Apakah harus ada bulan madu,?” ucap Vincent datar tanpa menatap siapapun.

“Tentu saja!” balas sang Grandpa tegas. “Apa kau pikir setelah menikah kau bisa langsung kembali tenggelam dalam pekerjaan dan melupakan istrimu?”

Olivia buru-buru menengahi, suaranya lembut tapi jelas.

“Maaf, Grandpa. Mungkin Vincent memang sedang sibuk. Aku juga tidak apa-apa kok kalau tidak ada bulan madu.”

Namun Tuan William justru tersenyum misterius.

“Kalian berdua tidak punya pilihan. Besok kapal pesiar kita akan berlayar ke Kepulauan Maldives selama seminggu. Banyak tamu dan wisatawan ikut, dan kalian juga harus ikut berlayar.”

Ucapan itu membuat Olivia dan Vincent sontak menatap sang kakek hampir bersamaan.

Kapal pesiar?

‘Kapal pesiar? Bukankah itu misi Captain yang aku tidak bisa ikuti?’ batin Olivia, menahan ekspresinya agar tidak mencurigakan.

Sementara di sisi lain, Vincent menatap kosong secangkir tehnya.

‘Sial. Ini bertepatan dengan perjalanan keluarga Roger. Aku tidak bisa menolak begitu saja.’

“Lain kali saja, Grandpa,” ujar Vincent akhirnya, tetap dengan nada tenang namun jelas enggan. “Aku masih punya urusan yang tidak bisa ditinggalkan.”

Olivia meliriknya dengan mata sedikit terbelalak.

Selain helikopter, dia juga punya kapal pesiar? pikirnya dalam hati.

Tunggu… seberapa kaya sebenarnya keluarga ini?

Tuan William menghela napas, ekspresinya lembut tapi penuh tekanan.

“Kau harus belajar menjadi orang normal, Vincent. Dunia tidak akan runtuh kalau kau libur seminggu. Serahkan pekerjaanmu pada asistenmu.”

“Tapi, Grandpa …” Olivia mencoba menolak dengan sopan, suaranya lembut. “Apakah ini tidak terlalu berlebihan?”

Tuan William tersenyum, menatap Olivia dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Tidak, Nak. Ini bukan berlebihan. Anggap saja… permintaan terakhir seorang Grandpa tua yang ingin melihat cucunya hidup bahagia.”

Ruangan kembali hening.

Vincent menatap wajah kakeknya lama, lalu mengalihkan pandangan ke Olivia yang masih menunduk pelan.

Ada sesuatu di antara mereka malam itu campuran canggung, terpaksa, tapi juga… entah kenapa terasa seperti awal dari sesuatu yang baru.

* * * *

Setelah Tuan William pamit dan mobilnya menghilang di balik gerbang besar, suasana di mansion kembali hening. Hanya suara jam dinding yang berdetak lembut di ruang tamu.

Olivia menarik napas lega, hendak beranjak ke kamarnya untuk beristirahat. Namun sebelum sempat melangkah naik, suara berat yang dalam itu memanggilnya.

“Kemari.”

Nada bariton Vincent terdengar tenang, tapi memerintah.

Olivia berhenti di anak tangga pertama, menoleh. Pandangannya bertemu dengan mata dingin pria itu yang sedang duduk di sofa dengan sikap santai tapi penuh wibawa.

“Ada apa?” tanyanya pelan, menahan nada malasnya agar tidak terdengar.

Vincent menatapnya sekilas, lalu kembali bersandar.

“Siapkan semua barangmu. Kita akan pergi besok.”

Alis Olivia terangkat. “Pergi? Bukankah kamu barusan menolak tawaran Grandpa?”

Vincent menatap kosong ke arah gelas di mejanya, lalu berkata datar, “Karena Grandpa yang meminta, aku tidak punya pilihan selain menuruti.”

Nada suaranya terdengar tenang, tapi di balik tatapan itu tersimpan kejengkelan yang tak ia tunjukkan.

Vincent tahu betul ini bukan sekadar perjalanan keluarga. Ini ancaman halus.

Jika ia menolak lagi, Tuan William akan menahan peresmian aset besar atas namanya. Lebih buruk lagi, sang kakek sudah menyinggung soal keturunan.

Selama Vincent belum memiliki pewaris, warisan itu belum akan jatuh sepenuhnya ke tangannya.

“Sial, ini semua karena Grandpa…” batinnya, rahangnya mengeras. “Aku seharusnya ikut Roger berlayar, bukan berlibur pura-pura dengan wanita ini.”

“Baiklah,” jawab Olivia akhirnya, suaranya ringan seolah hal itu bukan masalah besar.

Vincent menatapnya tajam, sedikit heran.

‘Kenapa dia tidak menolak? Ck! Jangan-jangan dia memang ingin pergi bersamaku,’ pikirnya dengan ego yang masih utuh. Tatapan matanya melekat pada sosok wanita itu, lama, intens, sampai Olivia merasa perlu menghindar.

“Kalau tidak ada lagi, aku ke atas,” ucap Olivia pelan.

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan melangkah menaiki tangga, langkahnya tenang namun tegas.

Di kamar, Olivia langsung membuka koper besar. Tangannya mulai melipat pakaian dengan rapi, memasukkan beberapa gaun dan baju santai, termasuk beberapa setelan baru yang baru saja dikirim sore tadi.

Namun sebelum menutup koper, ia duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya. Jari-jarinya cepat menari di atas layar

sebuah pesan dikirimkan pada seseorang yang tidak boleh tahu Vincent.

Olivia: “Capten, aku akan ikut kapal pesiar besok. Mungkin misi tetap bisa berjalan, tapi dengan rencana cadangan.”

Ia menatap layar yang bergetar sebentar, lalu tersenyum tipis saat balasan masuk.

Mata Olivia berubah tajam. Ada sesuatu di balik perjalanan bulan madu itu… sesuatu yang bahkan Vincent tidak tahu.

* * * *

Pagi itu masih gelap.

Udara dingin menembus sela jendela kamar ketika Olivia membuka matanya. Langit di luar masih berwarna kelabu, namun ia sudah bersiap dengan pakaian hangat dan koper di tangan.

Vincent sudah menunggunya di ruang tamu, tampak rapi dalam balutan jas hitam kasual dan kacamata hitam yang membuatnya terlihat semakin dingin.

Tanpa banyak bicara, mereka pun berangkat ditemani Louis, asisten setia Vincent.

Mobil hitam mereka melaju menembus kabut pagi. Jalanan masih sepi, hanya suara mesin dan desau angin yang memecah keheningan. Olivia menatap keluar jendela, melihat sisa embun yang masih menempel di kaca mobil.

“Dua puluh lima menit lagi kita sampai,” ujar Louis sopan dari kursi depan.

New York Harbor.

Pelabuhan itu tampak megah diterpa cahaya pertama matahari yang muncul dari ufuk timur. Di tengah barisan kapal mewah, satu kapal tampak paling mencolok putih berkilau, bertingkat empat, dan memantulkan cahaya seperti permata di laut.

Olivia tertegun.

“Wah… ini sungguh luar biasa,” gumamnya kagum.

Ia menatap nama yang terukir di sisi kapal dengan huruf perak:

Lorelei Verhaag (LV).

LV… kapal pesiar milik Vincent sendiri? batinnya, nyaris tidak percaya.

Ia melirik pria di sampingnya dingin, tenang, seolah hal semewah itu bukan apa-apa.

Vincent menatap sekilas ke arahnya, lalu melangkah naik tanpa sepatah kata pun.

* * * *

Di dalam kapal, interiornya benar-benar menakjubkan. Lantai marmer mengilap, dinding berlapis kayu mahoni, lampu gantung kristal berkilauan di langit-langit. Para kru memberi hormat sopan saat mereka lewat.

Vincent membawa Olivia menuju Haven Deluxe Owner’s Suite, kamar paling mewah di kapal pesiar itu.

Begitu pintu terbuka, Olivia terpana.

Kamar itu luas, memiliki ruang tamu pribadi, balkon menghadap laut, dan tempat tidur berkanopi yang tampak seperti dari dunia lain.

“Wah…” Olivia hampir tak bisa berkata-kata. “Ini luar biasa.”

Namun begitu sadar kembali, ia menatap Vincent dengan bingung.

“Tunggu, ini kamar siapa?”

“Tentu saja kamarku,” jawab Vincent santai, tanpa menoleh.

Olivia memutar bola matanya, nada kesalnya muncul.

“Lalu aku di mana? Kenapa kau membawaku ke sini?”

Vincent mendongak dari kemejanya yang sedang ia lepas dasinya.

“Kalau kau tidur di tempat lain, Grandpa akan tahu,” ujarnya tenang. “Kau pikir beliau tidak punya mata-mata di kapal ini? Kalau sampai tahu kita tinggal terpisah, dia akan kecewa.”

Ia menatap ke arah pintu kecil di samping lemari.

“Kalau mau, kau bisa tidur di ruangan itu. Sedikit kecil, tapi cukup nyaman.”

Olivia membuka pintu itu ternyata benar, ada kamar kecil dengan ranjang tunggal dan meja kecil di sudut.

Namun kamar mandi, lemari, dan toilet ternyata harus dibagi.

Ia mendesah pelan. “Luar biasa… tapi menyebalkan,” gumamnya.

* * * *

Tak lama kemudian, suara sirene lembut terdengar.

Kapal mulai bergerak meninggalkan dermaga, mengarungi samudra biru yang berkilau. Olivia berdiri di dekat jendela, matanya menatap luas laut dengan campuran takjub dan tenang.

Indah sekali, batinnya. Andai perjalanan ini bukan pura-pura.

Sementara itu, di ruang kerja pribadinya, Vincent sedang menerima panggilan telepon.

Suaranya rendah, dingin, dan berwibawa.

“Ya. Lakukan dengan bersih. Pastikan mereka aman.”

“Dan ingat,” lanjutnya setelah jeda singkat, “urus semuanya tanpa keributan. Kalau ada yang mati, buang ke ruang bawah. Aku tak mau ada kepanikan di atas kapal.”

Suara laut menelan sisa kata-katanya.

Ia menutup ponselnya perlahan, lalu memandang pintu kamar Olivia yang tertutup. Ekspresinya tak terbaca.

Beberapa detik kemudian, suaranya terdengar dari balik pintu itu.

“Aku mau sarapan di restoran bawah. Kau mau ikut?”

Olivia menoleh dari jendela. “Aku ikut. Sebentar.”

“Cepatlah,” sahut Vincent datar.

Olivia tersenyum kecil, bergumam sambil mengambil tasnya.

“kenapa baru sekarang, padahal aku udah lapar dari tadi.”

Ia tidak sadar, langkahnya menuju sarapan itu akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari sekadar perjalanan bulan madu.

1
Murni Dewita
gantung thor
Murni Dewita
double up thor
Rizky Handayani Sr.: ok kak, padahal uda double² up ni 🫠
total 1 replies
Murni Dewita
jodoh mu
Murni Dewita
👣👣👣
partini
wah kakek pintar juga yah
partini
menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!