Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Storm menarik napas panjang, lalu tiba-tiba matanya memerah. Ia menunduk, bahunya sedikit bergetar seolah menahan isak.
“Mimi… Mimi…” suaranya serak, seperti nyaris pecah. “Aku… aku benar-benar tidak menyangka… kau bisa memakai cara seperti ini untuk menyingkirkanku.”
Ia mengangkat wajahnya perlahan. Ada air mata di sudut mata ... buatan, tapi terlihat meyakinkan.
“Aku dikurung… dipukuli… disiksa sampai terkapar. Kau bahkan membayar tahanan lain untuk menyakitiku setiap hari.”
Storm menyeka sudut matanya, sengaja berlebihan agar Mimi dipersalahkan. “Semua itu… sudah aku kubur demi Papa dan Mama. Aku tidak ingin mereka sedih.”
Lalu suara Storm berubah—lebih dingin, namun tetap dengan nada orang yang pura-pura tersakiti.
“Tapi kau… kau masih saja tidak menerimaku sebagai kakakmu.”
Bahunya kembali bergetar, tangannya menutup mulut seolah menahan tangis. “Tahukah kau? Di penjara… aku berjanji pada diriku sendiri untuk kuat… untuk tidak ditindas lagi.”
Storm lalu menatap Mimi lurus, mata berair namun senyumnya tipis—seolah menangis tapi tegar.
“Dan sekarang… kau masih menjebakku. Kamarku penuh aroma obat bius.”
Ia tertawa kecil, pahit. “Mimi… aku ini dokter dan tabib. Mana mungkin aku tidak tahu semua itu jebakanmu?”
“Mimi, kami sudah memberimu segalanya… tapi kau justru menggunakan cara seperti ini untuk membalas kami.”
Suara Ah Luo bergetar, penuh kekecewaan. “Mimi… apa salah kami padamu?”
“M-Mama, bukan begitu!” Mimi buru-buru membela diri. “Kakak salah paham. Mana mungkin aku tega menyakitinya…”
Namun Ah Ming menatap putrinya dengan mata yang sudah lama lelah.
“Mimi,” katanya dengan suara dalam dan pelan, “aku dan mamamu bukan tidak sadar siapa dirimu sebenarnya.”
Ia menghela napas panjang. “Kau iri pada kakakmu sejak dulu. Apa pun yang dia suka… kau selalu ingin merebutnya.”
Mimi menegang. “Papa… aku—”
“Demi menjaga perasaanmu, aku dan mamamu diam. Dan kakakmu… selalu mengalah. Selalu memberikan apa yang kau inginkan.”
Ia menatap Mimi lebih tajam.
“Setelah kalian dewasa, kakakmu menyukai Jenderal Fang. Dan kau… kau juga ingin merebutnya. Kau sengaja bicara buruk tentang kakakmu di depan Jenderal Fang, berharap dia menjauh darinya. Kami melihat semuanya, Mimi. Kami hanya diam karena berharap kau berubah. Tapi rasa irimu… telah menyesatkanmu jauh sekali.”
“Pa… Ma… maafkan aku… aku hanya… hanya…”
Mimi jatuh berlutut, tubuhnya bergetar hebat. Tangisannya pecah, membuat lantai di bawahnya basah.
Namun Ah Ming tak lagi luluh. Tatapannya keras seperti batu.
“Bereskan barang-barang Mimi,” perintahnya dingin.
“Mulai detik ini… hubungan kita putus. Kau bukan lagi putri kami.”
“Pa… jangan… jangan Pa…” Mimi menangis tersedu, meraih ujung baju ayahnya, tapi Ah Ming bergeser menjauh.
“Selama ini kami diam. Kami bersabar karena kau merasa kasihan padamu Tapi malam ini kau telah melampaui batas, Mimi!”
Suara Ah Ming meledak seperti petir.
“Karena keserakahanmu, kau tega membunuh kakakmu sendiri. Dan malam ini… kau mencoba menjebaknya lagi!”
“Tidak, Pa… aku tidak bermaksud—” Mimi tersedak, suaranya pecah.
“Bawa mereka keluar,” Ah Ming menoleh pada para pelayan dengan sorot mata penuh murka.
“Serahkan semuanya pada pihak yang berwajib.”
Dua pria bayaran yang ditangkap sebelumnya diseret keluar lebih dulu, meronta dan memohon, namun tidak ada yang mempedulikan mereka.
Tak lama kemudian, Mimi juga diseret keluar oleh dua pelayan wanita. Tubuhnya hanya tertutup selimut tipis, rambutnya berantakan, wajahnya basah oleh air mata.
“Pa… Ma… jangan lakukan ini padaku… aku anak kalian…”
Teriakannya menggema di halaman.
Namun Ah Ming dan Ah Luo berdiri membelakanginya—membeku, tak menoleh, tak menjawab.
Tangisan Mimi malam itu tenggelam dalam dinginnya angin yang berhembus melewati halaman kediaman keluarga tersebut.
“Ah Zhu… maafkan Papa dan Mama,” ucap Ah Luo dengan suara bergetar.
“Selama ini kami tidak pernah benar-benar membelamu… saat Mimi bersikap seperti itu padamu. Mimi tumbuh terlalu dimanjakan… hingga akhirnya ia menjadi tidak tahu diri.”
“Ma… tidak apa-apa,” jawab Storm lembut.
“Semua itu sudah berlalu. Lagi pula Mimi sudah diusir… jadi tidak akan ada lagi yang mencoba mencari masalah denganku," jawab Storm.
Ah Ming menghela napas berat, rasa bersalah jelas tergambar di wajahnya.
Storm menatap keduanya dengan serius kali ini.
“Pa, Ma… tentang tulisanku yang berantakan dan sulaman yang gagal…”
“Memang benar… aku tidak bisa melakukannya.”
Ucapan Storm lagi-lagi mengejutkan kedua orang tuanya, Ah Zhu terkenal dengan tulisannya yang cantik dan rapi serta sulamannya yang indah. Namun, kini putri yang berdiri di depan mereka mengaku tidak bisa melakukannya!