NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 26 PAGI YANG BERUBAH

Beberapa jam kemudian, Arash terbangun oleh rasa kering yang menyiksa di tenggorokannya. Kelopak matanya terasa berat, pergerakannya lamban, seolah tubuhnya masih terjebak di antara sadar dan tidur. Ia menggerakkan bahunya perlahan sebelum akhirnya memaksa dirinya untuk duduk.

“Ah… kepalaku…” gumamnya lirih, satu tangannya terangkat memegangi sisi kepalanya yang terasa berat dan berdenyut. Rasa pusing menguar samar, menyisakan nyeri tumpul yang menjalar sampai ke pelipis. Mungkin benturan tadi terlalu keras untuk disebut sepele.

Ia menggelengkan kepala perlahan, mencoba mengusir rasa pening, lalu mendorong selimut dengan kaki, berdiri, dan melangkah keluar kamar. Begitu pintu terbuka, hawa dingin langsung menyergap kulitnya, membuat bahunya refleks mengangkat dan napasnya sedikit tertahan.

Lorong rumah sunyi, hanya diterangi cahaya redup dari ruang tamu. Sinar lampu yang menyala terang membuat Arash menyipitkan mata. Tangannya terangkat mengucek mata kasar agar pandangannya kembali jernih. Dan di sanalah ia melihatnya.

Tubuh kecil itu meringkuk di sofa. Kedua tangannya diselipkan di antara lututnya, seolah itu satu-satunya cara untuk mempertahankan sedikit kehangatan. Rambutnya yang semula tersanggul kini terurai, beberapa helai jatuh menutupi pipinya. Wajahnya terlihat pucat dalam cahaya lampu yang terang, dan napasnya begitu halus sampai hampir tak terdengar.

Arash terdiam. Langkahnya berhenti, tepat di ambang ruang tamu. Untuk beberapa saat, dunia terasa sunyi secara aneh—hanya ada suara detak jam dinding yang pelan dan napas Ava yang teratur. Ada sesuatu yang mencubit dadanya, perasaan asing yang terlalu tidak nyaman untuk ia akui.

Ia buru-buru menyingkirkan pikiran itu dengan mengalihkan pandangan, berpura-pura tidak peduli, lalu melanjutkan langkah menuju dapur. Saat melewati ruang tamu, matanya sempat tertuju pada jam dinding.

Pukul dua pagi.

Dapur terasa lebih dingin, lebih sunyi. Ia menekan tombol dispenser, dan suara air yang mengalir terdengar terlalu nyaring di tengah keheningan malam. Ia menggenggam gelas itu dan meneguknya dalam-dalam. Air dingin mengalir dari bibir ke tenggorokan, menyisakan rasa segar yang sedikit mengusir rasa kering yang menyiksa.

Matanya mengedar pelan. Dan di meja makan, terdapat sebuah mangkuk tertutup. Arash mengernyitkan kening. Perlahan, ia mendekat.

“Apa ini…?” gumamnya. Tangannya terulur, membuka tutup mangkuk itu.

Uap tipis langsung naik ke udara, membawa aroma kaldu ayam yang hangat dan lembut. Kuahnya bening keemasan, potongan sayuran dan serat ayam terlihat jelas di permukaan. Itu bukan makanan yang tadi sempat Ava jatuhkan. Ini baru.

Pandangannya meluncur ke arah ruang tamu. Ava masih tertidur di sofa. “Dia… memasak lagi?” gumamnya nyaris tak terdengar.

Ada dorongan aneh yang membuat dadanya terasa berat. Dengan gerakan pelan, ia membuka lemari, mengambil mangkuk kecil dan sendok. Ia menarik kursi dengan suara lirih, menjaga agar tidak membangunkan siapa pun.

Arash duduk sendirian. Awalnya niatnya hanya mencicipi. Satu sendok. Lalu dua.

Kuah hangat itu menyentuh lidahnya, terasa ringan namun dalam, seolah ada sesuatu yang tidak hanya mengisi perutnya, tapi juga bagian kosong dari dirinya. Tangannya bergerak lagi tanpa ia sadari. Sendok demi sendok ia habiskan. Hening dapur ditemani suara kecil logam yang beradu dengan mangkuk.

Tanpa sadar—ia makan lahap. Hal yang hampir tak pernah ia lakukan. Terlebih lagi di jam dua pagi. Setelah mangkuk kecil itu kosong, Arash terdiam sejenak. Ia menghela napas panjang, tidak tahu apakah itu lega atau beban yang entah kenapa terasa sedikit berkurang.

Ia kembali ke kamar. Namun langkahnya tidak berhenti di sana. Ia kembali keluar, kali ini membawa selimut tipis di tangannya.

Langkahnya perlahan saat mendekati sofa, seolah takut dunia akan pecah bila ia bergerak terlalu keras. Ia berdiri di depan Ava, menatap wajah wanita itu dalam waktu yang lebih lama dari yang ingin ia akui.

Ia membungkuk sedikit. Dengan hati-hati, ia menyelimuti tubuh Ava, memastikan kaki dan bahunya tertutup. Jarinya sempat terhenti di udara saat melihat helai rambut yang menutupi wajah Ava. Ragu.

Namun akhirnya, dengan gerakan yang nyaris tak terasa, ia menyibakkan anak rambut itu dari wajahnya. Lalu ia berdiri kembali.

Dan untuk pertama kalinya malam itu, Arash kembali ke kamarnya… dengan dada yang terasa lebih berat, dan lebih hangat, dari biasanya.

...----------------...

Pagi datang dengan tenang, seolah malam penuh retak itu tak pernah terjadi. Cahaya matahari menembus tirai tipis, jatuh lembut ke lantai kamar, menyentuh setiap sudut dengan kehangatan yang hampir terasa palsu—tenang, rapi, terkendali.

Seperti biasa, Ava sudah bangun lebih dulu. Ia duduk di sisi tempat tidur dengan postur tegak dan penampilan yang nyaris tanpa cela. Blus bertenda lembut membingkai bahunya, rok sepanjang bawah lutut jatuh rapi menutupi kakinya. Rambut berwarna madu yang selalu tampak lembut itu kini terikat rendah di tengkuk, memperlihatkan garis lehernya yang pucat. Tangannya terlipat tenang di pangkuan, namun di balik sikap rapi itu, ada sesuatu yang tegang—perasaan yang belum sepenuhnya tenang dari malam sebelumnya.

“Arash,” panggilnya pelan, nyaris seperti membangunkan anak kecil dari tidur yang terlalu nyenyak.

Tak ada respons.

Arash berdiri di depan cermin, bahunya tegap, wajahnya keras. Jemarinya sibuk merapikan simpul dasi, menariknya dengan tekanan berlebih. Tatapannya pada bayangan sendiri terasa kosong, seperti sedang berbicara dengan seseorang yang tak bisa menjawabnya. Setelah memastikan simpul itu sempurna, ia mengambil botol parfum, menyemprotkan satu dua kali ke leher dan pergelangan tangannya. Aroma tajam langsung mengisi udara.

Ia meraih tas kerjanya, membuka pintu, dan berjalan keluar—melewati Ava tanpa satu pun lirikan, tanpa satu pun kata. Seolah wanita itu hanyalah bayangan.

“Arash!” Suara Ava melengking sedikit, lebih tinggi dari yang ia rencanakan. Bahkan dirinya sendiri terkejut oleh nada itu. Jemarinya refleks meraih lengan pria itu, jari-jari kecilnya mencengkram kain jas Arash sebelum ia menyadari apa yang ia lakukan.

“Apa benturan semalam membuatmu kehilangan pendengaran?” Nada itu setengah sarkas, setengah tertahan. Ada lelah di sana. Ada ketakutan yang disamarkan dengan keberanian palsu.

Arash berhenti. Tak ada jawaban keluar dari bibirnya, tapi tubuhnya menurut saat Ava menariknya untuk duduk di tepi tempat tidur. Sejenak, aura dingin yang selalu ia kenakan runtuh. Ia duduk, diam, pasrah. Seperti seseorang yang tiba-tiba lupa bagaimana caranya melawan.

Ava mengambil kotak P3K. Tangannya cekatan, tapi jari-jarinya sedikit gemetar saat menyibakkan rambut Arash dari pelipisnya. Luka kecil itu tampak merah, lebih samar dibandingkan rasa bersalah yang melintas di wajahnya.

“Apa masih sakit?” tanyanya pelan ketika ia mengoleskan cairan antiseptik. Bau khas obat yang perih itu langsung mengusik udara.

“Tidak terlalu,” jawab Arash singkat, hampir berbisik.

Ava kembali fokus, berusaha tidak menunjukkan apa pun di wajahnya. Namun saat ia memperhatikan luka itu, dadanya terasa sesak. Perlahan, tanpa sadar, ia meniup luka itu. Hembusan napas hangatnya menyentuh kulit Arash, sangat dekat, sangat halus.

Arash menoleh sedikit dari sudut matanya. Ia bisa merasakan napas itu. Kehangatan itu. Hal yang terlalu… manusiawi.

Ava lalu menempelkan kapas kecil dan membalut luka itu dengan perban baru. Gerakannya lembut, hampir hati-hati berlebihan—seperti takut melukainya lebih dalam daripada luka fisik yang ada.

“Sudah,” ucapnya, sembari merapikan kembali alat-alat itu.

Hening jatuh di antara mereka. Lalu, hampir tanpa sadar, keluar dari bibir Arash sebuah kalimat yang selama ini jarang ia ucapkan.

“Terima kasih.” Suaranya pelan. Tapi cukup jelas di telinga Ava.

Ava menoleh padanya. Ucapan sederhana itu terasa lebih hangat dari apa pun yang pernah ia terima setelah bentakan semalam. Ada rasa lega yang menjalar pelan, seperti luka kecil yang akhirnya diberi udara.

“Terima kasih juga… untuk selimutnya,” jawab Ava lembut.

Arash tidak menanggapi. Ia berdiri, mengambil tasnya lagi, lalu berjalan keluar kamar. Namun langkahnya… tidak lagi sekeras malam tadi.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, pagi itu tidak terasa sepenuhnya dingin bagi Ava.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

📌 Jangan lupa tinggalkan jejak kalian dengan like dan komen ya🥰

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!