NovelToon NovelToon
Fajar Kedua Sang Sayyidah

Fajar Kedua Sang Sayyidah

Status: sedang berlangsung
Genre:Kontras Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Fantasi Wanita / Balas Dendam / Mengubah Takdir
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: INeeTha

Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.

Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.

Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.

Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Drama Roobbatun

Yasmeen menyilangkan jari-jarinya yang mungil di atas meja kerja yang dulu diisi oleh peta dan gulungan penting kakeknya. Pandangannya tetap tenang, kontras dengan kekacauan yang terlihat di mata Tariq—kekacauan karena harus berurusan dengan masalah militer yang kini dibebani lapisan intrik politik yang licin.

“Dia adalah bukti, Khalī,” jawab Yasmeen, suaranya pelan dan berirama, mengisyaratkan sebuah kalkulasi yang presisi.

“Kita tidak akan bisa menghukum Sayyid Zahir tanpa bukti fisik, tetapi juga tanpa kesaksian yang kredibel dari pelayan pribadinya. Faris tidak boleh mati.”

Tariq mengangguk berat, dahinya berkerut kelelahan. “Namun, dia mengancam dengannyawanya sendiri. Kami sudah memasukkan dokter terbaik istana. Tapi dia menolak makanan, menolak air.”

“Dia loyal, dan itu berbahaya,” gumam Yasmeen. Di kehidupan lalu, Faris mati diam-diam di sebuah penjara. Sekarang, dia harus tetap hidup untuk melayani Nayyirah—meskipun dia membencinya.

“Khalī Tariq, aku perintahkan agar Faris dirawat, secara paksa jika perlu,” ujar Yasmeen. Dia menekankan kata-kata itu.

“Berikan dia perawatan terbaik. Isolasi dia dari Sayap Timur, Sayap Barat, dan terutama dari Sayyid Zahir dan orang-orang yang dikenalnya. Tidak ada yang boleh mengunjunginya kecuali Dr. Hafiz dan kau.”

Tariq menatap Yasmeen dengan sedikit kejutan. “Kau ingin dia pulih sepenuhnya, Sayyidah?”

“Aku ingin dia cukup pulih untuk menatap wajah Abī di hadapan Wazir dan mengakui bahwa dia dikirim untuk mencuri. Hanya itu. Dia tidak perlu mengungkapkan kejahatan racun,” jelas Yasmeen. Ia tidak ingin Faris mengungkap seluruh kebenaran politik Oasis Azhar, karena itu akan terlalu cepat dan mungkin memicu kemarahan Kota Agung.

Yang Yasmeen butuhkan saat ini hanyalah pukulan mematikan terhadap reputasi Zahir, agar ia tidak lagi memiliki kaki di dalam istana Nayyirah.

“Gunakan dalih yang kita siapkan: pencurian perhiasan ibuku, almarhumah Sayyidah Ameera,” lanjut Yasmeen, berdiri dan berjalan menuju jendela yang menghadap ke halaman istana yang kini perlahan bangun di bawah cahaya pagi.

“Begitu para Wazir mendapatkan kesaksian itu, Abī akan terlihat bukan sebagai pemimpin sementara yang ambisius, melainkan sebagai seorang ayah yang licik dan pencuri rendahan yang mencuri peninggalan istrinya sendiri.”

Itu adalah kejahatan sosial yang jauh lebih menjijikkan daripada kejahatan politik bagi rakyat gurun. Pencurian keluarga dianggap aib tak termaafkan.

Tariq menyeringai. Meskipun dia merasa sedikit kotor harus menggunakan trik serendah ini, efektivitasnya tidak bisa disangkal. “Sesuai perintah, Sayyidah. Faris akan dirawat dengan pengawasan maksimum. Dan Zahir tidak akan tahu keberadaannya sampai saat yang tepat.”

Yasmeen mengangguk. “Sekarang pergilah. Mandilah. Istirahatlah. Kau harus hadir dalam rapat formal hari ini, di mana kita akan mulai mematahkan leher Sayyid Zahir secara publik.”

Tariq membungkuk dalam, janji dan kesetiaan mutlak terlihat dalam gerakan lelahnya. Saat pintu tertutup, Yasmeen menarik napas panjang. Bagian militer selesai. Sekarang, drama dimulai.

Beberapa jam kemudian, ketegangan terasa tebal dan panas di udara seperti pasir gurun sebelum badai.

Pagi itu ditandai dengan penyelidikan formal insiden racun yang diderita Ruqayyah. Para Wazir senior (Khalid dan dua lainnya) duduk di aula kecil di sayap administrasi, menunggu kehadiran Dr. Hafiz, Zahir, dan yang paling penting—Yasmeen.

Zahir masuk terlebih dahulu, pakaiannya rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi terkontrol. Dia berniat menggunakan rapat ini untuk membersihkan namanya, mengklaim bahwa Ruqayyah jatuh sakit karena makanan yang tidak higienis—tuduhan tak terucap yang ia harap akan dialamatkan pada Yasmeen atau Umm Shalimah.

Namun, suasana yang coba ia ciptakan langsung hancur ketika, lima menit sebelum rapat dimulai, suara tangisan keras dan histeris memecah keheningan istana.

Itu Mehra.

Dia tidak masuk ke ruang rapat formal. Mehra berlari ke lorong di Sayap Administrasi, persis di depan kantor Wazir Agung, di mana para pelayan dan beberapa Wazir junior berkumpul.

Wajahnya bengkak dan merah. Kerudungnya miring, menunjukkan rambutnya yang acak-acakan. Ia terlihat bukan sebagai istri seorang Sayyid terhormat, melainkan seorang wanita yang baru saja mengalami tragedi memilukan. Tangisannya begitu memilukan sehingga bahkan para pengawal terkejut.

Zahir, yang mendengar kekacauan itu dari ruang rapat, bergegas keluar. Ia panik, mengira Mehra telah mengkhianati dirinya atau lebih buruk, menceritakan segalanya.

“Mehra! Apa yang terjadi? Kontrol dirimu!” Zahir membentak, berusaha menarik istrinya ke dalam bayangan.

Mehra, yang baru saja menerima izin tak terlihat dari tatapan dingin Yasmeen di kejauhan, menarik tangannya. Dia mulai tampil. Itu adalah pertunjukan yang didasarkan pada rasa takut yang sangat nyata, diperkuat oleh rasa sakit ibu.

“Tidak! Jauhi aku, Sayyid!” Mehra menjerit, tangannya menutupi perutnya yang bergetar. “Jangan sentuh aku! Kau… kau membuat anakku sakit! Kau menyakitiku!”

Para pelayan tersentak. Wazir Khalid dan Wazir Agung, yang keluar untuk melihat kegaduhan, saling pandang. Mereka telah menduga Zahir licik, tetapi menyakiti putrinya sendiri?

“Mehra, kau bicara apa? Kau pasti sedang demam. Ayo, mari kita bicara baik-baik,” Zahir mencoba membujuknya, suaranya mengandung ancaman yang samar.

Mehra merangkak mundur, kemudian menunjuk ke arah kediaman pribadi Zahir.

“Saya menemukannya! Saya menemukannya!” dia berteriak. “Saya sedang membersihkan ruangan dan saya menemukan ini di balik buku-buku lama Anda, Sayyid! Katakan padaku, apa ini?! Apa ini yang kau gunakan untuk menyakiti Ruqayyah?!”

Mehra, dengan drama yang luar biasa, memegang kotak kayu berukir itu, kotak yang Yasmeen pegang semalam, dan menjatuhkannya.

Kotak itu mendarat di lantai marmer dengan suara keras. Isinya, serbuk-serbuk kuning pucat dan ramuan kering yang tersimpan dalam kantong sutra, tumpah ke lantai, berhamburan seperti dosa yang baru terungkap.

Semua mata, mulai dari pelayan yang bergosip hingga Wazir Agung yang skeptis, terpaku pada serbuk itu.

Mereka tidak perlu ahli kimia untuk mengenali kemiripan yang mencolok dengan obat sakit kepala kakek Yasmeen yang dikenal kuat, yang dilarang penggunaannya dalam dosis tinggi.

Wazir Agung menatap Zahir, wajahnya kaku karena terkejut.

“Sayyid Zahir, apa ini?” tuntut Wazir Agung, suaranya mengandung kekuatan yang menakutkan.

Wajah Zahir seketika menjadi pucat pasi. Itu adalah kekalahannya yang paling memalukan. Bukan karena Yasmeen yang menang, tapi karena wanita yang ia percaya akan buta dan tuli telah mengkhianatinya secara publik, menggunakan senjata yang ia siapkan sendiri.

“Itu—itu tidak ada artinya! Itu adalah ramuan herbal lama. Aku menyimpannya sebagai penawar!” Zahir mencoba menyelamatkan dirinya, tapi suaranya terlalu tajam, terlalu putus asa untuk terdengar jujur.

Mehra memanfaatkan celah itu, menyambarnya dengan kekuatan ibu yang terluka. Ia menangis tersedu-sedu, tangannya kini meraih kaki Wazir Khalid.

“Tolong, Yang Mulia Wazir! Saya tidak tahu! Sejak insiden Ruqayyah, Sayyid terus bergumam tentang kutukan! Tentang takdir! Dia bilang dia tidak butuh siapapun di istana, dia bisa memimpin sendirian! Dia ingin semua orang sakit agar dia bisa berkuasa! Saya takut, Tuan. Saya takut dia gila!”

Zahir tersentak. Mehra tidak hanya menyerahkan bukti, ia menghancurkan otoritas mentalnya.

“Mehra, diam! Ini fitnah! Aku akan menghukummu!” raung Zahir, amarah murni membuatnya kehilangan kendali.

Reaksi Zahir adalah pukulan terakhir. Kekerasan verbalnya, kepanikannya yang tiba-tiba, dan pengakuan tak terucap yang ia tunjukkan kepada para Wazir sudah cukup. Seorang pria yang tidak bersalah akan bersikap tenang dan meminta penyelidikan. Seorang pria yang gila akan menyerang sumber ketakutannya.

Yasmeen, yang menyaksikan drama ini dari jauh melalui pintu setengah terbuka ruang kerjanya, merasakan senyum tipis di bibirnya. Itu berhasil. Mehra, bunga mawar beracun, telah ditanam tepat di jantung harga diri Zahir.

“Bawa Nyonya Mehra ke tempat aman!” perintah Wazir Agung dengan suara bergetar. Dia tidak lagi memanggil Zahir dengan sebutan hormat, hanya menggunakan gelarnya. “Amankan Sayyid Zahir! Jangan biarkan dia mendekati putrinya atau istrinya! Saya tidak peduli apa yang ia katakan, investigasi harus dimulai sekarang!”

Para pengawal Tariq yang telah menunggu isyarat bergegas maju, tetapi sebelum mereka bisa mencapai Zahir, Zahir menghilang di tikungan lorong, menolak diinterogasi.

“Jangan khawatir, Sayyidah,” bisik Tariq, yang telah menyaksikan drama tersebut. “Para Wazir sekarang sepenuhnya berada di pihakmu. Reputasi Zahir hancur. Bahkan jika Sultan memihaknya, orang-orang di Nayyirah akan jijik padanya.”

Yasmeen mengangguk. Dia telah mengisolasi Zahir. Tidak ada yang akan mempercayainya lagi, dan kini dia rentan. Yang tersisa hanyalah menunggu kehancuran final.

Malam tiba di atas istana Nayyirah, membawa keheningan yang dingin. Wazir-wazir menghabiskan waktu berjam-jam mencoba menginterogasi Zahir, namun ia menolak hadir, mengklaim sakit parah.

Zahir berada di ruang bacanya yang besar, di sayap pribadi, dikelilingi oleh dokumen-dokumen dan buku-buku kuno.

Namun, matanya tidak fokus pada apa pun. Semuanya hilang. Faris tertangkap. Oasis Azhar hampir jatuh. Istrinya mengkhianati. Dan Yasmeen—gadis kecil berusia sepuluh tahun itu—kini secara efektif mengendalikan semua loyalitas politik di istana.

Yasmeen duduk di ruang kerjanya, menyusun rencana untuk pengasingan Zahir. Dia memutuskan pengasingan kehormatan adalah yang terbaik; jika dia membunuhnya, itu akan menimbulkan konflik yang tak perlu dengan Kota Agung Azhar, yang masih melihat Zahir sebagai kepala rumah tangga Emirah yang terhormat.

Tepat saat dia mencoret nama Zahir dari daftar pengambil keputusan utama di Emirat, pintu ruang kerjanya diketuk dengan tergesa-gesa. Itu bukan Tariq, melainkan seorang pengawal junior dari kontingen Al-Jarrah yang ditugaskan menjaga Sayap Timur.

Pengawal itu terengah-engah, seragamnya kusut.

“Maafkan kelancangan saya, Sayyidah,” katanya, membungkuk terlalu rendah karena gugup.

“Ada kabar dari sayap pribadi Sayyid Zahir. Kami melihat gerakan aneh. Dia memanggil pelayan yang paling dipercayainya… selain Faris.”

Wajah Yasmeen mengeras. “Dan apa yang dilakukan Sayyid Zahir?”

Pengawal itu berbisik, matanya menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang menguping. “Dia… dia tidak berpakaian untuk tidur. Dia terburu-buru mengemasi tasnya. Tas berburu yang biasanya ia gunakan untuk perjalanan panjang ke utara. Kami mencoba bertanya padanya ke mana ia pergi.”

Yasmeen merasakan detak jantungnya berpacu. Zahir melarikan diri.

“Apa jawabannya?” tuntut Yasmeen.

Pengawal itu menelan ludah, suaranya tercekat karena kebingungan dan ketakutan akan teguran Sayyid Zahir yang ia yakini masih berkuasa.

“Dia mengatakan ingin pergi ‘berburu’ di gurun utara.”

1
Melody Aurelia
aslinya cuma alat anak ini, dipake bapaknya yg maruk
Melody Aurelia
lah itu puterinya satu lagi piye?
Melody Aurelia
serem
Melody Aurelia
klan asalnya Zahir berarti ya?
Melody Aurelia
cape banget pasti jadi Yasmeen
Melody Aurelia
lagian ngga tau diri kau
Melody Aurelia
masih halus, nih mainnya
Melody Aurelia
aku bayanginya ko lucu, bocil ngasih perintah orang2 tua
Melody Aurelia
Zahir itu wali tapi berasa yang punya
Melody Aurelia
mulai tegang, penuh intrik politik sepertinya ini
Melody Aurelia
kasian baru 10 tahun udah ngurus pemerintahan
Melody Aurelia
Thor tanggung jawab... bawangnya kebanyakan disini... ku menangissss👍
Melody Aurelia
lah pede banget lo
Melody Aurelia
keren
Melody Aurelia
bedalah... baru balik dari akhirat nih😍😄
Melody Aurelia
khas banget... ide cowo lebih unggul dari cewek, kesel jadinya
SintabelumketemuRama
ini panglima tapi gampang panik😄
SintabelumketemuRama
mantappp
SintabelumketemuRama
syukurin aja, bader bet jadi bapak
SintabelumketemuRama
ini orang dasarnya emang udah jahat ya, Ama anak kaga mau ngalah pisan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!