Adelina merupakan seorang selebgram dan tiktokers terkenal yang masih duduk di bangku SMA.
Parasnya yang cantik serta sifatnya yang periang membuatnya banyak disukai para followers serta teman-temannya.
Tak sedikit remaja seusianya yang mengincar Adelina untuk dijadikan pacar.
Tetapi, apa jadinya jika Adelina justru jatuh cinta dengan dosen pembimbing kakaknya?
Karena suatu kesalahpahaman, ia dan sang dosen mau tak mau harus melangsungkan sebuah pernikahan rahasia.
Pernikahan rahasia ini tentu mengancam karir Adelina sebagai selebgram dan tiktokers ratusan ribu followers.
Akankah karir Adelina berhenti sampai di sini?
Akankah Adelina berhasil menaklukkan kutub utara alias Pak Aldevaro?
Atau justru Adelina memilih berhenti dan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marfuah Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadi Penguntit 2
Pagi ini, seperti pagi biasanya. Tidak ada yang spesial. Masih dengan omelan Bang Satya karena aku kembali bangun tak sesuai jadwal. Padahal ini hari Senin, hari paling menyebalkan untukku. Aku berharap pagi ini turun hujan setidaknya agar upacara tak dilaksanakan.
Tapi, sepertinya langit tidak mau berpihak padaku. Lihat saja matahari yang muncul tanpa dosa itu. Membuatku semakin malas untuk berangkat ke sekolah.
"Bang, nanti gak usah jemput gue," ucapku setelah aku turun dari motor Bang Satya.
Bang Satya menatapku penuh selidik. "Kenapa? Mau bolos lo, ya?"
"Enak aja, kagak lah. Gue ada tugas kelompok nanti sama Rain dan Senja, jadi lo gak perlu jemput gue. Kecuali ..." Aku tersenyum jahil. "Lo mau ikut nimbrung bareng geng ciwi-ciwi!"
"Dih, Ogah! Mending gue selesaiin skripsi daripada nimbrung sama geng gak jelas lo itu."
Bang Satya mestater motor cb hitam itu dan melenggang pergi meninggalkanku.
Aku berbalik setelah melihat punggung Bang Satya menghilang di belokan, bersama beberapa siswa lain memasuki gerbang yang masih terbuka lebar. Untung aku tak terlambat lagi seperti kemarin.
Aku berjalan santai menyusuri lorong menuju kelas. Terdengar suara bel tanda upacara akan segera dimulai. Satu per satu siswa mulai berhamburan ke lapangan. Tanpa aba-aba mereka semua telah berbaris rapi di tempatnya masing-masing. Peraturan tak tertulis di Athena.
"Del!"
Aku menoleh ke belakang, tampak Rain dan Senja berlari ke arahku. Aku melambaikan tangan ke arah mereka.
"Tumben lo ngga telat?" tanya Rain.
"Bang Satya dobrak pintu kamar semenit setelah alarm gue mati, gimana gue mau telat coba?"
"Sae atuh, Del," sahut Senja dengan logat sundanya.
"Sae kumaha atuh, Sen. Yang ada gue gak bisa lanjut tidur lagi," kesalku.
"Heh ... molor terus sia teh."
"Bodo'."
"Ke lapangan, Kuy!" ajak Rain yang langsung menarik tanganku dan Senja.
...🍉🍉...
Bel tanda pelajaran berakhir yang ditunggu seluruh siswa SMA Athena akhirnya berbunyi. Raut-raut lega nan bahagia nampak dari wajah-wajah tertekan beberapa detik lalu. Pelajaran fisika yang menjadi materi di kelasku saat ini akhirnya usai. Pelajaran yang paling tak kusukai. Pusing bin puyeng tiba-tiba menyerangku setiap jadwal pelajaran ini tiba.
Kadang suka kesel sama apel yang jatuh dari pohon, gara-gara ia jatuh aku harus repot-repot menghitung gayanya!
Kelas XI IPA telah sepi karena hampir seluruh isinya telah berhamburan menuju kantin. Hanya tersisa beberapa anak saja termasuk aku dan geng ciwi-ciwiku--Rain dan Senja. Selesai memasukkan buku-buku kembali ke dalam tas, "Kantin, Kuy!" Rain mengajak yang disambut dengan persetujuan olehku dan Senja.
Aku, Rain, dan Senja pun berjalan beriringan menuju kantin yang terletak di belakang kelas XII Bahasa. Langkah demi langkahku di lorong kelas, tak lekat dari sorot mata tiap siswa yang kulalui. Sesekali aku melempar senyum ke arah mereka yang membuat mereka berteriak heboh.
Beginilah rasanya menjadi selebgram ratusan ribu followers!
Sesampainya di kantin, hampir seluruh bangku telah penuh. Senja menarik kami ke bangku yang masih kosong. Berada tepat di tengah-tengah kantin bersebelahan dengan sekumpulan anak Graphati. Dengan langkah malas, aku mengikuti langkah Senja yang mendahuluiku. Sementara Rain berjalan ke arah warung bakso untuk memesan pesanan kami.
"De, liat siapa yang dateng!"
"Pepet De, pepet!"
"Del, duduk disini aja. Sebelah Dean masih kosong nih!"
Aku menengok ke arah meja dengan yang telah diisi oleh rombongan anak-anak Graphati itu. Tanpa sengaja tatapan kami bertemu. Dia tak menanggapi ocehan teman-temannya, hanya tersenyum manis padaku. Sangat manis, sampai-sampai aku bisa lupa dia itu siapa.
"Del!"
Aku tersentak dan langsung memutuskan kontak mataku dengannya saat Rain menepuk pundakku. Rain mengambil duduk di sebelahku. Sementara Senja ada di sebrang kami.
Tak mau mempedulikan meja sebelah yang masih ribut, "Guys, foto, yuk!" Rain dan Senja langsung mengambil posisi. Merapat padaku setelah mengeluarkan iphoneku dari saku.
Tanganku terangkat tinggi untuk mengambil gambar. "Gue fotoin." Tiba-tiba iphoneku sudah beralih ke dalam genggaman Dean sebelum sempat aku menekan kamera.
Dean merupakan ketua Grapathi-- salah satu geng yang ada di SMA Athena sekaligus cowok yang hampir dua tahun ini mengejarku. Geng dengan anggota ratusan orang itu cukup berkuasa di SMA Athena. Meski Graphati bukanlah satu-satunya geng besar di Athena, tetapi namanya cukup ditakuti oleh siapa pun yang berurusan dengannya.
Dean mengarahkan kamera ke arahku. Geng ciwi-ciwi pun mulai berpose untuk mendapatkan gambar yang bagus. Tak perlu waktu lama dan ribet-ribetan, sesi foto itu pun telah berakhir.
Dean mengulurkan iphoneku yang langsung kuterima. Kubuka galeri untuk melihat hasil jepretannya. Lumayan.
"Gimana?" tanyanya.
"Lumayan," jawabku.
Ia mendekat, matanya menatap lekat ke arahku. Lalu wajahnya mulai mengikis jarak di antara kami. Bibirnya berhenti tepat di telingaku kemudian meniupnya pelan. Menciptakan desiran aneh di tubuhku.
"Kalau gitu gue boleh jadi fotografer lo?" bisiknya.
"Sayang sekali, gue udah punya fotografer pribadi."
Dean menarik wajahnya, rautnya nampak kecewa.
"Neng, baksonya ini teh keburu dingin!" seru Abang tukang bakso yang baru saja meletakkan baksonya di meja kami.
"Iya, Mang. Makasih ya," sahut Rain.
Tidak ingin bakso itu menjadi dingin, kami pun kembali duduk di tempat masing-masing. Kecuali Dean yang kini sudah duduk anteng di sebelahku. Satu tangannya menopang wajah sedang tangan lainnya mengetuk-ngetuk meja. Sementara sepasang mata gelapnya tak lelah menatapku yang tengah menuang saos di mangkuk.
"Lo gak pesen makan?" tanyaku.
"Liat lo aja gue udah kenyang, Del," jawabnya diselingi dengan senyum manisnya. "Baru kali ini gue tahu. Ternyata bidadari juga doyan makan bakso."
Uhuk-uhuk...
Aku sampai terbatuk mendengar kalimat yang keluar dari mulut Dean. Untung saja aku belum memakan baksoku, kalau tidak sekarang mungkin bakso itu sudah berpindah tempat ke mangkuk Senja di hadapanku.
Rain melirik Dean, "Sen, kayaknya kita bakal jadi obat nyamuk deh."
"Enya atuh, Rain," sahut Senja.
"Gak ngerti apa kalok hati jomblo itu sensitif."
Rain mulai memasang wajah minta ditonjoknya. Cewek penggila warna ungu itu memang sangat dramatis.
Aku mengangkat botol saos itu ke arah mereka. "Mau gue sumpel tuh mulut pakek saos?" Kompak menggeleng seraya menutup mulut dengan kedua tangan.
"Dean, liat tuh gebetan lo dari kelas sepuluh. Galak banget sama kita," adu Rain.
Dean tertawa kecil. "Udah dong, Honey. Jangan galak-galak sama mereka. Nanti yang bantuin cuci piring di acara nikahan kita siapa?"
Tawa Dean berubah jadi erangan ampun saat aku mencubiti lengan cowok itu. Mampus. Siapa suruh ngomong seenaknya.
"Ampun, Honey! Ampun."
"Jangan panggil gue honey. Gue bukan madu!"
Cubitanku berubah menjadi gelitikan di pinggang Dean. Membuatnya dari kesakitan berubah tertawa tanpa henti.
"Haha ... Iya, Sayang, iya. Maaf, haha ...."
"Gue bukan pacar lo!"
Sementara anak-anak Graphati tertawa lepas melihat ketua mereka kusiksa. "Sialan kalian, haha.. liat aja abis ini kalian yang akan ngerasain."
Ehem!
Refleks aku menoleh pada sumber suara dan menghentikan gelitikanku pada tubuh Dean.
Kenapa ada dia?
Hawa di sekitarku mulai berubah memanas. Tawa Dean tadi langsung hilang berganti dengan wajah kecut dan tak suka. Bagaimana tidak, di hadapannya saat ini adalah Elvan, sang ketua Banaspati. Geng yang terkenal paling kejam di sekolah.
Bukankah tadi aku katakan bahwa Grapathi hanya salah satu geng di SMA Athena? Jika Grapathi adalah air maka Banaspati adalah api. Kedua geng besar ini tak pernah akur. Selalu bertentangan untuk segala hal. Termasuk untuk aku sekalipun.
Merasa suasana di sini sudah tak baik, aku mengajak Rain dan Senja untuk pergi. Tapi, Elvan dengan sigap meraih lenganku. Menahanku untuk tak pergi.
Mungkin, jika itu siswi lain mereka akan sangat ketakutan. Lantaran image Elvan yang kelewat buruk. Ia tak pernah segan-segan melukai siapa pun yang menentangnya. Tapi, karena ini aku si selebgram hits ratusan ribu followers maka aku tak pernah takut dengannya.
"Apa?" tanyaku.
"Gue belom bolehin lo pergi, Del," sahutnya.
"El, lepasin Delina sekarang!" ketus Dean tajam.
Matanya mengilap menatap Elvan. Ada kemarahan yang tertahan di sana. Aku tak tahu apa yang terjadi di antara mereka hingga menjadi rival abadi seperti sekarang.
Elvan tersenyum remeh, tangannya masih menggenggam lenganku. Tapi, kini tangannya perlahan turun dan menggenggam jemariku erat.
"Van," peringatku.
Ia menoleh ke arahku. Tatapannya melembut. Kata Rain, hanya ketika denganku Elvan menjadi manusia. Jah, terus selama ini dia apa? Iblis?
Elvan melepas genggamannya di tanganku. Ia kembali menatap remeh pada Dean sebelum melangkah mundur. "Gue pergi dulu ya, Sweety. Bye."
"Jangan kangen!" teriaknya setelah mundur beberapa meter dariku.
Aku memutar bola mata malas lantas mengajak Rain dan Senja untuk meninggalkan kantin.
...🍉🍉...
Sesuai kesepakan tadi pagi, Bang Satya benar-benar tidak menjemputku. Sebenarnya aku telah berbohong padanya. Tidak ada tugas kelompok hari ini. Aku hanya mencari alasan saja agar aku bisa bertemu dengan Pak Al—dosen tampan itu.
Dan di sini lah aku sekarang, Institut Teknologi Bandung. Aku telah mengganti seragamku dengan pakaian biasa. Tak lupa aku mengenakan masker dan kacamata untuk menyempurnakan penampilanku. Terutama untuk menghindari Bang Satya jika aku tak sengaja bertemu dengannya.
Kata Bang Satya, Pak Al merupakan salah satu dosen di fakultasnya. Itu artinya aku harus mencari Pak Al di sekitar gedung teknik. Tapi nihil, setelah cukup lama berkeliling aku tak juga menemukan sosok yang kurindukan itu. Alhasil, aku memutuskan untuk menunggu Pak Al di dekat gedung dekan.
Rasa lelah dan pegal merayap di kakiku. Ah, kenapa Fakultas Teknik seluas itu!
Tak lama muncul sesosok tubuh tegap yang sangat aku kenali lewat di depanku. Ia berjalan menuju parkiran. Tanpa basa-basi aku langsung membututinya. Setelah sampai di parkiran ia langsung masuk ke dalam mobilnya. Untung saja mobil yang kupesan tadi masih menungguku di parkiran.
Aku pun segera mengikuti mobil Pak Al. Mungkin kalian pikir aku ini gila. Iya, memang aku sudah gila karena dosen tampan itu. Aku tak bisa berhenti memikirnya sebelum rasa penasaranku terpuaskan.
Ia berhenti di depan sebuah rumah berlantai satu yang tak terlalu besar. Aku pun keluar dari dalam mobil untuk melihat wajah tampan itu lebih dekat. Tapi, saat aku keluar dan menatap sekeliling tiba-tiba Pak Al hilang dari pandanganku. Mataku menyusuri sekeliling tapi nihil, ia tak bisa kutemukan.
Hingga tepukan di bahuku membuatku terkejut. Aku bergeming, jantungku berdetak tak karuan. Apa aku ketahuan?
Perlahan aku memutar tubuh. Benar saja, Pak Al sudah berada di hadapanku saat ini.
Aku menggigit kecil bibirku. Takut, panik, dan bingung. Aku tak tahu harus bagaimana. Rasanya pengen langsung ilang dari sini. Gak mau ketemu lagi. Malu banget. Sumpah!
Tuhan! Hilangkan aku saat ini juga!
Pak Al memicingkan matanya, tangannya dengan segera membuka masker yang menutupi wajahku. Seketika aku menampakan deretan gigiku.
"Ikut saya," ucapnya lantas menarik tanganku cukup kencang.
Dengan langkah tertatih aku mengikutinya. Sedikit kesusahan karena langkah Pak Al yang lebar. "Aaaw ... Pak, sakit. Pelan dong!"
Ia mendorongku hingga aku terbentur di sofa rumahnya. Pak Al kemudian berbalik dan menutup pintu rumahnya membuatku semakin panik. Apa yang mau dia lakukan?
Oh, Tuhan! Aku masih belum siap!