Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Kebenaran yang Terlambat"
Kebenaran tidak selalu datang dengan suara keras.
Kadang ia muncul pelan, lewat potongan kalimat yang tidak sengaja terdengar, lewat wajah-wajah yang terlalu berhati-hati, atau lewat keheningan yang tiba-tiba terasa berbeda. Hari itu, kebenaran datang pada Zavian bukan sebagai ledakan, melainkan sebagai rangkaian kepingan yang akhirnya menyatu—dan justru karena itulah, rasanya jauh lebih menghantam.
Pagi itu Zavian berada di kantor lebih awal dari biasanya. Hujan semalam masih menyisakan udara lembap, dan kaca jendela ruang kerjanya buram oleh embun tipis. Ia berdiri membelakangi meja, menatap kota yang bergerak seperti biasa, seolah tidak ada satu pun kehidupan yang sedang berada di titik genting.
Pintu diketuk dua kali.
“Masuk,” kata Zavian tanpa menoleh.
Ilham masuk lebih dulu, diikuti Bayu dan Bima. Ketiganya berdiri dengan sikap berbeda dari biasanya. Tidak santai, tidak tegang—lebih tepatnya ragu.
Zavian langsung menangkap itu.
“Ada apa?” tanyanya datar.
Ilham melirik Bayu sekilas, lalu menarik napas. “Tentang Evelyn.”
Nama itu menggantung di udara.
Zavian menoleh perlahan. Ekspresinya tetap tenang, tapi sorot matanya mengeras. “Bicara.”
Ilham membuka map tipis yang dibawanya. Tidak ada foto-foto vulgar, tidak ada bukti yang dibuat sensasional. Hanya laporan kronologis, alamat, waktu, dan beberapa nama yang ditulis rapi.
“Sejak tiga bulan sebelum hari pernikahan,” kata Ilham hati-hati, “Evelyn menjalin hubungan dengan pria lain. Bukan hubungan singkat.”
Zavian tidak bergerak.
“Dia sudah merencanakan kepergian itu,” lanjut Bayu. “Bukan kabur karena panik. Tapi karena memilih.”
Bima menambahkan dengan suara lebih rendah, “Pria itu… bukan orang sembarangan. Mereka sudah menyiapkan tempat tinggal di luar kota. Bahkan… tiket sudah dibeli jauh hari.”
Hening.
Bukan hening kosong. Hening yang penuh makna.
Zavian kembali menatap jendela. Tangannya mengepal perlahan, bukan karena marah yang meledak, tapi karena sesuatu di dalam dirinya runtuh dengan sunyi.
“Jadi,” katanya akhirnya, suaranya nyaris tak berubah, “dia tidak pergi karena tertekan.”
Ilham menggeleng. “Tidak. Dia pergi karena ingin hidup dengan pilihannya sendiri.”
Pilihan.
Kata itu berputar di kepala Zavian, terasa ironis. Evelyn memilih pergi. Alya tidak pernah diberi pilihan untuk tinggal.
Zavian menutup map itu perlahan. “Siapa yang tahu?”
“Lingkaran sangat kecil,” jawab Ilham. “Kami jaga tetap seperti itu.”
“Bagus,” kata Zavian singkat. “Tidak perlu diumumkan.”
Ketiganya saling berpandangan. “Pak… soal Alya—”
“Dia tidak perlu tahu detailnya sekarang,” potong Zavian. “Belum.”
Nada suaranya tegas, tapi di balik itu ada pertimbangan yang berat. Ia tahu, cepat atau lambat, Alya akan tahu. Tapi kebenaran ini—jika disampaikan tanpa waktu yang tepat—bisa menjadi beban lain yang tidak perlu ia pikul.
Setelah mereka pergi, Zavian duduk perlahan di kursinya.
Untuk pertama kalinya sejak hari pernikahan itu, ia membiarkan dirinya menunduk.
Bukan karena kehilangan Evelyn.
Melainkan karena menyadari satu hal yang jauh lebih menyakitkan: semua ini—kekacauan, tekanan, dan keputusan tergesa—tidak pernah benar-benar tentang cinta. Ia telah mencoba mempertahankan sesuatu yang bahkan sudah lama dilepaskan oleh orang lain. Dan dalam proses itu, Alya terseret masuk ke dalam pusaran yang bukan miliknya.
Di rumah, Alya menghabiskan pagi dengan membaca, meski matanya tidak benar-benar mengikuti baris kata. Pikirannya melayang, terhenti pada hal-hal kecil: suara pintu, langkah kaki, nada suara Zavian saat berbicara di telepon.
Ia tidak tahu apa yang berubah hari itu, tapi ia bisa merasakannya.
Saat sore menjelang, pintu depan terbuka. Zavian masuk lebih awal dari biasanya. Jasnya masih rapi, tapi wajahnya tampak lelah—bukan lelah fisik, melainkan lelah yang datang dari dalam.
Alya berdiri dari sofa. “Pak… pulang cepat.”
Zavian mengangguk. “Iya.”
Ia meletakkan kunci, lalu berhenti sejenak, seolah mempertimbangkan sesuatu. Alya memperhatikannya dengan cermat. Ada sesuatu di sikap pria itu yang berbeda—lebih tenang, tapi juga lebih berat.
Mereka duduk berhadapan, jarak aman seperti biasa. Namun kali ini, hening di antara mereka terasa… menunggu.
“Alya,” kata Zavian akhirnya.
“Iya?”
“Aku mau bicara soal sesuatu. Kamu tidak harus menjawab apa pun kalau tidak ingin.”
Nada itu membuat Alya menegakkan punggungnya. Ia mengangguk pelan.
“Evelyn tidak pergi karena keadaan memaksa,” lanjut Zavian. Ia memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Dia pergi karena memilih hidup lain.”
Alya terdiam.
Bukan karena terkejut. Entah kenapa, ada bagian dalam dirinya yang seolah sudah menebak.
“Dia… punya orang lain,” kata Zavian akhirnya. Kalimat itu jatuh tanpa emosi berlebihan, tanpa pembelaan. Hanya fakta.
Alya menunduk. Tangannya kembali mencari cincin itu, memutarnya pelan. Ada rasa aneh di dadanya—bukan lega, bukan marah. Lebih seperti kesedihan yang tidak sepenuhnya miliknya.
“Jadi… Pak menikah dengan saya karena—”
“Karena aku mencoba menutup kekacauan yang sudah terjadi,” jawab Zavian jujur. “Dan itu kesalahanku.”
Kata itu—kesalahan—diucapkan dengan jelas. Tidak dibungkus, tidak dihindari.
Alya mengangkat wajahnya. “Saya bukan pengganti, kan?”
Pertanyaan itu sederhana. Tapi berat.
Zavian menatapnya lama. “Tidak. Kamu tidak pernah menjadi pengganti siapa pun.”
Alya mengangguk pelan. Dadanya terasa sedikit lebih longgar, meski tidak sepenuhnya lega. “Kalau begitu… kenapa rasanya saya yang harus menanggung semua akibatnya?”
Pertanyaan itu tidak menuduh. Hanya jujur.
Zavian menunduk. “Karena aku terlambat menyadari bahwa mempertahankan citra lebih penting bagiku daripada melindungi orang yang tidak bersalah.”
Alya diam.
Untuk beberapa detik, tidak ada yang bicara. Tapi hening itu tidak lagi kosong. Ada pengakuan di sana. Ada kebenaran yang akhirnya diletakkan di tengah ruangan, tidak untuk disangkal, tidak untuk dibenarkan—hanya untuk dihadapi.
“Pak,” Alya berkata pelan, “saya tidak membenci siapa pun.”
Zavian menatapnya.
“Saya cuma… capek tidak mengerti,” lanjut Alya. “Semua orang seperti sudah tahu perannya, sementara saya… hanya ikut berjalan.”
Zavian mengangguk perlahan. “Dan itu tidak adil.”
Ia menarik napas dalam. “Alya, mulai sekarang, aku akan lebih jujur. Tidak semua hal, mungkin. Tapi cukup agar kamu tidak merasa berjalan sendirian.”
Alya tidak langsung menjawab. Ia menatap lantai, lalu jendela, lalu kembali ke cincin di jarinya.
“Kalau begitu.... sekarang pernikahan-,” katanya ragu
Pertanyaan itu tidak datang dengan emosi meledak. Hanya permintaan kepastian.
Zavian menjawab tanpa jeda. “Tidak....karena kamu istri saya sekarang”
Satu kata. Tegas.
Alya mengangguk. Ada air yang menggenang di matanya, tapi ia tidak menangis. Ia hanya menarik napas panjang, seolah baru saja melepaskan sesuatu yang lama ia tahan.
Malam itu, mereka duduk terpisah seperti biasa. Tidak ada perubahan fisik. Tidak ada jarak yang ditutup. Tapi ada sesuatu yang bergeser pelan.
Zavian tidak lagi memandang Alya sebagai bagian dari masalah yang harus diatur. Ia mulai melihatnya sebagai seseorang yang telah terlalu lama diam karena tidak diberi ruang untuk bicara.
Dan Alya, untuk pertama kalinya, memahami bahwa kekacauan ini bukan karena ia kurang, bukan karena ia salah—melainkan karena orang-orang dewasa di sekitarnya gagal memilih dengan jujur.
Di luar, hujan turun pelan.
Dan di dalam rumah itu, sebuah kebenaran yang terlambat akhirnya menemukan tempatnya—tidak untuk menyembuhkan segalanya, tapi cukup untuk membuat keduanya berhenti menyalahkan diri sendiri.
Konsekuensi belum selesai.
Tapi setidaknya kini, mereka tahu dari mana semuanya bermula.