Lima tahun lalu, Liliane Lakovelli kehilangan segalanya ketika Kian Marchetti—pria yang dicintainya—menembak mati ayahnya. Dikhianati, ia melarikan diri ke Jepang, mengganti identitas, dan diam-diam membesarkan putra mereka, Kin.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali. Kian tak menyadari bahwa wanita di balik restoran Italia yang menarik perhatiannya adalah Liliane. Namun, pertemuan mereka bukan hanya tentang cinta yang tersisa, tetapi juga dendam dan rahasia kelam yang belum terungkap.
Saat kebenaran terkuak, masa lalu menuntut balas. Di antara cinta dan bahaya, Kian dan Liliane harus memilih: saling menghancurkan atau bertahan bersama dalam permainan yang bisa membinasakan mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caesarikai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tokyo Tower
Ryuu adalah chef terkenal yang memiliki jaringan restoran mewah di Jepang. Ia bertemu dengan Liliane di salah satu event makanan kelas dunia. Saat itu Kin sudah berusia dua tahun, dan Liliane berniat ingin membangun restoran authentic ala Italia.
Mereka berkenalan dan menjadi teman dekat seperti sekarang. Ryuu juga bekerja sebagai chef di restoran Liliane khusus pada malam Minggu.
Karena itulah Kin juga ikut tumbuh bersama Ryuu. Kehadiran Ryuu menjadi sosok ayah bagi Kin yang tak pernah mengenal ayah kandungnya. Namun, Kin adalah anak yang kritis, beberapa kali ia menanyakan tentang ayahnya pada Liliane.
Malam ini, Festival Koinobori berlangsung meriah di Tokyo Tower. Lentera berwarna-warni bergoyang tertiup angin, dan bendera koi berkibar di langit. Liliane, Ryuu, dan Kin berjalan santai di antara kerumunan.
Kin menarik tangan Liliane, matanya terlihat berbinar menatap langit penuh bendera koi. "Mommy, lihat! Ikan-ikan koi di langit! Mereka berenang di angin!"
Liliane tersenyum dan mengusap kepala Kin. "Iya, sayang. Koinobori ini melambangkan harapan dan kekuatan."
Lalu, Kin menoleh ke Ryuu, binar di matanya belum padam. "Ayah Ryuu, kalau aku punya koinobori, aku mau yang paling besar!"
Mendengar itu, Ryuu tertawa kecil. Ia menundukkan sedikit badannya agar sejajar dengan Kin. "Koinobori yang besar hanya untuk anak yang berhati kuat. Kau yakin bisa menjaganya?"
Kin mengangguk dengan yakin dan mengepalkan tangan kecilnya. "Aku pasti bisa! Aku ingin menjadi kuat seperti samurai!"
Sontak saja tawa Ryuu dan Liliane meledak. Ryuu mengusap kepala Kin dengan gerakan lembut. "Kau tidak harus menjadi samurai untuk menjadi kuat, Kin. Yang penting adalah hati yang teguh dan keberanian untuk melindungi orang-orang yang kau sayangi."
Dalam diam, Liliane memandang keduanya dengan senyum samar. Suaranya terdengar pelan. "Kau selalu punya cara sendiri untuk mengajarinya sesuatu, ya?"
Ryuu melirik Liliane, suaranya tenang seperti biasa. "Aku hanya ingin dia tahu bahwa kekuatan bukan hanya tentang fisik." Ujarnya dengan tersenyum kemenangan.
Lalu, tiba-tiba Kin menarik tangan Liliane. Suaranya yang riang menggambarkan bahwa anak lelaki itu benar-benar bahagia. "Ayah Ryuu, ayo kita ke atas menara! Aku ingin melihat Tokyo dari atas! Kameraku juga sudah siap!"
Ryuu tersenyum, kemudian mengangguk pelan. "Baiklah. Aku akan menemani kalian."
***
Di Bandar Udara Internasional Haneda, sebuah jet pribadi berwarna hitam metalik baru saja lepas landas. Beberapa orang berjas hitam dan sebuah mobil rolls royce phantom terlihat menunggu kedatangan seseorang yang masih berada di dalam pesawat jet itu.
Setelah pesawat terparkir dengan sempurna, seorang pramugari terlihat membuka pintu pesawat dan mempersilakan penumpang terhormat itu turun. Adam Spencer muncul setelahnya disusul oleh Ashley Smith, mereka menuruni undakan tangga lebih dulu sebelum Kian Marchetti menyusul di belakangnya dengan kemeja slimsuit berwarna hitam dan kacamata hitam yang bertengger manis di hidung mancungnya.
Para bodyguard yang menunggu segera menunduk hormat tatkala Kian melewati mereka. Kemudian, Adam membukakan pintu mobil dan Kian langsung ke dalam mobil. Tak berselang lama, mobil Rolls Royce Phantom berwarna hitam itu segera melaju pergi meninggalkan Bandara Haneda.
Kedatangan Kian malam ini adalah untuk negosiasi investasi dengan perusahaan teknologi terbesar di Jepang. Tujuan resminya untuk menjalin kerja sama keamanan teknologi untuk mendukung ekspansi bisnis restorannya di Jepang, karena dia berencana akan membangun restoran fine dining di Tokyo.
Sementara itu, ia juga memiliki tujuan tersembunyi. Tujuannya untuk mencari tahu siapa saja musuh lamanya yang masih berkeliaran di Jepang, terutama orang-orang yang mungkin masih berbahaya bagi bisnisnya.
"Signore, malam ini ada festival koinobori di Tokyo Tower. Apakah Signore berencana untuk mampir?" Adam bertanya pada Kian sembari menatap Kian dari kaca tengah mobil.
Kian melirik arloji di pergelangan tangannya. "Ya, mampirlah untuk makan malam juga."
***
Restoran di Tokyo Tower dipenuhi dengan cahaya temaram dan jendela kaca besar yang memperlihatkan pemandangan kota Tokyo yang berkilauan di bawah langit malam. Meja-meja dipenuhi oleh tamu yang menikmati makan malam mereka, sementara denting halus peralatan makan berpadu dengan alunan musik jazz lembut.
Di salah satu sudut restoran, Liliane, Kin, dan Ryuu duduk bersama, menikmati hidangan khas Jepang. Tak jauh dari mereka, di sisi lain ruangan, Kian duduk di meja VIP bersama Adam dan Ashley. Mereka berbincang dengan suara rendah. Mereka semua tak menyadari betapa dekatnya mereka.
Kin mengayunkan kakinya di kursi, matanya berbinar menatap sushi di piringnya. "Ayah Ryuu, lihat! Aku bisa makan sushi ini tanpa membelahnya dulu!"
Ryuu tertawa kecil, kemudian menyuapkan sedikit ramen ke mulutnya. "Bagus, Kin. Tapi jangan terburu-buru. Nikmati makanannya."
Melihat interaksi itu, Liliane tersenyum tipis dan menyeruput tehnya. "Dia selalu bersemangat kalau soal makanan." Ucapnya sembari meletakkan cangkir teh ke atas meja.
Ryuu melirik ke arah Kin, nada suaranya terdengar hangat. "Itu bagus. Anak seusianya memang harus makan dengan baik."
Sementara Kin tertawa kecil dan mengunyah makanannya dengan penuh semangat.
Di sisi lain, Kian, Adam dan Ashley sedang sibuk berbincang di tengah-tengah makan malam mereka. Adam dan Ashley sudah dianggap seperti kakak sendiri oleh Kian, sebab mereka bertiga tumbuh bersama di mansion Marchetti. Dahulu orang tua Adam dan Ashley juga merupakan orang kepercayaan tetua Marchetti.
Adam menatap dokumen di tangannya dan bicara pelan. "Signore, transaksi dengan grup di Osaka hampir selesai. Tapi masih ada beberapa hal yang harus dikonfirmasi."
Kian mengangguk. "Ya, kita bahas itu nanti. Aku tidak suka membicarakan bisnis sambil makan." Ucap Kian kemudian meletakkan pisaunya perlahan.
Ia meraih gelas anggur dan mulai menyesapnya. Kedua mata elang berwarna onyx itu mengedar, mengamati sekitar restoran.
"Tempat ini menarik." Ucap Ashley yang telah menyelesaikan makan malamnya.
Kian menoleh sekilas, kemudian mengangguk setuju. "Ya, lumayan."
"Bagaimana rencana bulan madu kalian?" tanya Kian secara tiba-tiba.
Hal itu membuat Adam terkejut hingga terbatuk-batuk. Ashley segera memberikan air mineral pada suaminya. Sedangkan Kian lempeng-lempeng saja seolah tak ada yang salah dari ucapannya.
Adam melirik pada Ashley sebelum memutuskan untuk menjawab. Mereka berkomunikasi secara telepati. "Kami memutuskan untuk menundanya." Ucap Adam pada akhirnya.
"Menunda selama enam tahun? Itu bukan menunda namanya," ujar Kian yang membuat Adam meneguk ludahnya dengan susah payah.
Kian menepuk pundak Adam. "Aku tahu kau amat peduli padaku, tapi kita saudara. Aku tak mungkin membiarkan kalian tak bersenang-senang. Pergilah jika ingin."
"Oh, dan jangan lupa bawakan aku ponakan lucu sebagai hadiahnya." Lanjut Kian dengan wajah tanpa dosa. Ia tak menyadari bahwa wajah Adam dan Ashley sudah memerah seperti kepiting rebus.
Di tengah percakapan masing-masing, seorang pelayan datang menghampiri meja Liliane dan secara tak sengaja salah menyebutkan pesanan, hal itu membuat Liliane mengangkat wajahnya sekilas—searah dengan meja Kian.
Di sana Kian juga mengangkat gelas anggurnya, dan selama sekejap, pandangannya hampir bertemu dengan Liliane.
Namun, tepat sebelum mereka benar-benar bertatapan, seorang pelayan melintas di antara mereka, menutupi pandangan.
Liliane kembali menoleh pada Kin, sementara Kian mengalihkan pandangannya pada Adam, seolah tak terjadi apa-apa.
Sementara itu, Ryuu yang duduk di sisi Liliane sempat mengangkat tatapannya, sekilas menangkap sosok Kian di meja seberang. Tapi ia tak mengenali pria itu—selain karena wajahnya tak begitu jelas, bagi Ryuu, dia hanya tamu restoran lain yang kebetulan ada di tempat yang sama.
Tanpa mereka sadari, malam itu adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.[]
***
seruny......
nyesel klo g baca karya ini