Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Mereka Pulang Hidup
Ruang briefing dingin. Lampu putih menyala stabil.
Kapten Raska berdiri tegak di depan meja panjang. Seragamnya rapi. Wajahnya tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang baru keluar dari baku tembak.
Di seberangnya, tiga perwira senior duduk sejajar. Pangkat mereka tidak perlu disebut. Aura ruangan sudah cukup menjelaskan.
“Silakan,” ujar perwira tertua.
"Siap." Raska membuka map. Suaranya datar, terukur.
“Pukul 01.17, unit kami melakukan penyusupan sesuai rencana awal. Pada menit kesembilan, terjadi kontak tak terduga. Musuh menggunakan umpan dan ranjau jarak dekat.”
Ia berhenti sebentar.
“Dua prajurit terluka. Tidak fatal.”
Salah satu perwira mengangkat alis. “Menurut laporan awal, prosedur evakuasi seharusnya dilakukan mundur penuh.”
“Siap. Benar, Komandan.”
“Namun Anda tidak mundur.”
“Siap. Tidak, Komandan.”
Ruangan hening.
“Alasan?”
Raska mengangkat kepala. Tatapannya lurus. Tidak menantang. Tidak tunduk.
“Siap. Jika kami mundur sesuai prosedur, dua prajurit itu tidak akan sampai ke titik aman tepat waktu.”
Perwira lain menyela, nadanya dingin. “Anda mengubah skema tanpa izin pusat.”
“Siap,” jawab Raska. “Saya mengambil alih risiko.”
“Dengan apa dasar perhitungannya?”
Raska tidak langsung menjawab. Ia membuka lembar berikutnya. Menunjuk peta.
“Kontur tanah memberi kami keunggulan visual palsu. Granat asap membuat musuh salah mengira jumlah kami. Mereka mundur. Kami keluar.”
Ia menutup map.
“Hasil akhir: tidak ada korban jiwa.”
Sunyi jatuh lebih berat dari sebelumnya.
Perwira tertua menyandarkan punggung. Menatap Raska lama. Terlalu lama.
“Kau sadar,” katanya pelan, “keputusanmu bisa membuatmu dicopot bila gagal.”
“Siap,” jawab Raska. “Saya paham.”
“Lalu kenapa kau tetap lakukan?”
Raska menjawab tanpa jeda.
“Siap. Karena saya bertanggung jawab atas mereka, Komandan. Bukan atas kertas laporan.”
Tak ada emosi. Tak ada pembelaan. Hanya kebenaran.
Ruangan senyap beberapa detik. Tak ada yang langsung menanggapi.
Akhirnya, perwira tertua berkata singkat,
“Laporan diterima.”
“Kami tidak akan mencatat pelanggaran.”
Perwira itu menutup map.
“Laporan resmi akan ditandai sebagai keputusan taktis lapangan berisiko tinggi.”
Ia menatap Raska lurus.
“Dan namamu… akan disimpan.”
"Siap." Raska memberi hormat. Berbalik. Keluar.
Pintu menutup. Dan di dalam ruangan itu—
“Dia melanggar prosedur,” gumam salah satu perwira.
“Tapi hasilnya bersih,” sahut yang lain.
Perwira tertua menatap peta di meja. “Yang berbahaya dari anak itu… bukan keberaniannya.”
Ia berhenti sejenak.
“Tapi kejernihan berpikirnya di bawah tekanan.”
***
Lapangan latihan masih basah oleh embun pagi. Barisan prajurit berdiri tegak, napas teratur.
Seorang Letnan mendekat cepat. “Kapten Raska, izin laporan!”
Raska menoleh. Tatapannya tenang, tajam, tanpa tekanan berlebihan. “Lanjutkan.”
“Siap. Simulasi tadi… pasukan tiga terlambat dua puluh detik. Ada kendala koordinasi.”
Raska mengangguk kecil. “Bukan kendala. Itu kelalaian.”
Letnan itu menegakkan bahu. “Siap, Kapten.”
Raska melangkah maju. Suaranya tidak keras, tapi jatuh tepat di dada setiap prajurit. “Di medan nyata, dua puluh detik cukup untuk kehilangan satu nyawa.”
Ia berhenti. Tatapannya menyapu barisan. Tak ada kemarahan, hanya kepastian.
“Dan satu nyawa… terlalu mahal untuk ditukar dengan alasan.”
Tak ada yang bergerak.
“Ulangi simulasi.” Nada suaranya datar. “Dan kali ini, anggap yang tertinggal adalah saudara kalian sendiri.”
“SIAP!”
Saat barisan bubar, Seorang Perwira Senior yang sejak tadi berdiri di sisi lapangan mengamati, akhirnya bersuara.
“Kau tahu,” katanya pelan, “kau tidak perlu meninggikan suara untuk ditakuti.”
Raska menjawab tanpa menoleh, “Siap. Saya tidak ingin ditakuti, Komandan.”
“Lalu?”
“Siap. Saya ingin mereka pulang hidup.”
Perwira itu tersenyum tipis. “Tak heran namamu terus naik.”
Raska terdiam sejenak.
Matanya menatap jauh, ke arah yang tak terlihat siapa pun.
Dalam benaknya, bukan medan tempur. Melainkan wajah seorang perempuan…
Wajah yang membuatnya tahu, bahkan medan paling kejam pun tak akan pernah lebih sunyi daripada hidup tanpanya.
Waktu istirahat akhirnya tiba. Beberapa taruna duduk di pinggir lapangan simulasi. Helm dilepas, napas masih berat.
“Lo dengar nggak,” gumam salah satu taruna sambil menyeka keringat, “dia kapten… tapi pas misi yang ngangkat prajurit paling parah justru dia sendiri.”
“Padahal bisa nyuruh siapa aja,” sahut yang lain.
Taruna ketiga mendengus pelan. “Itu bedanya. Dia nganggep pangkat buat tanggung jawab, bukan buat jarak.”
Mereka terdiam sejenak.
“Kalau suatu hari gue turun medan,” ujar salah satu dari mereka, suara masih berat, “gue mau di bawah komando dia.”
“Gue juga.”
Yang di belakang terkekeh pendek. “Siapa yang nggak?”
“Dia nggak banyak teriak,” sambung yang pertama. “Tapi tiap keputusan tepat. Emosinya stabil.”
“Dan satu hal,” potong taruna lain, lebih pelan. “Dia milih anak buahnya. Bahkan kalau harus ngelanggar prosedur.”
Sunyi sesaat.
“Yang penting,” kata yang duduk paling belakang, menatap ke arah Raska yang masih berdiri di tengah lapangan, “misi jalan… dan semua pulang hidup.”
Tak ada yang membantah.
***
Sementara itu, di belahan bumi yang lain, bangsal koas pagi itu lebih sibuk dari biasanya.
Elvara baru saja selesai mencatat perkembangan pasien ketika bisik-bisik dalam bahasa inggris mulai terdengar di ujung lorong. Nada rendah, tapi antusias, jenis suara yang muncul saat ada sesuatu yang menarik perhatian.
“Dokter baru?”
“Pengawas koas katanya.”
“Ganteng banget, sumpah.”
Elvara tidak langsung menoleh. Ia menutup map pasien, merapikan bolpoin, lalu baru mengangkat wajah ketika langkah itu berhenti tak jauh darinya.
Seorang pria berdiri di sana. Tinggi. Rambut cokelat terang disisir rapi, mata biru keabu-abuan yang tajam tapi tidak dingin. Jas dokternya pas, posturnya tenang, tipe yang tak perlu banyak bicara untuk terlihat berwibawa.
“Excuse me,” katanya ramah. “You’re Dr… Elvara?”
Elvara sedikit terkejut. “Yes. I am.”
Pria itu tersenyum, mengulurkan tangan. “Adrian Keller. I’ll be supervising the interns this rotation.”
Elvara langsung paham, pria ini pengawas koas baru yang dibicarakan sejak pagi.
“Elvara,” jawabnya sambil menjabat tangan itu. Hangat. Singkat. Profesional.
Adrian melirik badge namanya sebentar, lalu matanya kembali naik.
“Your name… it’s Indonesian, right?”
Elvara mengangguk kecil. “Yes.”
Ekspresi Adrian langsung sedikit berubah. Bukan kaget, lebih seperti seseorang yang menemukan sesuatu yang menarik.
“Aku… eh—” ia berhenti sejenak, lalu terkekeh kecil. “Aku sedikit bisa bahasa Indonesia. Sedikit sekali,” katanya, dengan aksen yang jelas belum rapi.
Elvara reflek tersenyum. “Oh ya?”
Adrian mengangguk, tampak agak bangga. “Aku pernah liburan ke Indonesia. Bali, Jogja. Bahasanya indah… tapi susah.
Ia menambahkan pelan, nyaris hati-hati, “Aku masih belajar.”
Nada itu, campur. Ragu, tapi sungguh-sungguh, mengingatkan Elvara pada seseorang.
Rava.
Anaknya sering bicara seperti itu saat mencoba kata baru. Belum rapi, tapi penuh usaha.
“Itu sudah bagus,” ujar Elvara lembut. “Tidak banyak yang mau belajar bahasa asing hanya karena tertarik.”
Adrian menatapnya sedikit lebih lama dari yang perlu. Bukan tatapan menilai, lebih seperti mengamati.
“Maybe,” katanya pelan, “because some things are worth learning… when they catch your attention.”
Kalimat itu sederhana, tapi maknanya jelas:
ada hal-hal yang layak dipelajari… ketika mereka menarik perhatianmu.
Elvara menangkapnya.
Ia tidak langsung menjawab. Hanya tersenyum tipis, profesional, lalu menunduk kembali pada catatannya.
“Welcome aboard, Dr. Keller.”
Adrian tersenyum lebih lebar. “Terima kasih, Dokter Elvara.”
Dari kejauhan, beberapa koas saling pandang. Mereka tahu, ini bukan perkenalan biasa.
Dan Elvara, meski tak menyadarinya sepenuhnya, baru saja membuka satu pintu kecil yang kelak…
akan membuat seseorang di belahan dunia lain merasa tidak lagi sendirian di posisinya sebagai ‘yang menunggu’.
...🔸🔸🔸...
...“Dalam situasi yang tak sesuai prediksi, prosedur bisa gagal....
...Tapi tanggung jawab tak pernah boleh.”...
...“Prosedur dibuat untuk keadaan ideal....
...Pemimpin diuji saat keadaan tidak ideal.”...
...“Laporan bisa ditulis ulang....
...Nyawa tidak.”...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Kak, up lagi donk 🤭
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏
Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏