Irene Larasati seorang polisi wanita yang ditugaskan menyamar sebagai karyawan di perusahaan ekspor impor guna mengumpulkan informasi dan bukti sindikat penyeludupan barang-barang mewah seperti emas, berlian dan barang lainnya yang bernilai miliaran. Namun, bukannya menangkap sindikat tersebut, ia malah jatuh cinta kepada pria bernama Alex William, mafia yang biasa menyeludupkan barang-barang mewah dari luar negri dan menyebabkan kerugian negara. Alex memiliki perusahaan ekspor impor bernama PT Mandiri Global Trade (MGT) yang ia gunakan sebagai kedok guna menutupi bisnis ilegalnya juga mengelabui petugas kepolisian.
Antara tugas dan perasaan, Irene terjerat cinta sang Mafia yang mematikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni t, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Pria bernama Ridwan sontak memundurkan langkahnya dengan kaki gemetar, menatap senjata api yang berada di tangan Alex. Sebenarnya siapa pria itu? Setahunya, warga sipil tidak diperbolehkan membawa senjata api. Apalagi digunakan untuk mengancam seseorang. Atau, Senjata yang dibawa oleh Alex hanya mainan dan sengaja menakut-nakutinya? Batin Ridwan, seketika ketakutan.
Alex tersenyum menyeringai, membuka pintu mobil lalu kembali menutupnya, berdiri tepat di depan Ridwan. "Kamu tau ini apa?" tanya Alex, seraya menekan kening Ridwan menggunakan pistol yang ia bawa.
Tubuh Ridwan semakin gemetar. "I-ini pistol mainan, 'kan?" tanyanya dengan terbata-bata.
"Mainan?" tanya Alex, tersenyum lebar. Pria itu tiba-tiba mengarahkan pistol ke atas lalu menembakkan peluru, hingga suaranya terdengar nyaring dan menggelegar.
Ridwan sontak berjongkok seraya menutup kedua telinganya menggunakan telapak tangan. "Haaaa!" teriaknya, benar-benar terkejut.
Alex tersenyum sinis, meniup ujung pistol dengan perasaan puas. "Kalau kamu masih berani deketin Irene, maka peluru ini akan menembus kepala kamu, paham?"
Ridwan hanya menganggukkan kepala, tidak mampu berkata-kata. Alex menekan kepala pria itu menggunakan pistolnya. Kedua matanya nampak tajam menatap wajah Ridwan bak singa yang siap menerkam buruannya.
"Sekali lagi saya liat kamu di rumah Irene, saya gak akan segan-segan ngehabisi nyawa kamu!" ancamnya terdengar tidak main-main.
"Ba-baik, saya janji gak akan ngedeketin Irene lagi," jawab Ridwan, masih berjongkok, bahkan kedua tangannya masih ia letakan di telinga.
Alex tersenyum lebar, berbalik lalu membuka pintu mobil kemudian masuk ke dalamnya dengan perasaan puas karena berhasil mengancam Ridwan, pria yang tengah dekat dengan Irene. Ia yakin, laki-laki itu tidak akan berani mendekati wanitanya lagi. Jika hal itu sampai terjadi, maka dirinya tidak akan segan menghabisi nyawanya seperti menepuk nyamuk yang mengganggu tidur nyenyaknya.
Mobil mewah tersebut pun melaju meninggalkan tempat itu dengan kecepatan tinggi. Ridwan berdiri tegak, kedua kakinya masih gemetar, membayangkan peluru menembus kepalanya membuatnya ketakutan.
"Sial, siapa sebenarnya si brengsek itu? Apa dia mafia atau penjahat jelas kakap? Ko bisa Irene deket sama cowok kayak gitu?" gumamnya dengan kesal. "Dari pada saya di door sama si brengsek itu, mendingan saya jauhin aja si Irene. Hmm ... atau saya pecat aja dia, ya."
Ridwan melangkah menuju pagar lalu memasuki halaman seraya menatap mobil Alex yang melaju meninggalkan kediamannya.
***
Keesokan harinya, Irene bekerja sebagai kasir di sebuah supermarket. Seragam hitam putih nampak membalut tubuh langsingnya dengan rambut diikat rapi di ujung kepala. Wanita itu nampak berdiri di belakang meja kasir siap memulai kerja. Namun, ia terpaksa meninggalkan tempat kerjanya karena Ridwan tiba-tiba memanggilnya ke ruangan.
Irene mengetuk pintu ruangan sebelum akhirnya membuka. "Selamat pagi, Pak. Anda memanggil saya?" tanya Irene berdiri di depan pintu.
"Masuk," pinta Ridwan dengan dingin, sikapnya tidak seperti biasa membuat Irene heran.
Wanita itu melangkah memasuki ruangan lalu berdiri tepat di depan meja. "Ada apa Anda memanggil saya, Pak? Eu ... pembeli udah mulai berdatangan lho."
Bukannya menjawab pertanyaan Irene, yang dilakukan oleh Ridwan adalah meletakan amplop putih di atas meja, ekspresi wajahnya masih sama, dingin dan datar tidak sehangat biasanya.
"Ini uang gaji kamu bulan ini, kamu saya pecat," ucap Ridwan membuat Irene terkejut. "O iya, langsung pulang aja. Saya udah siapin pengganti kamu."
"Saya dipecat, Pak? Tapi, kenapa?" tanya Irene, menuntut kejelasan.
"Kamu tanya sama Ayahnya si kembar, dia dateng dan ngancem saya pake pistol, Irene. Pistol!" bentak Ridwan, membayangkan apa yang terjadi kemarin membuatnya kesal. "Emangnya dia mafia apa, berani ngancem saya pake pistol segala? Untung gak saya laporin ke polisi, kalau saya laporin, bisa mampus dia!"
Irene memejamkan mata, ia tidak menyangka bahwa Alex akan berani menunjukkan taringnya di depan Ridwan hanya karena cemburu. Rasanya benar-benar kesal, apa yang Alex lakukan sudah sangat keterlaluan.
"Kenapa kamu diem aja, Irene? Cepat pulang dan bilang sama si brengsek sialan itu kalau saya gak akan pernah deketin kamu lagi, paham?"
Irene terdiam sejenak, meraih amplop di atas meja dengan perasaan malu. "Saya mohon maaf, Pak Ridwan. Gara-gara saya, Anda diancam sama Ayahnya si kembar. Sekali lagi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya," ucap Irene, membungkukkan tubuhnya sebagai permohonan maaf.
"Bilang sama si brengsek itu, kalau dia berani ngancem saya kayak gitu lagi, saya bakalan lapor polisi!"
Irene hanya menganggukkan kepala, lalu berbalik dan melangkah menuju pintu dengan wajah kesal. Kedua tangannya pun mengepal. "Awas aja kau, Alex. Dasar brengsek! Aku dipecat gara-gara dia," batinnya.
***
Irene kembali ke kediamannya dengan mood berantakan, ia kehilangan pekerjaan gara-gara ayah si kembar, dipecat secara tidak adil bahkan dipulangkan hari itu juga tanpa diberi kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan terakhirnya. Irene memarkirkan motornya tepat di depan rumah, membuka helm lalu hendak melangkah. Namun, suara dering ponsel miliknya seketika mengejutkan. Wanita itu sontak menahan gerakan kaki seraya merogoh tas miliknya, meraih ponsel canggih dari dalam sana, menatap layarnya sejenak sebelum akhirnya mengangkat telepon.
"Halo," sapa Irene, meletakan ponsel di telinga.
"Iya, halo. Saya dengan wali kelasnya William. Apa Anda bisa dateng ke sekolah? Ada sedikit masalah, Bu Irene," samar-samar terdengar suara seorang wanita yang merupakan wali kelas William.
"Oh bisa, Bu. Bisa, tapi masalah apa, ya?"
"Ini, Bu Irene. William berantem sama temennya, biar lebih jelasnya, saya tunggu Anda di sekolah sekarang juga."
"Baik, Bu. Saya ke sana sekarang juga," ucapan terkahir Irene sebelum wanita itu menutup sambungan telepon, kembali menaiki sepeda motor dan meninggalkan kediamannya menuju Sekolah Dasar, tempat di mana si kembar menimba ilmu.
***
Sesampainya di sekolah, Irene mengetuk pintu ruangan Guru lalu membukanya kemudian masuk ke dalam ruangan. Semua yang berada di sana sontak menoleh ke arah pintu, termasuk William yang tengah duduk bersama seorang laki-laki, siapa lagi kalau bukan Alex, ayahnya.
"Alex? Ko dia bisa ada di sini?" batinnya dengan kesal, melangkah mendekat lalu duduk di samping sang sang putra.
"Ibu ko lama banget sih?" rengek Willi dengan bibir dikerucutkan sedemikan rupa.
Irene tersenyum tipis, mengabaikan rengekan sang putra lalu mengalihkan pandangan matanya kepada Guru, wali kelas William. "Maaf karena saya dateng terlambat, Bu. Di jalan kejebak macet," ucapnya dengan ramah.
"Gak apa-apa, Bu Irene. Udah ada Ayahnya William yang mewakili, masalahnya juga udah selesai," jawab Guru berjenis kelamin perempuan, tidak kalah ramah dari Irene.
Irene mengerutkan kening dengan bingung. "Maaf, tadi kata Ibu, William berantem sama temennya, ya? Eu ... sekarang temannya mana?"
Alex yang duduk di samping William tersenyum lebar. "Gak usah khawatir, Sayang. Saya udah beresin masalah William, kamu gak usah khawatir, ya," ucapnya dengan penuh percaya diri.
Irene menarik napas dalam-dalam dengan perasaan kesal, merasa muak dengan panggilan sayang yang baru saja terucap dari bibir Alex, mengabaikan ucapan pria itu, pandangan matanya pun tidak beralih dalam menatap wajah sang Guru.
"Saya mau tau duduk permasalahannya, Bu Guru. Mengapa anak saya bisa berkelahi sama temannya?"
"Jadi begini, Bu Irene. Tadi temannya William mengejek Willi dan terjadilah perkelahian sampai temannya itu terbentur lantai dan keningnya berdarah. Tapi, Pak Alex udah membereskan masalah ini, Bu Irene."
"Caranya?"
"Pak Alex memberikan uang kompensasi sebesar satu juta kepada Ibu temannya William itu, Bu Irene, dan sepakat tidak akan memperbesar masalah ini."
"Apa? Satu juta?"
Alex tersenyum lebar. "Saya bilang juga apa, Sayang? Uang bisa membereskan masalah apapun, 'kan?"
Bersambung ....
***
Mampir juga ke karya keren di bawah ini, ya.
Nama Pena : Realrf
Judul : Mendadak Papa
mampus kau david,habis ni kau akan liat kemurkaan dan kemarahan bang alex 🤭😅😅