Benar kata orang, tidak ada hal yang lebih menyakitkan kecuali tumbuh tanpa sosok ibu. Risa Ayunina atau kerap disapa Risa tumbuh tanpa sosok ibu membuatnya menjadi pribadi yang keras.
Awalnya hidup Risa baik baik saja meskipun tidak ada sosok ibu di sampingnya. Karena Wijaya—bapak Risa mampu memberikan kasih sayang penuh terhadapnya. Namun, di usianya yang menginjak 5 tahun sikap bapak berubah drastis. Bapak yang awalnya selalu berbicara lembut kini berubah menjadi sosok yang keras, berbicara kasar pada Risa dan bahkan melakukan kekerasan fisik.
“Bapak benci sama kamu, Risa.”
Risa yang belum terlalu mengerti kenapa bapaknya tiba tiba berubah, hanya bisa berdiam diri dan bersabar. Berharap, bapak akan kembali seperti dulu.
“Risa sayang bapak.”
Apakah Bapak akan berubah? Apa yang menyebabkan bapak menjadi seperti itu pada Risa? Ikuti terus kisah Risa dan jangan lupa untuk memberikan feedback positif jika kalian membaca cerita ini. Thank you, all💐
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hyeon', isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPS 14
Saat ini Jeff dan Risa duduk di sebuah taman tak jauh dari sekolah. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Keduanya hanyut dalam keheningan.
“Sa.” Panggil Jeff memecah keheningan. Risa hanya melirik tanpa berniat untuk membalas. Risa masih bingung akan dirinya.
“Gue lihat lo kemarin.” Risa mengangkat sebelah alisnya tanda bertanya. Jeff melihatnya kemarin? Di mana? Risa menatap dalam dalam Jeff berharap ia segera melanjutkan ucapannya.
“Kemarin waktu gue anterin lo balik.” Jeff menghentikan ucapannya. Kepalanya menoleh ke samping menatap mata Risa. “Jeff lihat gue di cambuk?” Batin Risa menerka apa yang dilihat Jeff.
“Gue lihat punggung lo di cambuk. Kenapa? Kenapa lo nggak mau cerita? Bukannya kita udah jadi temen. Masih nggak bisa percaya sama gue, ya?”
Risa hanya diam seraya menundukkan kepalanya. Bayangan akan insiden ia dikhianati teman baiknya kembali terlintas di pikirannya. Ketika satu persatu dari mereka tahu latar belakangnya. Sisi rapuhnya.
Dan dengan hitungan detik, semuanya berubah menjadi ejekan. Mereka mulai mengejek latar belakang keluarganya. Hingga Risa yang mulai dikucilkan.
Teman sekelasnya saat ini pun tidak ada yang tahu bagaimana keadaannya di rumah. Sekarang, Jeff tahu bahkan ia melihatnya langsung. Bagaimana jika Jeff menyebarkan semuanya?
“Risa.” Risa sontak sadar dari lamunannya. Ia menoleh ke arah Jeff.
“Lupain tentang apa yang lo lihat kemarin lusa. Anggap itu nggak pernah ada. Gue mohon.”
Jeff menghela napasnya kasar. Dugaannya benar, Risa masih tidak bisa mempercayainya. Jeff memandang tubuh Risa yang kian menjauh. Ternyata tak mudah membujuk Risa untuk menceritakan semuanya.
Memang tak mudah berada di posisi Risa. Jeff mengerti bagaimana sulitnya kembali percaya kepada seseorang setelah mendapatkan pengkhianatan. Terlebih, Risa dikhianati oleh teman baiknya. Mungkin masih sangat sulit untuk terbuka.
Jeff pun beranjak berdiri lalu berjalan menuju parkiran sekolah. Ia mengambil motornya yang terparkir rapi di sana. Tanpa pikir panjang, Jeff segera menyalakan mesin motornya dan melesat dengan kecepatan tinggi.
*****
“Risa, aku kangen banget sama kamu.” Ucap mbak Laras menyambut kedatangan Risa. Risa hanya tersenyum tipis melihat reaksi mbak Laras yang berlebihan.
“Kamu udah sehat?” Tanya mbak Laras dengan nada lembut. Mbak Laras ini memang tipe orang yang lemah lembut.
“Udah, Mbak.” Mbak Laras bernapas lega mendengar penjelasan Risa. Saking senangnya ia sampai memeluk Risa erat.
Risa mengerang pelan kala merasakan perih pada punggungnya. Bekas cambukan bapak memang belum sepenuhnya kering. Dengan pelan Risa melepaskan pelukan mbak Laras.
“Aku ke belakang dulu ya, Mbak.” Mbak Laras yang tidak menaruh curiga sama sekali hanya menganggukkan kepalanya. Ia pun segera kembali bekerja.
Risa nampak berbeda dari biasanya dan mbak Laras menyadari hal itu. Meskipun Risa selalu memasang wajah datar. Tapi dia tidak pernah ceroboh dalam pekerjaannya.
Namun, hari ini Risa banyak melakukan kesalahan. Mulai dari melamun hingga tidak sadar ada pelanggan. Tak sengaja menjatuhkan nampan hingga mengganggu para pelanggan.
Raut wajahnya juga tampak kelelahan. Sorot matanya menunjukkan betapa lelahnya dia. Mbak Laras pun berinisiatif menghampiri Risa.
“Ris, kamu kenapa? Masih sakit, ya?” Tanya mbak Laras yang dibalas gelengan oleh Risa.
“Aman kok, Mbak. Aku anterin pesanan ini dulu ya.” Mbak Laras hanya bisa menghela napasnya panjang. Risa selalu seperti itu. Ia tidak mau membuat orang disekitarnya merasa khawatir akan dirinya.
Tetapi, terlalu berlagak sok kuat juga tak selamanya baik. Merasa kuat dan baik baik saja dihadapan semua orang. Padahal, ada luka hebat dibalik itu semua.
Risa berjalan dengan nampan di tangannya. Entah karena kelelahan atau bagaimana. Risa tersandung kakinya sendiri yang mengakibatkan makanan di atas nampan jatuh mengenai pelanggan.
“OMAYGAT, LO BUTA YA?” Teriakan pelanggan mampu membuat ricuh caffe. Semua orang menatap Risa yang terus dimaki oleh pelanggan di depannya.
Mbak Laras buru buru menghampiri Risa. Ia membantu Risa membersihkan makanan yang berserakan. Terlihat seorang pemuda sedikit tua berjalan dengan amarah yang memuncak menghampiri kericuhan.
“Maaf, ada apa ini?”
“Anda manajer di sini?” Laki laki itu pun mengangguk sebagai jawaban.
“Lihat pegawai anda ini, dia menjatuhkan makanan ke baju mahal saya. Pegawai anda ini sangat ceroboh, jika tidak bisa bekerja, pecat saja dia.”
Risa hanya diam menunduk. Bagaimanapun juga ini memang salahnya. Dirinyalah yang begitu ceroboh.
“Baik, saya minta maaf atas kecerobohan pegawai saya. Sebagai permintaan maaf, saya akan membuatkan makanan untuk anda. Dan itu gratis.”
“Tidak usah, saya tidak butuh.” Pelanggan itu pun pergi dengan wajah kesal. Pak Tio—manajer caffe itu menatap tajam Risa.
“Ke ruangan saya sekarang!” Titah Pak Tio pada Risa. Setelahnya, Risa nampak berjalan dengan gontai menuju ruangan manajernya itu.
Di dalam ruangan, Risa terus menunduk tanpa berani menatap Pak Tio. Terdengar helaan napas gusar dari Pak Tio.
“Ini gajimu terakhir. Ambil dan jangan kembali lagi ke sini.”
Risa sontak mendongak menatap wajah manajer di depannya. Tidak adakah kesempatan kedua untuknya? Hanya baru pertama ia melakukan kesalahan.
“Pak, apa nggak ada kesempatan kedua untuk saya? Saya baru pertama kali melakukan kesalahan.”
“Ambil dan jangan kembali lagi ke sini!!” Kali ini nadanya terdengar penuh penekanan. Risa tak bisa berbuat apa apa. Ia hanya mampu menerima dengan ikhlas.
Tangannya mengambil amplop dan berpamitan pada Pak Tio. Langkahnya begitu pelan menuju ruang ganti. Risa mengambil tasnya yang berada dalam loker. Ketika tubuhnya berbalik, ia mendapati mbak Laras yang menatapnya sendu.
“Pak Tio beneran mecat kamu, Ris?” Tanya mbak Laras seraya memeluk erat Risa.
“Iya, Mbak. Aku pamit dulu ya.” Dengan berat hati mbak Laras melepaskan pelukannya. Meskipun Risa tampak biasa saja. Jauh dari lubuk hatinya, ia merasa sedih. Ke mana ia harus mencari pekerjaan lagi?
Ketika sampai di parkiran caffe, Risa mengambil sepedanya yang terparkir di sana. Ia mengendarai sepedanya dengan kecepatan pelan. Dan ya, air mata yang sedari tadi ia bendung kini luruh juga.
Hanya tatapan kosong dengan linangan air mata yang terus berderai. Nampaknya malam juga mengerti akan suasana hati Risa. Tak ada bintang yang bertaburan. Dan bulan juga enggan menampakkan cahayanya.
Sesampainya di rumah, Risa membuka pintu rumah pelan. Ia melihat bapak yang tengah menonton TV. Tak menghiraukannya keberadaan bapak, Risa segera berjalan menuju kamarnya.
Ia merebahkan tubuhnya pada kasurnya. Matanya menatap langit langit kamarnya. Kenapa hari ini begitu melelahkan. Risa meraih ponselnya yang ia simpan dalam tasnya. Ia mencoba mencari lowongan pekerjaan di internet.
Wajahnya tampak lesu kala tak ada lowongan satupun di sana. Apakah ia harus meminta bantuan Jeff? Tidak, Risa menggelengkan kepalanya. Tak mungkin ia meminta bantuan Jeff.
“Gue nggak mau ngerepotin orang lain. Lo bisa Risa, lo pasti bisa.” gumamnya yang menyemangati dirinya sendiri.
Risa memilih untuk memejamkan matanya. Ia ingin menyelami alam bawah sadarnya. Dan dengan hitungan detik, Risa terlelap dalam tidurnya. Tanpa ia sadari, bapak melihatnya dari balik pintu.
“Wajahnya begitu kelelahan. Maafkan bapak, nak.”
*****
HAPPY READING👀✨