Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Jarak yang Dipilih
Gio memilih menjauh dengan cara yang paling sunyi.
Ia datang ke sekolah lebih pagi, pulang lebih cepat, dan menghindari semua ruang yang berpotensi mempertemukannya terlalu lama dengan Danu. Bangku paling ujung jadi pilihannya. Jawaban singkat jadi kebiasaan. Tatapan dihindari seolah bisa melukai.
Bukan karena ia tidak ingin ditemani.
Melainkan karena ia tidak sanggup menjelaskan.
Hari itu, Danu akhirnya menghentikannya di koridor. Tidak dengan suara keras. Tidak dengan amarah. Hanya langkah yang menyusul, lalu berdiri di depannya.
“Gio,” katanya pelan. “Lu kenapa sih?”
Gio menoleh setengah. “Apa lagi?”
“Gw cuma nanya. Dari kemarin lu—”
“Lu ribet,” potong Gio cepat. “Capek gak sih ngikutin gw terus?”
Danu mengernyit. “Gw ngikutin karena gw khawatir.”
“Khawatir apaan?” suara Gio meninggi. “Gw gak minta!”
Beberapa siswa melirik. Danu menahan napas, menurunkan suara. “Oke. Gw salah. Tapi jangan marah tanpa alasan.”
“Lu kira gw harus jelasin semuanya ke lu?” Gio menyengir tipis, getir. “Gw gak punya kewajiban.”
Kalimat itu menghantam. Danu menelan ludah. “Gw cuma pengen bantu.”
“Bantu?” Gio tertawa pendek, dingin. “Lu malah bikin gw makin pusing.”
Danu terdiam. Tangannya mengepal di sisi tubuh. “Jadi sekarang keberadaan gw salah?”
Gio mengangkat bahu. “Lu yang nyimpulin.”
Hening menekan. Danu ingin mengatakan banyak hal—tentang tidur Gio di kelas, tentang wajah pucatnya, tentang mual yang tak pernah selesai. Tapi setiap kata terasa seperti paku jika dipaksakan.
“Gw capek,” ucap Danu akhirnya, jujur. “Tapi gw masih di sini.”
“Ya itu masalah lu,” balas Gio cepat. “Bukan masalah gw.”
Gio melangkah pergi. Langkahnya sedikit goyah, tapi ia menolak menoleh. Danu berdiri di tempat, lelah menempel di tulang. Ia tidak tahu berapa kali lagi ia sanggup berdiri di depan pintu yang sama.
Di luar jam sekolah, Gio duduk di ruangan yang terlalu terang, menjalani bimbingan yang tidak pernah ia bayangkan akan ia butuhkan. Konselor berbicara tenang, netral—dua pilihan yang sama-sama menakutkan: dipertahankan atau dihentikan.
Kata-kata itu terasa seperti palu.
Gio menggenggam tangannya sendiri. Ada hari-hari ia ingin semuanya berhenti. Ada hari-hari lain ia terbangun dengan tangan di perut, takut kehilangan sesuatu yang belum sempat ia pahami. Kebimbangan itu menggerogoti sisa tenaganya.
Sementara itu, Danu pulang dengan bahu jatuh. Kepalanya penuh, dadanya sesak. Ia bertanya pada dirinya sendiri—sampai kapan ia harus kuat jika yang dihadapinya terus mendorong?
Namun setiap kali ia ingin menyerah, wajah Gio muncul—pucat, lelah, dan sendirian. Danu memilih bertahan. Lagi.
Di tempat lain, ponsel Lucas bergetar. Pesan Mahesa singkat, dingin, dan menghantam: Athaya sudah bergerak ke garis depan. Perang itu nyata. Antarnegara. Tanpa jaminan pulang.
Lucas menatap layar lama sekali. Suara di sekitarnya meredup. Ia baru menyadari betapa lama ia membiarkan jarak tumbuh, mengira kelonggaran itu aman.
“Bodoh,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar. “Gw kira waktu bakal nunggu.”
Tangannya bergetar. Ia mengetik, menghapus, mengetik lagi. Kata-kata terasa kecil dibanding kenyataan. Ia menghela napas, menyandarkan dahi ke dinding.
“Maaf,” gumamnya lagi, kali ini lebih lirih. “Harusnya gw lebih ada.”
Di Jepang, Athaya melangkah tanpa menoleh. Helm terpasang. Perintah dijalankan.
Di Jakarta, Gio menatap cermin, menyentuh perutnya sekilas lalu menarik tangan itu seolah terbakar. Keputusan masih menggantung.
Danu menunggu di luar, seperti biasa.
Lucas menyesal terlambat.
Jarak itu dipilih.
Dan konsekuensinya kini menagih satu per satu.
—bersambung—