Naya seorang istri yang sedang hamil harus menerima takdir ditinggal suaminya karena kecelakaan. Pada saat sedang dalam perjalanan ke kampung halaman, suaminya yang bernama Ammar jatuh dari Bus antar kota yang ugal-ugalan.
Sebelum Ammar tewas, dia sempat ditolong oleh sahabatnya yang kebetulan mobilnya melintas di jalan tol. Tak disangka Ammar menitipkan amanah cinta kepada sahabatnya bernama Dikara yang berprofesi sebagai dokter.
Padahal saat itu Dikara sudah bertunangan dengan seorang wanita yang berprofesi sama dengannya.
Akahkah Dika menjalani amanah yang diberikan sahabatnya? Atau dia akan tetap menikahi tunangannya?
Apakah Naya bersedia menerima Dikara sebagai pengganti Ammar?
Cinta adalah amanah yang diberikan Allah SWT terhadap pasangan. Namun bagaimana jadinya jika amanah itu dinodai oleh pengkhianatan?
Yuk lah kita baca selengkapnya kisah ini!
Happy reading!💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 Janji Dikara
"Selamat malam Bu Naya!" sapa seorang suster yang datang bersama dr. Dikara.
Naya bergeming. Ia masih asik dengan lamunannya. Mengingat masa lalunya bersama Reno yang harus kandas di tengah jalan hingga kebersamaannya dengan Ammar yang berakhir dengan kepedihan. Matanya mengembun. Ia tidak menyadari kedatangan 2 orang yang berada di dalam kamarnya.
Naya terbangun dari lamunannya ketika suster itu menyapanya lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras.
"Bu Naya, selamat malam! Dokter Dikara ingin berbicara dengan Anda," katanya dengan senyum.
Naya terhenyak, seraya menggelengkan kepala, mencoba untuk menghilangkan bayangan masa lalunya yang masih terasa pahit. Ia mengusap air mata dengan punggung tangannya.
Ia memandang dr. Dikara dan suster itu dengan mata yang masih terlihat sedih.
"Maaf, dokter. Saya sedang...," katanya dengan suara yang pelan.
Dokter Dikara tersenyum, dia berdiri di sebelah Naya.
"Tidak apa-apa, Bu Naya. Saya mau memeriksa kondisi Ibu sekarang!" katanya dengan suara yang lembut.
Naya mengangguk, ia mengulurkan tangan kirinya, membiarkan dokter memeriksa kondisinya.
Dokter Dikara memeriksa nadi dan tekanan darah Naya dengan teliti. Setelah itu, ia memeriksa perut Naya dengan hati-hati. Naya merasa sedikit tidak nyaman, tapi ia tahu bahwa pemeriksaan ini penting untuk memantau kesehatannya dan kesehatan janinnya.
"Semuanya terlihat baik, Bu Naya," kata dr. Dikara dengan senyum.
"Sebaiknya Bu Naya tetap beristirahat dan tidak melakukan aktivitas yang terlalu berat. Jangan lupa obatnya diminum. Nanti 2 jam sekali bayi akan diantar kemari untuk diberi ASI,"
"Baik dok,"
"ASInya lancar, kan?" tanya Dikara ingin memastikan produksi ASI Naya tidak kekurangan. Sehingga asupan ASI buat si bayi terpenuhi dengan baik.
"Lancar dok, tapi sepertinya bayiku mengalami kesulitan..."
Dikara tersenyum, "Tidak apa-apa nanti juga terbiasa. Oiya Bu, mohon izin. Jenazah suami Ibu, akan diantarkan ke rumahnya di Garut, malam ini," jelas Dikara.
Naya memicingkan matanya. Ia menatap dr. Dikara dengan heran.
"Kok dokter tahu, kalau suami saya orang Garut?"
Dokter Dikara tersenyum dan menjelaskan, "Oh, saya tahu karena melihat kartu identitasnya yang masih tersimpan di dompet yang berada di saku celananya. Karena itulah saya tahu kalau suami Anda berasal dari Garut." Naya mengangguk, merasa lega karena dokter Dikara menjelaskan hal tersebut dengan jelas.
Tapi, kemudian ia merasa sedih lagi karena teringat bahwa suaminya sudah tidak ada lagi. Ia menunduk dan mencoba untuk menahan air matanya.
"Dok, tidak bisakah saya ikut serta mengantarkan suamiku untuk yang terakhir kalinya? Aku juga ingin menghadiri proses pemakaman suamiku sendiri,"
Dokter Dikara tersenyum, seraya menatap tajam istri sahabatnya itu.
"Maaf Bu Naya. Sebaiknya Ibu di sini saja. Ibu masih dalam proses pemulihan setelah melahirkan, dan kondisi Ibu belum stabil. Saya tidak ingin ada resiko yang serius pada Bu Naya, jadi percayakan pada kami. Biarkan kami yang mengurusnya!" kata dokter Dikara dengan suara yang lembut tapi tegas.
Naya merasa kecewa, tapi ia juga mengerti bahwa dokter Dikara hanya ingin menjaga keselamatannya. Ia menghela napas dalam-dalam dan mencoba untuk menerima keputusan dokter Dikara.
"Baik, dok. Saya akan menuruti saran dokter," katanya dengan suara yang pelan.
Tidak lama kemudian suster dari perawatan bayi datang dan menyerahkan bayi pada Naya untuk segera diberi ASI. Naya mengangkat kepala dan memandang bayinya dengan mata yang penuh cinta. Ia merasa bahwa bayinya adalah satu-satunya yang masih tersisa dari suaminya, dan ia ingin memastikan bahwa bayinya tumbuh dengan baik dan bahagia. Naya memeluk bayinya erat, mencoba untuk menghilangkan perasaan sedih dan kehilangannya dengan kehadiran bayinya.
"Sayang, maafkan Mama. Mama tidak bisa menjaga ayah. Walaupun ayahmu sudah pergi, Mama akan berusaha membuatmu bahagia. Teruslah bersama Mama...," Naya membuai bayinya dengan kasih sayang lalu mencium keningnya.
Tidak terasa air matanya jatuh di wajah bayi yang sedang menatapnya, seolah-olah bayi tersebut memahami perasaan sedih dan kehilangan yang dialami oleh ibunya.
Naya merasa bahwa bayinya sedang berusaha untuk menghiburnya, dan itu membuatnya merasa lebih lega. Ia terus memeluk dan membuai bayinya, merasa bahwa kehadiran bayinya adalah satu-satunya yang dapat menghiburnya dari kesedihan yang mendalam. Air mata Naya terus mengalir. Ia ingin bayinya tahu bahwa ia sangat mencintainya, dan ia akan selalu berada di sampingnya.
Melihat pemandangan seperti itu, hati Dikara sangat sedih. Ia teringat kembali dengan amanah yang disampaikan Ammar kepadanya. Ia merasa berat untuk menyampaikan kebenaran yang terjadi antara dirinya dan Ammar. Dikara harus merahasiakan hal itu, agar Naya tidak kepikiran. Kesehatan Naya dan bayinya lebih penting dan harus diutamakan. Ia pun merasa belum bisa memutuskan siapa yang akan menjadi pendampingnya kelak?
Jika amanah itu ia pegang maka akan banyak orang yang dikecewakan termasuk orang tuanya yang begitu bahagia Dikara akan menikahi Amanda.
Pasangan yang serasi, dokter bertemu dengan dokter lantas menikah. Sesuatu yang menjadi idaman keluarga besar Dikara.
Dilematis, itu yang dirasakan Dikara saat ini. Dikara beranjak dari ruangan tersebut. Ia berjalan gontai memasuki ruangannya, di sana sudah ada dr. Amanda yang tengah menunggunya.
"Mas Dika, aku ikut ya!" Amanda bergelayut manja di dalam ruangan Dikara.
"Ga usah. Kamu di sini saja. Biarkan aku saja yang pergi. Sekalian jadi saksi kalau aku dan dr. Irwan yang melihat kejadian itu. Lagi pula kamu kan masih ada tugas!"
"Ck tugas kan bisa dihandle dokter lain, Mas. Kamu engga kangen apa? Kita tuh engga ketemu beberapa hari kemarin, masa harus ditinggal lagi sih. Lagipula kamu kan pemilik rumah sakit ini, harusnya bisa dong, membebaskan tugasku hari ini? Agar kita bisa berdua saja," Amanda cemberut, berusaha memberi pemahaman pada kekasihnya tentang perasaan rindunya.
Dikara tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya dan mengelus kepala Amanda.
"Tidak ada yang spesial di rumah sakit ini. Kalau berkaitan dengan tugasnya sebagai dokter, siapapun dia harus mengerjakannya dengan penuh tanggung jawab," ujarnya tegas.
"Iya tapi untuk kali ini ada dispensasi lah untuk tunanganmu ini,"
Dikara kali ini tertawa, begitu bucinnya gadis yang berada di hadapannya. Inilah yang membuat Dikara tidak tega untuk menyakitinya.
"Aku tahu, aku tahu. Tapi ini urusan yang penting, dan aku harus melakukannya sendiri. Kamu tidak bisa ikut, karena ini terkait dengan kasus pasien yang sangat sensitif," Dikara terus menjelaskan agar Amanda lebih memahami posisinya.
Amanda mengangguk, tapi masih terlihat cemberut.
"Baiklah. Aku tidak akan ikut. Tapi kamu harus janji untuk segera kembali dan menghabiskan waktu bersamaku, ya!" Dikara tersenyum dan mengusap pipi Amanda dengan lembut. Dia menatap tajam, kekasihnya itu.
"Aku janji. Aku akan segera kembali dan menghabiskan waktu bersamamu. Senyum dong!" kalimat itu lolos juga dari bibir Dikara yang masih ragu dalam memutuskan.
"Ya Allah harus sampai kapan? Aku tidak tega menyakiti Amanda. Ia begitu mencintaku. Aku pun mencintainya. Aku harus bagaimana?" gumamnya dalam hati.