“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Syanas melangkah keluar dari apartemen Nindi dengan tekad membara. Kepalanya penuh dengan berbagai rencana, tapi satu hal yang paling mendesak adalah mengambil kembali semua berkas penting yang masih disimpan ibunya di rumah.
Tanpa itu, ia tidak akan bisa memulai langkah baru untuk memperbaiki kehidupannya.
Di dalam mobil, Nindi sesekali melirik ke arah Syanas yang duduk di kursi penumpang dengan tatapan penuh tekad. Ia tahu sahabatnya itu sedang merencanakan sesuatu, tapi Nindi tak tahan untuk tidak membuka suara.
“Lo yakin mau ke sana sendirian?” tanya Nindi, tangannya masih memegang setir dengan santai.
Syanas mengangguk tanpa ragu. “Gue harus ambil barang gue. Kalau nggak sekarang, kapan lagi?”
“Tapi lo tau kan, kemungkinan besar nyokap lo akan melarang lo pergi? Terus lo di balikin lagi ke pesantren, sama suami lo itu. Apa nggak mending lo tunggu sampe situasi lebih aman aja?”
Syanas mendengus kecil, matanya menatap lurus ke jalanan di depan. “Kalau gue nunggu terus, kapan selesainya? Gue nggak bisa stuck begini. Gue butuh berkas-berkas gue agar lebih aman aja.”
Nindi menghela napas, lalu melirik ke arah Syanas. “Gue ngerti, tapi... kalau lo di cegah dan di kurung lagi, lo bakal gimana?”
Syanas menoleh, menatap Nindi dengan tatapan penuh tekad. “Gue nggak peduli. Gue udah mutusin nggak mau balik. Kalau gue dipaksa, ya gue bakal cari cara buat kabur lagi. Gue nggak akan biarin siapa pun, termasuk gus Kahfi atau nyokap gue, ngatur hidup gue lagi.”
Nindi terdiam sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Ia tahu percuma membujuk Syanas untuk berubah pikiran. “Oke, tapi hati-hati ya. Jangan sampe lo ketahuan.”
“Tenang aja,” balas Syanas sambil tersenyum tipis. “Gue udah hafal setiap celah rumah itu. Gue yang paling tau gimana cara masuk tanpa ketahuan.”
Nindi tertawa kecil, meski nadanya terdengar cemas. “Lo tuh bener-bener ya. Gue nggak tau ini gila atau cerdas.”
Syanas tersenyum lebar, menaikkan alisnya dengan percaya diri. “Dua-duanya. Gue gila, tapi gue juga cerdas. Makanya, tenang aja. Semua bakal baik-baik aja.”
Mobil itu berhenti beberapa blok dari rumah. Syanas membuka pintu, lalu berbalik untuk melihat Nindi. “Thanks. Gue pergi dulu.”
Nindi mengangguk, menatap sahabatnya dengan khawatir. “Lo yakin nggak mau gue tunggu di sini?”
“Enggak usah. Kalau gue butuh lo, gue telpon,” jawab Syanas sebelum menutup pintu dan melangkah menjauh.
Nindi hanya bisa menghela napas panjang sambil memperhatikan Syanas yang semakin menjauh. “Dasar kepala batu,” gumamnya, sebelum menyalakan mobil lagi dan pergi.
Sesampainya di dekat rumah, Syanas menepi di balik pohon besar. Pandangannya tertuju ke arah rumah yang tampak sepi dari luar. Namun, langkahnya terhenti ketika samar-samar ia mendengar suara seseorang dari dalam rumah. Suara yang sangat familiar.
“Sepertinya dia berada di salah satu rumah temannya ma.” suara bariton itu terdengar jelas, membuat Syanas langsung menahan napas. Siapa lagi kalau bukan Kahfi.
Degup jantungnya langsung berpacu. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Tentu saja Kahfi mencarinya. Tapi, ini hanya memperkuat tekadnya. Ia tidak akan kembali. Bukan sekarang. Bukan dengan keadaan seperti ini.
Syanas melangkah pelan, menjauh dari pintu depan. Ia tahu jika ia nekat masuk lewat pintu utama, Kahfi pasti akan langsung menemukannya. Maka, ia berjalan memutar ke sisi rumah, menuju jendela kamarnya yang ada di lantai bawah.
Jendela itu adalah pintu rahasianya sejak dulu. Sering kali ia pulang larut malam dan masuk lewat jendela untuk menghindari amukan ibunya.
Ia tahu jendela itu jarang dikunci, karena ibunya tidak pernah peduli soal keamanan kamarnya.
Sesampainya di dekat jendela, Syanas berjongkok, menahan napas sambil memastikan situasi aman. Ia mendengar suara langkah kaki di dalam rumah, tapi syukurlah, suaranya semakin menjauh ke arah ruang tengah.
Dengan hati-hati, Syanas meraih bingkai jendela itu. Ia mencoba mengangkatnya perlahan, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan.
Saat jendela itu terbuka sedikit, senyum penuh kemenangan mulai menghiasi wajahnya. “Masih seperti dulu,” gumamnya pelan, merasa lega karena dugaannya benar.
Ia merangkak masuk dengan gerakan yang sangat hati-hati. Begitu kakinya menapak lantai kamar, Syanas menutup jendela kembali, menyisakan celah kecil agar ia bisa keluar lagi nanti.
Syanas hampir menghela napas lega. Namun, ketika ia berbalik, tubuhnya mendadak kaku. Kahfi berdiri di belakangnya dengan tatapan tajam yang menusuk. Wajahnya dingin, namun sorot matanya menyiratkan kelelahan bercampur kekecewaan.
“Kamu pikir kamu bisa kabur terus-terusan?” suara Kahfi terdengar tenang, namun tegas.
Syanas menelan ludah, menahan desakan rasa panik yang merambati tubuhnya. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah mundur ke arah jendela, berharap bisa melarikan diri lagi.
Tapi langkahnya terhenti saat ia melihat ke luar. Di sana, beberapa pembantu rumah tangga berdiri, mengawasi jendela dengan ekspresi penuh waspada.
Ia memutar tubuhnya kembali, matanya menatap pintu kamar yang kini sudah terkunci rapat. "Lo sengaja banget ya?" tanyanya dengan nada dingin, berusaha menyembunyikan rasa takut yang mulai mencuat.
Kahfi tidak menjawab, hanya berjalan perlahan mendekati Syanas. “Kamu mau sampai kapan begini? Kita nggak bisa terus-terusan kayak kucing sama tikus. Kita harus ngomong.”
“Gue nggak mau ngomong sama lo lagi!” sergah Syanas cepat, suaranya meninggi. “Sampai kapanpun gue nggak mau berhubungan sama lo lagi. Gue pergi karena gue nggak mau hidup kayak begini lagi! Gue akan bayar dan mencari uang buat bayar uang yang lo berikan sama mama. Ngomong aja berapa nilainya. Gue akan usaha cari.”
Kahfi mengangkat tangan, mencoba menenangkan. “Baiklah! Kalau begitu, bagaimana kita habiskan malam ini dengan berdua di hotel. Uang satu miliar dan lahan sawah sepuluh hektar.”
Syanas mendengus pelan, tatapannya penuh curiga. “Lo bener-bener udah gila ya? Lo pikir, lo bisa memeras itu semua dari gue? Nggak semudah itu!”
Kahfi menghela napas panjang, menatap Syanas yang sudah seperti anak kucing liar, siap mencakar siapa saja yang mendekat. “Kamu sendiri yang barusan ngomong bahwa berapa aja nilainya. Nah, itulah yang aku minta. Kecuali, kamu mau ngomong sama aku sebentar, dan kita mulai negosiasi. Bagaimana?”
Syanas mengatupkan rahangnya rapat, menimbang situasi. Tidak ada celah untuk kabur. Pilihannya hanya satu, menyelesaikan ini sekarang.
“Ok, Fine,” jawabnya ketus, melipat tangan di dada. “Apa? Ngomong aja? Tapi ingat, kita nggak sedekat itu untuk bernegosiasi.”
Kahfi mengangguk pelan, matanya melunak sedikit. “Tergantung.”
Syanas mendengus lagi, tapi kali ini ia memilih diam, menunggu apa yang akan Kahfi katakan. Hatinya masih penuh amarah, tapi ia tahu, satu-satunya jalan keluar adalah melewati ini.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..