Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Kemarahan Bibi Tari
Setelah kejadian yang terjadi di tepi Danau, Paman Sapto mengantarkan Kirana dan Ririn pulang sampai di dekat rumah Kirana dan Ririn yang sudah terlihat ramai. Paman Sapto memastikan bahwa gerombolan cowok SMA itu itu tidak akan berani mengganggu Kirana dan Ririn lagi.
Sepanjang perjalanan Ririn masih terlihat gemetar dan matanya berkaca-kaca. “Kirana…. Aku… Aku masih takut,” bisik Ririn sambil tanggannya memegang erat tangan Kirana dan suaranya hampir tidak terdengar. Apalagi beberapa pasang mata melihat mereka dengan penasaran karena melihat pakaian mereka berantaran dan kotor.
Kirana memeluk bahu Ririn dan mencoba menenangkannya. “Tenang Rin…. Kita sudah aman sekarang… Kita sudah hampir sampai rumah dan Paman Sapto sudah melindungi kita,” ujar Kirana dengan lembut meski hatinya juga masih berdebar-debar.
Kakek Sapto yang berjalan di samping mereka menoleh dengan wajah yang penuh keprihatinan. “Kalian harus berhati-hati ke depannya. Dunia ini tidak selalu ramah, namun kalian bisa belajar untuk melindungi diri sendiri. Bagaimana kalau mulai besok kalian datang ke gubukku untuk mulai latihan silat?” tawarnya dengan suara penuh ketulusan.
Kirana dan Ririn mengangguk pelan walaupun masih terlihat shock. “Kami…. kami berusaha akan datang Kek. Terima kasih telah menolong kami,” jawab Kirana dengan mata penuh rasa syukur.
Kakek Sapto tersenyum dan matanya berbinar penuh keyakinan. “Baiklah… Besok setelah kalian pulang sekolah, kita mulai latihan. Jangan lupa bawa semangat dan tekad yang kuat. Kalian tidak boleh bersedih lagi. Ingat kekuatan terbesar kalian ada di dalam diri kalian sendiri.”
Setelah dekat rumah Kirana dan Ririn lalu Kakek Sapto berpamitan. Kirana dan Ririn berjalan sendiri menuju rumah masing-masing. Kebetulan rumah mereka tidak terlalu berjauhan.
Kirana tiba di rumah sekitar pukul 4 sore. Untungnya Bibi Tari dan Rara masih tidur siang. Hanya Paman Budi yang terlihat duduk di teras sambil menikmati teh hangat dan udara sore yang sejuk.
“Sore paman…,” ucap Kirana dengan suara gugup mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
“Sore Nak…,” Paman Budi langsung memperhatikan keadaan Kirana. Pakaian Kirana kotor dan berantakan, pipinya merah seperti bekas tamparan. “Kirana, apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa seperti ini?” tanya Paman Budi dengan wajah penuh kekhawatiran.
Kirana menunduk dan mencoba menahan air matanya yang kembali mau jatuh. “Tadi…tadi ada beberapa anak cowok SMA yang mengganggu Kirana dan Ririn, Paman. Untuk ada seorang kakek yang menolong kami Paman. Sekarang kami sudah baik-baik saja Paman,” jawab Kirana dengan suara gemetar dan menceritakan secara singkat kejadian yang terjadi.
“Astaga nak… Kamu harus lebih berhati-hati di jalan nak,” ucap Paman Budi sambil menghela napas meski wajahnya masih penuh dengan kekhawatiran.
“Baiklah nak. Tapi kalau ada apa-apa bilang sama paman ya… Sekarang cepat ganti baju dan cuci pakaianmu. Nanti Bibi dan Rara bangun, nanti mereka pasti marah melihatmu seperti ini.”
Kira mengangguk dan bergegas ke kamar. Ia mengganti pakaian kotornya ke belakang rumah untuk dicuci. Sambil mencuci, air matanya akhirnya menetes juga.
“Kenapa hidupku seperti ini ya Tuhan? Ayah ibu… kalian dimana sekarang…? Lihatlah anakmu ini… Tolong tunjukkan jalan yang terbaik ya Tuhan…,” pinta Kirana dalam hatinya.
Tapi kemudian Kirana ingat pesan Kakek Sapto. “Aku harus kuat. Aku harus rajin belajar, agar nanti aku bisa kuliah ke kota dan meraih semua mimpiku.”
Setelah selesai mencuci, Kirana langsung ke dapur untuk memasak makan malam. Kirana mengeluarkan bahan masakan dari kulkas kecil di pojokan dapur dan mulai mencuci dan memotong semua bahan. Namun, baru saja ia menyalakan kompor, Bibi Tari muncul dengan wajah marah.
“Kirana…!!! Jam berapa kamu pulang tadi…? Kenapa Rara bilang kamu berusaha menggoda teman-temannya…? Kamu ini sok cantik dan kecentilan banget…!!!” bentak Bibi Tari dengan suara yang memecahkan kesunyian sore itu.
Kirana terkejut dan hampir menjatuhkan pisau yang dipegangnya. “Bibi…. Itu tidak benar…. Aku tidak… Aku tidak melakukan apa-apa!” bantah Kirana dengan suara gemetar.
Bibi Tari tidak mau mendengarkannya dan ia melangkah mendekati Kirana. Tangannya terangkat seolah hendak menampar Kirana. “Jangan berbohong…! Rara sudah cerita semuanya….!” hardiknya dengan wajah memerah.
Paman Budi yang mendengar keributan itu segera masuk ke dapur. “Tari tunggu…!! Jangan menyakiti Kirana lagi. Kita dengarkan cerita Kirana dulu… Jangan terlalu percaya sama anakmu itu…” ujarnya mencoba menenangkan situasi.
Tumben Paman Budi mau membela Kirana dan membentak Bibi Tari. Tapi Bibi Tari tidak mau tahu, malah melotot ke suaminya. “Kamu lebih percaya anakmu… atau sama anak sialan ini…?” bentak Bibi Tari balik ke Paman Budi dengan suara yang penuh amarah.
“Kamu selalu membela anak sialan ini… Dia sudah berani menggoda teman-teman Rara dan kamu masih mau membelanya?” bentak Bibi Tari kembali dengan wajah memerah.
Paman Budi hanya bisa menghela napas dan mencoba tetap tenang. “Bukan begitu Tari… aku hanya tidak mau ada kekerasan di rumah ini. Kamu jangan main tangan…. Kasihan Kirana…. Dia sudah mengalami kejadian buruk hari ini dan kamu masih memarahinya,” ucap Paman Budi berusaha meredakan amarah istrinya.
Kirana menangis. “Bibi…. Aku tidak melakukan apapun… Aku malah diganggu oleh mereka. Rara…. Rara malah membiarkan mereka…” isak Kirana sambil menghapus air matanya yang mulai berjatuhan.
Bibi Tari terkesiap sejenak namun kemudian wajahnya kembali keras. “Jangan coba-coba menyalahkan Rara! Kamu ini anak yang tidak tahu diri…!” hardiknya dengan suara yang masih penuh kemarahan.
Paman Budi kembali menarik napas panjang dan mencoba meredakan kemarahan istrinya. “Tari… kita dengar dulu cerita Kirana. Jangan langsung marah.”
Bibi Tari melengos dan akhirnya pergi sambil menggerutu. Dia tidak mau mendengarkan cerita Kirana. Dia hanya percaya sama anaknya. Kirana menangis pelan sambil melanjutkan memasaknya. Paman Budi pun mendekatinya dan menaruh tangannya di bahu Kirana. “Nak… paman percaya padamu. Tapi kamu harus lebih berhati-hati lagi. Kalau ada apa-apa bilang sama paman ya?”
Kirana mengangguk namun sekarang matanya penuh rasa syukur. “Terima kasih paman. Aku akan lebih berhati-hati sekarang.”
Setelah makan malam selesai dan suasana di rumah itu kembali seperti biasa… tidak nyaman bagi Kirana. Seperti biasa Kirana hanya mendapatkan makanan sisa, sementara yang lain kenyang dengan porsi yang lebih besar, padahal yang memasak semua itu adalah Kirana. Kirana tidak mau terlalu bersedih tentang hal itu, yang paling penting dirinya masih bisa bertahan, sebelum nantinya dia akan keluar dari rumah ini dan berusaha meraih semua cita-cita yang ada di benaknya.
Setelah makan keluarga tu menuju ruang keluarga untuk menonton TV 14 inci yang ada di ruangan itu. Sedangkan Kirana tetap berkutat dengan cucian perabotan makan keluarga. Tangan Kirana sibuk mencuci piring dan gelas, sementara pikirannya melayang ke rencana besok.
“Bagaimana caranya agar aku bisa dapat ijin pulang telat sehabis sekolah?” pikir Kirana sambil mencuci. Kirana tahu bahwa latihan silat dengan Kakek Sapto adalah kesempatan emas bagi dirinya, tapi ia juga sadar bahwa Bibi Tari tidak akan mudah memberikannya ijin. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Kirana memutuskan untuk berbohong saja. Kirana tahu ini tidak baik, tapi ini satu-satunya cara agar ia bisa melatih diri tanpa harus menghadapi kemarahan Bibi Tari.
Setelah selesai mencuci, Kirana mengeringkan tangannya dan berjalan pelan ke ruang keluarga. Bibi Tari dan Paman Budi sedang asyik menonton TV. Sementara Rara sedang asyik bermain dengan ponselnya. Sedangkan Arif pergi rumah temannya untuk bermain game.
Kirana menarik napas dalam-dalam dan mencoba mengumpulkan keberaniannya. “Bibi… Paman…,“ ucap Kirana dengan suara gugup dan tangan gemetar.
Bibi Tari menoleh dengan wajah yang tidak ramah. “Ada apa…? Kamu sudah selesai mencuci piring…?” tanyanya dengan nada sinis.
Kirana mengangguk pelan. “Sudah Bi….”
“Lalu mau apa kamu ke sini… Mengganggu saja…,” ujar Bibi Tari masih dengan wajah juteknya.
Kirana menunduk. “Kirana…. Kirana…. Kirana mau minta ijin sesuatu Bi…,” ucap Kirana dengan dada berdebar-debar.
Paman Budi lalu mengecilkan volume TV dan memperhatikan Kirana. “Ada apa Nak? Katakan saja,” ujarnya dengan suara lembut.
Kirana kembali menunduk dan tangannya memegang erat ujung kain lap yang masih dia bawa. “Aku dan Ririn…. Kami mau belajar bersama sehabis sekolah di rumah Ririn. Kakak Ririn yang seorang guru mau memberikan bimbingan belajar untuk kami. Soalnya… ujian kelulusan sekolah sudah dekat dan kami membutuhkan persiapan lebih,” ujar Kirana mencoba meyakinkan Paman dan Bibinya.
Bibi Tari mengerutkan keningnya dan menatap Kirana penuh curiga. “Belajar? Di rumah Ririn? Kenapa tidak di sini saja?” tanya Bibi Tari dengan suara penuh ketidakpercayaan.
Kirana berusaha tetap tenang. “Kakak Ririn punya buku-buku dan materi yang lengkap Bi. Dan… dan dia lebih paham soal pelajaran yang akan diujikan,” jawab Kirana mencoba meyakinkan kembali.
Paman Budi mengangguk dengan wajah penuh dukungan. “Itu bagus Nak. Kalau memang bisa membantu persiapan ujian, kenapa tidak? Paman setuju.”
Bibi Tari melirik suaminya dan kembali menoleh ke Kirana. “Baiklah… tapi ada syaratnya.”
“Apa syaratnya Bi…?” tanya Kirana yang mulai berusaha menatap Bibinya. Ada secercah harapan di benaknya, walaupun ada syarat yang mesti Kirana penuhi.
“Syaratnya… kamu harus pulang sebelum jam 4 sore. Dan pastikan semua pekerjaan rumahmu kamu bereskan setelah kamu selesai belajar. Jangan sampai ada yang tertinggal. Makan malam harus sudah selesai sebelum makan malam. Pastikan itu…!!” kata Bibi Tari.
Kirana mengangguk cepat dan hatinya sedikit lega. “Iya Bi… Kirana pasti pulang sebelum jam 4 sore dan pekerjaan rumah pasti Kirana kerjakan.”
Rara yang selama ini diam tiba-tiba menyela. “Jangan sampai kamu malah main-main Kirana. Kalau ketahuan, jangan harap kamu boleh ijin lagi,” ujarnya dengan nada mengancam.
Kirana hanya menunduk dan tidak membalas perkataan Rara. Ia tahu Rara hanya mencari-cari kesalahannya. “Kirana tidak akan main-main Kak..,” jawab Kirana pelan.
Paman Budi tersenyum dan mencoba meredakan ketegangan. “Sudah… sudah… Kirana sudah bilang dia akan ijin belajar bersama Ririn. Ayo lanjutkan nonton TV-nya.”
Bibi Tari akhirnya mengangguk meski masih terlihat tidak sepenuhnya percaya. “Baiklah…. Tapi ingat syaratnya Kirana... Jangan sampai kamu melanggar. Kamu akan tahu akibatnya nanti,” ucap Bibi Tari penuh ancaman.
Kirana mengangguk lagi. “Terima kasih Bibi…. Paman… Kirana ke belakang dulu.”
Paman dan Bibinya hanya mengangguk saja. Kirana bergegas ke belakang untuk melanjutkan menyetrika pakaian keluarga itu. Di sana Kirana menarik napas lega. “Akhirnya aku dapat ijin,” pikir Kirana sambil tersenyum. Tapi di balik rasa lega itu, ada sedikit rasa bersalah karena ia harus berbohong kepada Paman dan Bibinya.
“Apakah ini benar ya Tuhan…?” bisik hatinya sambil menatap jendela kamar. “Aku tidak mau berbohong tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku harus belajar bela diri dan aku harus bida melindungi diri sendiri.”
Kirana menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri. Ia ingat pesan Kakek Sapto. “Kekuatan terbesar ada di dalam diri sendiri.” Kata-kara itu memberinya semangat. Ia bertekad untuk memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. “Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh dan aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini,” bisik hati Kirana.
Sambil menyetrika pakaian, Kirana mulai membayangkan bagaimana latihan silat besok akan berlangsung. Ia ingat gerakan-gerakan gesit Kakek Sapto saat menghadapi gerombolan cowok SMA tersebut. “Aku ingin bisa seperti itu… Aku tidak mau lagi merasa takut dan aku tidak mau lagi menjadi korban,” pikirnya dengan tekad membara.
Gimana latihan silat yang akan dilakukannya bersama Ririn di bawah Kakek Sapto...? Ikuti perjalanan hidup Kirana pada bab selanjutnya...