"Berawal dari DM Instagram, lalu berujung sakit hati."
Khansa Aria Medina tidak pernah menyangka DM yang ia kirimkan untuk Alister Edward Ardonio berujung pada permasalahan yang rumit. Dengan munculnya pihak ketiga, Acha-panggilan Khansa-menyadari kenyataan bahwa ia bukanlah siapa-siapa bagi Al.
Acha hanyalah orang asing yang kebetulan berkenalan secara virtual.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Block?!
Wajah Acha terasa panas. Ah, bukan hanya wajah, tetapi setiap inci tubuhnya terasa panas. Itu karena selama dua jam berturut-turut, ia dan tim Cheers melakukan latihan tanpa istirahat. Mereka semua bekerja keras demi dapat memberikan penampilan terbaik di event nanti. Lagi pula mereka sempat tidak mengadakan latihan selama seminggu karena ujian tengah semester. Sehingga saatnya mereka untuk kembali bekerja keras.
Acha memijat-mijat kaki kirinya dengan pelan. Tadi sewaktu latihan, Acha sempat tergelincir sehingga kakinya sedikit keram.
"Masih sakit?" Aya menghampiri Acha sambil memberikan salep miliknya. "Nih, pake!"
Acha mengangguk sambil tersenyum. Ia mengeluarkan isi salep lalu mengoleskan pada bagian yang sakit. Cedera seperti ini memang sudah biasa terjadi di kalangan tim Cheers. Mengingat latihan mereka yang menggunakan fisik, sehingga tidak jarang terjadi keram otot.
"Gimana hubungan lo sama Al? Makin lancar?" tanya Aya. Gadis itu duduk di samping Acha.
Acha langsung bersemangat dalam menjawab. "Lumayan weh! Ada kemajuan sih, meskipun rada lambat sih."
"Nggak apa-apa, lo coba aja terus sampai berhasil. Good luck!" Aya menyengir lebar sembari menepuk bahu Acha dua kali. "Kalau mau tanya-tanya, bisa tanya gue juga kok."
Acha tertawa geli lalu mengangguk cepat. "Thanks, Ya!"
Setelah itu, Aya berpamitan untuk bergabung dengan anggota lainnya. Untungnya gadis itu sudah lebih terbuka dan bergaul dengan tim Cheers jika dibandingkan awal-awal yang lalu. Sementara Acha mengambil ponselnya dari dalam tas.
Ada pesan dari Bagas yang membuatnya langsung cepat-cepat membuka.
[bagass.radit]
[Nih, gue kasih ID Line Al.]
[Jangan buat yang aneh-aneh.]
[Entar diblock, tahu rasa wle:p]
[khansa.achaa]
[Sumpah, gue banyak utang sama lo><]
[Entar lo butuh apa tentang Maya, kasih tahu gue.]
[bagass.radit]
[Mantep.]
[Sekalian add Line gue.]
Acha bersorak dalam hati. Ada dua ID Line yang Bagas kirimkan. Ia segera menyalin ID Line Al kemudian menambahkannya sebagai teman di aplikasi Line. Saat membuka room chat, jari Acha seolah kaku—tidak tahu hendak mengetik apa. Selain itu, ia juga masih takut disebut cewek agresif.
Acha akui, ia sedikit agresif. Tetapi Al merupakan tipe laki-laki yang pasif, jika bukan dirinya yang mengejar, mana mungkin Al akan mengejarnya. Sehingga mau tak mau, Acha harus melakukan first move. Tetapi Acha baru tersadar sesuatu. Saat ini, dirinya sedang tidak boleh mengirim pesan pada Al.
"Percuma dong, dapet ID Line!" Acha menghela napas lalu melempar ponselnya ke sembarang arah. Kemudian ia mendapat ide.
"Gue kan bisa chat di Line, terus entar gue tarik ulur lagi. Bisa nggak, ya?" Acha berbicara pada dirinya sendiri.
Alhasil, daripada mengulur waktu, Acha memutuskan membuka obrolan di Line. Ia mengambil ponselnya lagi lalu mulai mengetikkan sesuatu. Sayangnya, Acha belum menemukan kalimat pembuka yang pas. Berkali-kali Acha menekan tombol ketik-hapus-ketik-hapus.
"Duh, gue ngetik apaan ya?" Acha mengacak-acak rambutnya hingga berantakan di bagian puncak kepala. "Ngetik hai? Asli, bakal di-block."
Acha sudah berpikir keras untuk mencari kalimat pembuka. Tetapi sepertinya tidak ada yang terbaik ketimbang kata 'hai'. Mana mungkin Acha langsung menanyakan makanan kesukaan pada Al, kan?
[Acha]
[Haiii, Al!]
Send. Jantung Acha berdetak tidak karuan. Semoga saja Al tidak memblokirnya.
"Ya udah, latihannya sampai sini aja ya! Bentar lagi magrib!" Angel mengakhiri latihan Cheers.
***
Tidur siang sehabis pulang sekolah rasanya seperti berada di surga. Ketika tubuh Al yang pegal-pegal bertemu dengan empuknya kasur mampu membuat tubuhnya serasa dipijat-pijat. Al mengucek-ngucek matanya sambil merenggangkan otot dengan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Rasa kantuk masih ia rasakan tetapi karena jam sudah menunjukkan pukul enam sore, maka mau tak mau, ia harus bangkit untuk mandi.
Ia meraba-raba ponsel yang berada di atas nakas. Dengan mata yang sedikit terpejam, Al mulai membuka satu per satu notifikasi yang muncul selama tiga jam terakhir ini. Tiba-tiba, salah satu notifikasi membuat Al melotot. Acha yang tidak membalas pesannya sampai saat ini mengirim pesan melalui Line? Membuat Al semakin bingung dengannya.
[Alister]
[Dapet dari mana ID Line gue?]
[Acha]
[Bagas.]
[Eh, tapi lo jangan marahin dia ya hehe.]
"Sialan, Bagas!" erang Al.
[Alister]
[Ngapain chat gue?]
[Acha]
[Eh, ya kan mau jadi temen gitu, Al.]
[Hehehe, tapi maaf kalau lancang.]
"Lo selalu lancang, sih." Al memutar bola matanya dengan malas sewaktu membaca pesan itu. Meski begitu, ia tetap membalas pesan itu.
[Alister]
[Terus?]
[Acha]
[Terus apa, Al?]
[Terus nabrak?]
Al kesal dibuatnya. Bukannya tertawa, ia justru sebal membaca pesan dari Acha yang tidak tahu arahnya ke mana. Segera saja ia menekan tombol blokir lalu mematikan ponselnya.
***
"Udahan ngambeknya dong, Al," rengek Bagas yang sudah entah ke berapa kali dalam sehari ini. Laki-laki itu menahan tangan Al di parkiran. Meski agak geli, tetapi ini cara ampuh untuk membuat Al mendengarkan penjelasan dahulu.
Al menarik tangannya agar terlepas dari tangan Bagas. Dengan wajah sengit, ia bertanya, "Ngapain ngasih ID gue ke Acha? Privasi, tahu nggak?"
Bagas menggaruk-garuk tengkuknya. "Sorry, Al. Habisnya, gue kan lagi deket sama Maya. Jadi, kalau butuh info, tanya ke Acha. Nah, gue balas budinya dengan deketin Acha ke elo." Bagas memasang wajah menyesal. "Lagian dia nggak ngetik aneh-aneh, kan? Udah gue peringatin kok."
"Nggak kok, cuman gue blokir aja," jawab Al enteng.
"Buset, jahat banget lo!" Bagas refleks mendorong tubuh Al hingga Al sedikit terjungkal. Buru-buru Bagas memperbaiki keseimbangan Al sebelum ia semakin marah. "Ya udah, temenin gue ke Nusa Bangsa ya, mau jemput doi dulu."
"DIH, OGAH!" Al melotot. Ibarat diberi hati, malah minta jantung. Al sudah bagus tidak memarahinya lebih lama lagi, tetapi Bagas justru meminta sesuatu yang merepotkan. "Entar gue ketemu sama tuh cewek dong."
"Ya elah, ketemu doang, alay banget. Lagian searah juga sama rumah lo, nggak ada salahnya berhenti sebentar." Bagas kembali merengek. Kali ini, disertai guncangan badan yang membuat Al pusing.
Al menghela napas. Ia terpaksa mengiyakan ketimbang Bagas menyerangnya dengan berbagai kalimat menyebalkan. Ia paling tidak suka orang yang cerewet—membuat telinganya lelah saja.
Kedua motor itu melaju keluar dari SMA Citra Harapan. Dalam beberapa menit, kedua motor milik Al dan Bagas sudah terparkir di SMA Nusa Bangsa. Terlihat banyak siswa yang berlalu-lalang di sana. Bagas pun turun dari motornya kemudian berjalan memasuki sekolah. Sementara Al menunggu di parkiran tanpa berniat menyusul Bagas.
Tidak lama, Bagas kembali menghampiri Al. Kali ini, ada tiga perempuan di sekitarnya.
"ALLLLL!" Begitulah teriakan Acha yang memekakkan telinga orang-orang di sekitarnya.
Refleks, Al memundurkan langkahnya. Tetapi Acha semakin maju hingga jarak mereka tersisa satu meter.
"Lo di sini?!" tanya Acha seolah tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Untuk pertama kalinya, Al datang ke sekolahnya. "Lo mau jemput gue? Ayok, gue udah siap."
"Gue cuman nemenin Bagas," jawab Al dengan nada jutek. Ia bisa melihat perubahan raut wajah Acha.
Tetapi Acha kembali memasang wajah senang dengan cengiran lebarnya. Ia berpura-pura tidak mendengar jawaban Al tadi. "Ih, nggak usah malu-malu gitu! Ayo deh, pulang bareng! Eh, tapi lo kok nggak bales chat sih? Lagi balas dendam, ya?"
"Al kan ngeblokir lo, Cha," tutur Bagas yang tiba-tiba berdiri di belakang Acha.
Sementara, Serra dan Maya hanya memperhatikan dari jauh tanpa berniat mengganggu momen Acha dan Al. Meski begitu, mereka berdua sedikit terkejut dengan kedatangan Al di sini. Agak tidak memungkinkan, bukan?
Acha menatap Al dan Bagas dengan bergantian. "Serius, Al? Ih, kenapa? Gue kan nggak aneh-aneh!" protes Acha pada Al.
"Gue mau balik." Al mengambil helm-nya yang bertengger di spion lalu memakainya di kepala. Tanpa menggubris Acha, ia mulai menyalakan mesin motor.
Acha ingin kembali protes tetapi sepertinya tidak aman—mengingat Al yang bisa melakukan apa saja. Bisa saja setelah ini Al juga memblokir Instagram-nya. Daripada itu terjadi, lebih baik Acha menutup mulutnya dan hanya memperhatikan motor Al yang melesat pergi. Setidaknya Al datang ke sekolahnya saja sudah membuatnya senang setengah mati.
"Lo nge-chat apaan sampai diblokir?" Ada sedikit ledekan yang terselip di kalimat Bagas.
Acha cemberut kesal. "Ya ... biasa doang! Tahu ah, kesel gue!"
Bagas tertawa. "Entar gue bujuk biar nggak diblokir lagi."
***
Sudah dua puluh menit Acha berdiri dengan ponsel di tangannya. Ia menunggu layar ponselnya menyala yang menandakan ada pesan masuk. Tadi, dengan sedikit keberanian, Acha mengirim pesan melalui DM untuk meminta Al tidak memblokirnya lagi. Tetapi sampai sekarang, Al belum kunjung membalasnya, membuat Acha tidak tenang saja.
"Duh, lama ba—"
Ting! Belum selesai Acha berbicara, bunyi notifikasi yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul. Acha dengan cepat membuka pesan tersebut dan membacanya. Kerutan di dahi Acha perlahan tampak. Bukannya menjawab pertanyaan Acha, Al justru meminta Acha untuk berhenti mengejar dan berhenti menyukainya.
[al_ardonio]
[Bisa nggak, lo nggak usah ngejar gue lagi?]
[Cari cowok lain.]
[khansa.achaa]
[Gue yang ngejar, berarti gue yang mutusin buat mundur atau nggak.]
Acha yakin, sekarang Al sedang mengumpatnya habis-habisan. Tetapi mau bagaimana lagi, Al tidak bisa seenaknya memaksanya mundur begitu saja. Acha sudah melangkah sejauh ini dan ia tidak mau kembali dari awal.
[al_ardonio]
[Lo suka gue karena apa?]
Acha terdiam kemudian mengetikkan beberapa kalimat.
[khansa.achaa]
[Lo ganteng.]
[Terus berkharisma.]
[Pokoknya tipe gue banget.]
[al_ardonio]
[Biasanya kalau suka fisik, bukan cinta, tapi nafsu.]
Acha melotot membacanya. Ia tidak terima bila disebut nafsu. Lagi pula, bukankah wajar bila di awal menyukai fisik? Mana mungkin Acha menyukai Al dari nilai rapor, kan?
[khansa.achaa]
[Oke, gue buktiin kalau gue bukan cuman suka fisik lo doang.]
[al_ardonio]
[Serah.]
Acha berpikir sejenak—bingung hendak membalas apalagi. Tetapi, ia baru tersadar sesuatu. Sesuatu hal yang membuatnya mematung. Benar-benar tidak bergerak.
"Lah, anjir! Gue kan dari awal emang suka karena fisik. Gimana buktiinnya?" Acha langsung menggaruk-garuk kepalanya sambil mencak-mencak. Seharusnya ia tidak mengirim pesan begitu, apalagi sok-sokan membuktikan. Sayangnya nasi sudah menjadi bubur. Semoga saja Al melupakan kalimatnya hari ini dan tidak menagihnya.
"Tapi ... mungkin aja gue bisa buktiin," kata Acha pada dirinya sendiri. "Kalau aja gue bisa tahu sedikit tentang Al. Apa, ya? Oh, tanya Bagas aja deh."
Acha membuka aplikasi Line lalu terpaksa menekan tombol telepon. Mungkin Bagas akan menceritakan banyak hal, daripada terlalu lama mengetik, lebih baik mengobrol langsung.
"Weh, tumben telpon." Begitulah kalimat pembuka dari Bagas begitu telepon masuk. Sepertinya Bagas sedang memegang ponselnya karena dering telepon tidak lebih dari lima detik.
"Hobi Al apaan? Makanan kesukaan? Warna kesukaan? Film kesukaan? Terus, dia suka belajar nggak? Dia suka olahraga apa?" Tanpa mengucapkan salam pembuka, Acha langsung mencerca Bagas dengan berbagai pertanyaan. Setelah mengucapkan pertanyaan itu, napas Acha langsung ngos-ngosan.
Terdengar kekehan geli dari seberang sana. "Pelan-pelan dulu kek, main nyerocos aja."
Acha menyengir lebar meski Bagas tidak bisa melihatnya. "Ya udah, jawab."
"Emang buat apaan nanya gitu? Lo mau bikin biodata Al?"
Acha memutar bola matanya dengan malas. Tidak bisakah Bagas langsung menjawabnya saja? Dengan begitu, waktu berharganya tidak akan terbuang sia-sia. Akhirnya, Acha menceritakan kronologis dari awal hingga akhir. Bagas yang mendengar itu langsung menyemburkan tawanya. Acha benar-benar gadis polos—sama seperti temannya, Maya.
"Nggak ada yang lucu dari cerita gue, anjir!" sungut Acha kesal. Sudah bagus ia menceritakan kronologisnya, tetapi bukannya dibantu, malah ditertawakan.
"Kalau mau tahu kepribadian Al, gue saranin ketemu langsung, terus ngobrol atau main bareng gitu," usul Bagas setelah menghentikan tawanya.
Acha semakin kesal dibuatnya. Usulan Bagas tidak membantunya sama sekali. Untuk saat ini, Acha dan Al pergi bersama merupakan sebuah ketidakmungkinan. Jangankan pergi bersama, sepertinya Al berada di dekat Acha saja sudah merasa risi. Bagaimana mungkin Bagas memberikan usul seperti itu? Apakah Bagas sedang mempermainkannya?
"Gue matiin call-nya aja, deh." Acha hendak menekan tombol merah.
"Eh, eh, eh! Gue belum selesai!" Bagas buru-buru menghentikan Acha. "Jadi, gue sama Maya mau jalan-jalan. Lo bisa ikut, nanti gue ajak Al juga. Nah, Lo bisa berduaan sama dia, kan?"
Acha menyimak kalimat Bagas dengan serius. Ada bagusnya ide yang disampaikan Bagas. Tetapi, lagi-lagi Acha kembali pesimis. "Memangnya Al nggak keberatan? Kayaknya denger nama gue aja udah bikin dia males."
"Gampang, nanti gue akalin!"
Mendengar jawaban Bagas yang terkesan enteng membuat Acha sedikit lega. Meski Bagas tampak tengil, tetapi ia selalu memegang omongannya. Baguslah, Maya bertemu dengan laki-laki sepertinya. Lalu, Acha teringat Serra. Mungkinkah Serra juga akan ikut?
"Eh, gue kan ada satu temen lagi, namanya Serra. Nggak apa-apa dia ikut?"
"Yaaaa ... kalau temen lo mau jadi nyamuk, nggak masalah sih," tutur Bagas.
Acha langsung bersorak. Kali ini, ia kembali mendapat kesempatan untuk maju. Tidak akan ia sia-siakan kesempatan berharga ini.
***
Bagas menutup ponselnya setelah Acha mematikan teleponnya. Baru saja, ia mendapat ide bagus untuk memperdekat hubungannya dengan Maya sekaligus hubungan Al dan Acha. Sebenarnya, Bagas sama sekali tidak terpikirkan untuk jalan bersama. Tetapi karena Acha meminta saran, Bagas mulai memutar otak dan menemukan ide brilian ini.
"Hem ... Maya mau nggak, ya?" Ia mencari nama kontak Maya di Line-nya. Kemudian, dalam hitungan detik, ia sudah menekan tombol dengan ikon telepon.
"NGAPAIN LO TELEPON-TELEPON?! NGGAK LIHAT JAM?! UDAH MALEM!" Bukannya ucapan selamat malam atau kalimat pembuka lainnya, teriakan justru menyambut Bagas.
Karena teriakan itu, Bagas refleks menjauhkan ponselnya dari telinga. Ia menggosok-gosok telinganya yang sedikit berdengung. Teriakan siapakah itu? Pertanyaan yang muncul di otaknya sekarang. Suara itu tidak terdengar seperti suara lembut Maya. "Oh, maaf sudah mengganggu, Tante."
"TANTE, LO BILANG?! SIAPA YANG TANTE LO?!"
Untuk kedua kalinya, Bagas mendapat teriakan. Ia pun mengubah menjadi dalam bentuk speaker. Dalam hatinya, Bagas sudah berbuat salah apa hingga seseorang memarahinya seperti ini.
"Berani banget ya, lo deketin Maya sampai bikin dia lalai. Terus, ngapain juga lo telepon dia malem-malem gini? Mau ngapain lo?" Ada nada menyentak di sana.
Refleks, Bagas menatap jam dindingnya yang masih menunjukkan pukul tujuh malam. Memang sudah malam, tetapi bukankah jam tersebut masih wajar untuk bertelepon? Kalau Bagas menelepon di jam dua belas malam, barulah ia wajar mendapat teguran seperti ini.
"Sorry, lo siapa ya? Kakaknya Maya?" tanya Bagas pelan-pelan sekaligus selembut mungkin. Ia siap-siap mendapat teriakan dari gadis itu.
Serra menghela napas dari seberang sana. "Gue sahabatnya, kenapa? Nggak terima? Dari lo sama Acha udah bikin gue kurang sreg sama lo. Lo playboy, kan? Nggak usah niat nyakitin Maya. Sebelum lo nyakitin dia, lo bakal gue santet duluan!"
Bagas menatap ponselnya tak percaya. Kemudian, pikirannya tertuju pada seorang perempuan dengan wajah galak yang waktu itu bersama Acha dan Maya. Waktu itu, Bagas sengaja hanya memberikan senyum tanpa uluran tangan karena wajah gadis itu yang terlihat sangar dan tidak ramah. Mungkinkah gadis itu adalah gadis yang ada di teleponnya sekarang?
"Gue emang punya banyak temen cewek. Tapi kalau udah suka sama satu orang, gue ba—"
"Bacot," potong Serra. Gadis itu kembali memberikan omelan yang bahkan tidak dipahami Bagas. Entahlah, suara Serra secepat karakter Flash dalam film DC.
Bersamaan dengan omelan Serra, Al yang baru saja berada di kamar mandi kembali memasuki kamar Bagas. Karena Bagas menggunakan speaker, otomatis Al mendengar jelas suara Serra yang berisik dari seberang sana. Al yang penasaran pun mengambil duduk di samping Bagas sambil memperhatikan.
Bagas meringis. "Iya, iya, gue nggak ganggu temen lo lagi." Lebih baik Bagas mengalah saja ketimbang Serra semakin panas.
Tiba-tiba, terdengar suara Maya yang volumenya sedikit kecil. "Ih, Serra?! Siniin hape aku!" Suara yang semula terdengar kecil, kini kembali membesar. "Bagas, maaf ya. Aku tadi lagi di luar kamar, tiba-tiba Serra yang angkat. Maaf banget udah bikin kamu nggak nyaman."
Bagas meringis pelan. Akhirnya, suara yang ditunggu-tunggu datang. "Santai aja, May. Yang mau aku omongin bakal aku chat aja. Nanti singanya ngamuk lagi." Bagas terkekeh geli.
Kemudian, terdengar kembali omelan Serra dari balik telepon. "Bukannya ngerjain tugas, malah bucin mulu. Tugas lo tuh kalau disusun, kayaknya bisa bentuk gunung!"
"Aduh, Serra," ringis Maya sambil memukul bahu Serra. "Eh, maaf ya, Bagas. Nanti kamu chat aja ya."
Selanjutnya, terdengar bunyi tanda telepon dimatikan. Bagas menutup ponselnya.
"Anjir, yang beginian bakal pergi bareng ke Dufan? Idih, amit-amit," gumam Bagas sambil menatap ponselnya dengan ngeri. Sepertinya, mulai sekarang, ia harus sangat hati-hati ketika menelepon Maya.
Al mengerutkan kening. "Dufan?"
"Hah, bukan. Lo salah denger," tukas Bagas. Cepat-cepat ia keluar kamar untuk mencari udara segar. Teriakan Serra tadi membuatnya sedikit syok.