"Kita putus!"
"putus?"
"ya. aku mau kita menjadi asing. semoga kita bisa menemukan kebahagiaan sendiri-sendiri. aku pergi,"
"Silahkan pergi. tapi selangkah saja kamu melewati pintu itu ... detik itu juga kamu akan melihat gambar tubuh indahmu dimana-mana,"
"brengsek!"
"ya. itu aku, Sayang ..."
***
Bagai madu dan racun, itulah yang dirasakan Eva Rosiana ketika jatuh dalam pesona Januar Handitama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva Rosita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Bukan pertama kalinya Eva melihat pemandangan dimana Janu sedang berdiri menyandar di mobil, menunggunya di depan gerbang kos. Pernah berbunga-bunga ketika di jemput seperti ini, tapi untuk pertama kalinya, khususnya pagi ini bunga-bunga itu bermekaran mucul lebih banyak. Dan sama seperti yang Janu katakan kemarin malam, ada kupu-kupu bertebaran di perut dan dadanya yang ditumbuhi taman bunga itu.
Ah, sekarang cowok bertato itu kan sudah upgrade status menjadi pacarnya. Pantas saja jika Eva merasa beda dengan kedatangan cowok itu.
“Morning, Baby,”sapa Janu, menyambut kedatangan pacarnya.
Baby katanya.
Panggilan baru untuknya, terdengar sedikit lebay. Tapi cukup menghadirkan rona merah di wajah Eva.
Ck, sejak kapan Eva jadi gampang tersipu seperti ini?
“Morning,” balas Eva yang sudah berdiri di hadapan Janu. Detik selanjutnya dia dikejutkan dengan aksi Janu, yang tiba-tiba menarik kepalanya pelan dan mendaratkan kecupan di pelipisnya.
“Janu,”
“Ya?”
“Ini ditempat umum!”
“Kalau di tempat sepi boleh?” tanyanya seraya menampakan seringaian tipis, membuat Eva menampol lengannya pelan.
Gila memang si Janu, masih pagi sudah main kecap kecup. Dan yang lebih gila lagi, mereka masih ada di depan gerbang kos Eva, banyak penghuni kos yang bersliweran keluar masuk. Belum lagi para tetangga yang aktif memulai tugasnya di pagi hari.
“Tuh kan, pada ngelirik,” gerutu Eva, ada beberapa tetangga kosnya yang terang-terangan melirik ke arahnya.
Janu mengedikkan bahu, dia mana peduli dengan pendapat orang lain.
Tak menghiraukan gerutuan pacaranya, Janu menggeser badan, membukakan pintu untuk Eva.
“Belum sarapan kan?” tanyanya.
“Belum,”
“Oke. Kita sarapan dulu.” Janu tutup pintu setelah mengatakan itu. Memutar langkah untuk sisi mobil yang lain.
Mobil Janu mulai melaju pelan meninggalkan wilayah kos Eva. Sesekali matanya melirik dimana disampingnya ada Eva yang tengah fokus ke benda pipih, sedikit membuatnya tak suka karena seperti di abaikan.
“Ada masalah?” tanyanya setelah beberapa menit terdiam, menunggu sampai benda itu di letakkan, namun ternyata masih saja benda itu menyita perhatiannya Eva.
“Ah. Enggak,” jawab Eva tanpa menoleh ke yang bertanya.
Tentu tindakan Eva membuat rasa penasaran Janu bertambah. Siapa yang sebenarnya sedang bertukar pesan dengan pacarnya, kenapa terlihat penting sekali sampai dia merasa di abaikan.
“Chatingan sama siapa?”
“Temen,”
Oh, gadis ini begini ya? pikir Janu.
Merasa urusannya dengan si pengirim pesan sudah selesai, Eva memasukkan ponselnya ke dalam tas. Lalu menoleh ke samping, menatap sebentar pacarnya yang sepertinya tidak suka dengan apa yang dilakukannya tadi.
Eva itu peka ya. Meski masih baru jadian dengan Janu, tapi dia tahu jika Janu ini orangnya sedikit cemburuan.
Memang iya sedikit?
“Jan,”
“Hm,”
“Lo orangnya cemburuan ya?”
“Iya,”
“Jujur banget,” cibir Eva dengan dengusan gelinya, yang di balas dengan lirikan saja oleh Janu.
“Tadi yang chatingan sama gue anak Sasing. Gue ngerjain makalah dia,” terang Eva, menjelaskan siapa tadi yang bertukar pesan dengannya agar si pacarnya ini tidak cemburu.
“Joki?”
“Hemm,”
Menoleh si lagi si Janu. Sedikit terperangah mendnegar pengakuan pacarnya yang ternyata nyambi jadi joki tugas anak kampus. Radak gila sih menurutnya, dia saja sudah jengah meladeni tugasnya sendiri. Belum lagi ngurusin kerjaannya. Dan Janu tahu jika pacarnya selain kuliah juga ambil job di cafe, apa tidak lelah?
Dan satu lagi, jika kabar ini sampai terdengar oleh pihak kampus. Nasib beasiswanya yang jadi korban.
“Nggak capek?” tanya Janu.
“Lebih capek nggak ada duit sih,” realistis sekali jawabannya. Tapi memang itu faktanya, jika Eva tidak begini begitu nyari duitnya, dia mau pakai apa buat biaya hidup dan kirim ke Ibunya.
“Kan udah kerja di cafe. Masih kurang?”
Eva mencebik. Pertanyaan anak orang kaya, pikirnya. Dikira hidupnya di tanggung sama keluarga cendana kali.
Jangankan Eva yang sudah miskin dari lahir, orang berdasi yang kerjanya duduk anteng di kantor depeir saja masih kurang duit, sampai rela nyunat duit rakyat yang padhal gaji dan tunjangan mereka sudah banyak.
“Orang waras mana yang nggak kurang duit?” sarkasnya.
“Bukan gitu, Babe,” aih, si Eva bisa meleleh terus jika Janu begini. Setiap cowok itu memanggilnya dengan mesra, ini tulang merasa lunak.
“Lo terlalu banyak ngerjain ini itu. Sekali-kali dipikir dong, kesehatan buat diri sendiri,” buktinya sakit kemarin itu karena Eva terlalu banyak kerja ini itu menurut Janu.
“Gue malah sekarat kalo nggak ada duit, Jan!”
Benar adanya, Eva bisa gila kalau tidak bisa cari uang. Uang yang untuk membayar hutang Ibunya saja masih belum ada setengahnya dia bayar, dan si Ibu sudah berkali-kali menghubunginya. Seperti teror pinjol.
Belum lagi mulai bulan depan harga kosnya naik. Apa tidak makin mumet itu si Eva.
“Siapa suruh dikasih duit nggak mau,” gerutu Janu. Mengingat beberapa kali dia mau membantu Eva tapi ditolak dan berujung si ceramahi.
“Ck, itu lagi yang dibahas. Kan gue udah bilang sama lo, kal—“
“Tapi gue pacar lo sekarang, Va!” sahut Janu. “Diem dulu gue belum selese ngomong!” timpalnya karena melihat Eva yang hendak protes.
“Lo boleh nggak nerima bantuan dari orang lain. Tapi ke gue jangan. Gue mau jadi orang yang bisa lo andelin, gue mau direpotin, gue mau lo bisa berbagi sama gue. Apapun. Apapun itu, Va. Mau itu sedih lo, derita hidup lo, bahagia lo,” tuturnya, yang sekarang tangan kirinya turun dari memegang kemudi, beralih menggenggam tangan Eva.
“Gue bukan orang asing lagi, Va. Lo punya gue sekarang. Bagi apapun itu. Bisa kan, Sayang?”
Terdengar berlebihan mungkin, tapi tidak menurut Janu. Dia benar-benar ingin Eva itu bergantung kepadanya. Janu ingin menjadi satu-satunya yang di andalkan oleh pacarnya yang keras kepala dan sok kuat ini.
“Tapi, Jan—“
“Va, please. Gue merasa di anggap jika lo bisa begitu,”
Gila sih, untuk pertama kalinya Janu memohon ke seorang cewek.
Eva menghela nafas panjangnya dengan pelan, ada sendu yang ia rasa, tapi juag merasa tergelitik mendengar permohonan Janu.
Haruskah dia mengiyakan saja? terlalu berat, Janu memang kekasihnya sekarang tapi bukan berarti dia akan berbagi beban pribadinya ke Janu kan?
Janu mengangguk pelan, sepertinya memang sulit. “Okey,” gumamnya diringi helaan nafas panjangnya, “pelan-pelan aja ya, Sayang,” ucapnya.
Eva tersenyum tipis saat Janu mengelus pipinya.
Usai sarapan bersama, Janu dan Eva tiba di kampus. Mobil mewah Janu terparkir di gedung FEB, dan kemunculan Eva dari mobil itu jelas mengundang tatapan tanya dari para penghuni yang melihatnya.
Sayup-sayup Eva bisa mendengar ocehan tanya dan penasaran kenapa dia datang bersama Janu. Terutama dari mahasiswi yang terang-terangan menampilkan tidak sukanya ke Eva.
“Jan, ini dikampus loh,” bisik Eva dengan protesannya karena Janu memeluk pinggangnya dari samping, seakan menunjukkan apa status mereka.
“Kenapa? nggak ada larangan buat meluk pacar sendiri kan?”
Eva putar bola matanya malas.
“Ekspresi apa itu?” protes si Janu, meraup wajah Eva pelan membuat gadis itu berdecak. Dan Janu malah terkekeh gemas.
Tidak ada tuh yang namanya saling malu-malu karena baru jadian. Bukan Janu sekali itu.
Sebenarnya Janu tidak ada kelas pagi ini, baru ada kelas nanti siang. Tapi dia sengaja datang lebih pagi karena ingin mengantar pacarnya. Mengantar yang bukan hanya sampai kampus, tapi sampai didepan kelasnya Eva.
Kebetulan disana sudah ada Budi yang juga sedang ngapelin si Saroh. Melihat kedatangan Eva yang dirangkul oleh Janu, tentu menjadi perhatiannya.
“PJ woi!” serunya langsung memalak Janu.
Tanpa dijelaskan juga Budi sudah tahu kalau dua anak manusia itu pasti sudah pacaran, karena tidak mungkin si Eva mau-mau saja disentuh.
Janu mengangguk santai, “Lo atur,” ucapnya.
Janu beralih menatap si pacar yang sudah duduk di bangku tak jauh dari tempat Saroh. Dia ikut duduk disebelah pacarnya selagi Dosennya belum datang.
Sama seperti di parkiran tadi, kehadiran Janu ditempat ini mengundang banyak tanya. Lebih tepatnya cowok bertato tampan itu duduk mepet ke Eva.
“Babe, gue tunggu di kantin ya. Lo langsung nyusul kesana kan kalo selesai?” tanyanya.
“Loh, nggak langsung pulang?” heran dong si Eva, dia tahu jika kelas Janu masih ada nanti siang. Kalau dia menunggunya pasti akan lama, dan apa tidak jenuh itu si Janu.
Kepala Janu menggeleng pelan, “Enggak,” jawabnya pendek.
“Kenapa?”
“Mau nungguin lo,”
“Ih, jangan. Lama tau, Jan,”
“Nggak apa. Udah ya, gue keluar dulu.” Janu berdiri tapi masih belum menggerakkan kakinya untuk melangkah, dia menatap Eva dengan ragu, seperti ingin mengatakan seusatu tapi masih di timbang-timbang.
“Kenapa?” tanya Eva yang melihat gelagat Janu.
Tak langsung memberikan jawaban, kepala Janu melihat sekitar, ternyata sudah ramai. Dia duduk kembali dan mendekatkan kepalanya ke Eva.
“Jangan balas atau ladenin cowok laen,” ucapnya membuat Eva menatapnya tak percaya.
“Bilang kalau ada yang gangguin lo. Paham Babe?”
Bukannya jawaban yang melegakan yang diterima Janu, dia malah melihat Eva yang mendengus geli.
“Babe?”
“Iya. Okey,” balas Eva, “Lagian gue bukan cewek yang demen ngeladenin begituan ya, Jan!” serunya.
Janu mengangguk puas. Dia tahu jika Eva memang bukan tipe cewek yang demen menanggapi orang asing, tapi Janu hanya mengingatkan saja. Karena tidak akan ada yang tahu siapa yang akan menggoda Eva, takut saja jika yang menggoda ini lebih keren darinya dan membuat pacranya kitu terarik.
Bisa jadi kan? we never know.
Kecupan di puncak kepala dan usapan lembut menjadi interaksi terakhir mereka sebelum Janu benar-benar keluar dari kelas itu. Dibelakang Janu sudah ada Budi yang mau gumoh melihatnya tadi.
“Masih sehari udah ada gejala bucin ya, Pak?” sarkasnya yang sekarang berjalan mengimbangi Janu.
Dan sarkasan itu hanya di balas gedikan bahu tak acuh dari Janu.
Terserah lah mau Budi mengatainya bucin atau apa, dia hanya melakukan apa yang mau ia lakukan saja. Lagian bucin ke pacar sendiri wajar wajar saja. Yang tidak wajar itu jika Janu bucin ke pacar orang lain. Aneh itu mah, pikirnya.
“Lo ada kelas pagi?”
“Kagak. Siang nanti,”
“Oh. Mau pulang lo?”
“Kantin,”
Jawaban Janu membuat Budi terperangah, “nungguin Eva?” tebaknya. Detik selanjutnya dia menggumam kata takjub dan menggeleng kepala setalah mendapat anggukan dari Janu.
“Gue duluan, Jan!”
Sama seperti Janu, Budi juga tidak ada kelas pagi ini tapi dia ada urusan dengan salah satu Dosen. Makanya bisa ngapel dulu ke pacarnya.
“Yo!” balas Janu.
“Salamat menunggu dan berbucin ria deh. Mamam noh bengong di kantin,” cibir Budi sambil menjauh dari geplakan Janu.
Budi salah, Janu di kantin tidak bengong. Dia sedang berkutatat dengan laptopnya, bukan tugas kuliah tapi pekerjaannya. Walau gayanya seperti orang tengil dan pengangguran, Janu itu punya bisnis sendiri. Selain tempat boxing, dia juga ada bisnis di bidang fashion.
Berawal dari mengumpulkan duit jajan dari Papanya yang tidak bisa dibilang lumayan nominalnya, akhirnya Janu bisa mengumpulkan modal dan membuka usahanya sendiri. Meski tanpa kerja pun kebutuhannya akan tercukupi karena dia anak dari orang kaya. Tapi Janu juga ingin menikmati hasil dari jerih payah sendiri.
Ya walaupun sampai sekarang dia masih terima saja duit transferan dari Papanya. Rugi kalau menolak kata Janu.
Sumber keuangan Janu juga bukan itu saja, tiap bulan dia akan mendapat hasil dari sahamnya yang ada diperusahaan Papanya. Dari Janu kecil, si Papa memang sudah memberikan 10 persen saham atas nama Janu. Dan hasil setiap bulannya akan masuk ke rekening yang sengaja dibuatkan oleh Papanya semenjak namanya ada disaham itu.
Uang itu diserahkan setelah Janu lulus dari SMA. Meski hubungannya tidak pernah baik dengan Papa, tapi si Papa tetap tanggung jawab sebagai Bapak dan mempercayakan uang itu ke Janu.
Dan yang paling wow, si Janu itu satu-satunya yang akan mewarisi kekayaan Papanya karena Cuma Janu anaknya.
Sungguh, berbanding terbalik hidupnya dengan Eva. Sama-sama kurang mendapat kasih sayang, tapi setidaknya Janu tidak pernah kekurangan dengan apa itu yang namanya uang.
Tak terasa sudah dua jam lebih Janu duduk anteng. Si Eva datang bersama dengan Budi dan Saro.
“Hai,” sapa Eva.
Janu menoleh dan langsung menyematkan senyum tipis menyambut sang kekasih.
“Lama ya?” tanya Eva yang tak dijawab oleh Janu. Pacarnya itu hanya mengacak pelan rambutnya. “Lagi ngerjain apa?”
“Laporan di JC,”
Eva manggut-manggut, dia sudah tahu JC itu nama distro milik Janu, dan yang memberitahu Eva ya Janu sendiri. Pernah di ajak kesana satu kali, distronya lumayan besar dan cukup mewah. Sepertinya pelanggan disana anak muda yang banyak duitnya.
“Babe, nanti malem nggak ada jadwal manggung kan?” tanya Janu.
"enggak ada,"
“Bantuin gue ya? tolong liatin laporan dari JC, kayaknya ada angka yang ganjil,”
“Oke,”
“Wuih, kayak denger ada yang dipanggil Babe deh. Lo denger nggak Bud?”
Itu suara cemprengnya si Ajeng. Gadis itu baru saja datang dari gedung yang berbeda dengan Eva dan yang lain. Duduk di depan Eva dan menatapnya penuh selidik.
“Lah? lo kagak tau kalau tuh anak udah jadian?” serju Budi menatap Eva dan Ajeng bergantian. “Wah, parah sih lo, Pe. Masa sohib dari orok kagak dikasih tau? lo nggak penting berarti, Gel,”
Bogel, sebutan sayang dari Budi dan yang lain untuk Ajeng. Ya karena gadis itu paling pendek di antara mereka. Kadang juga disebut si bontot, itu karena tingkahnya yang polos dan aneh mirip bocah.
“Nggak usah jadi kompor lo!” sentak Eva. Detik selanjutnya dia menatap Ajeng sambil meringis dan menggumamkan kata maaf.
Lupa jika dia tidak memberitahu Ajeng, padahal si Ajeng apa pun akan bercerita kepadanya. Lihat saja sekarang gadis itu sudah merengut kesal kepadanya.
“Jahat lo, Pe. Mentang-mentang udah punya pacar, terus gue dilupain gitu?”
“Iya. Jahat emang si Ipe. Nangis aja, Gel. Nangis!”
Memang beneran jadi kompor meleduk itu si Budi.
“Baru kemarin loh, Jeng. Niatnya juga hari ini mau cerita,” elak Eva, mau megang tangannya Ajeng tapi ditepis.
Begini banget memang ngemong si Ajeng, kadang geli sendiri jika harus ikut lebay mengimbangi sikapnya Ajeng. Tapi ya bagaimana, Eva tuh sayang banget sama manusia imut-imut dan langkah ini.
“Ih, Ajeng mah,” keluh Eva membujuk si tukang ambekan, “Sebagai ganti maafnya, kita nonton yuk besok! gimana? mau kan? mau dong, masa kagak mau?”
“Iya deh. hehe.” seketika Ajengnya nyengir dan membuat Eva ikutan nyengir juga.
Janu yang tadi melihat interaksi keduanya, kontan mendengus geli. Pacarnya itu lebih mirip emak-emak yang sedang membujuk anaknya.
“Yaah, kagak seru. Penonton kecewa kalo gini. Aturan lo tantrum dulu kali, Gel. Murahan banget dijajanin tiket bioskop langsung luluh,” si paling tengil Budi berceletuk. Dan karena celetukannya itu dia jadi digeplak oleh Ajeng.
Mereka memesan makanan dengan Janu sebagai pendonor dananya. Tapi kata Budi ini masih belum dihitung sebagai pajak jadiannya dengan Eva, menurut Budi ini terlalu murah mengingat dompetnya Janu ini tebelnya bukan main. Janu iyakan saja, Budi terlalu berisik jiak diladenin.
Usai makan dan ngobrol ngalor ngidul, mereka mau bubar masing-masing. Budi akan mengantar Ajeng dan Saro ke perpustakaan umum. Sementara si Eva akan pulang ke kosnya saja karena Janu akan ada kelas satu jam lagi.
“Mau pulang?” tanya Janu ke pacarnya.
“Iya. Lo bentar lagi ada kelas kan?”
Janu mengangguk, “Tunggu di apart gue aja, Babe. Lo bisa istirahat disana. Nanti gue mau ngajakin lo ke tempat Evan bentar,” ucapnya.
“gue tungguin di kos ajalah, Jan,” tolak Eva. Aneh sekali rasanya jika dia diam ditempatnya Janu sendirian.
“Tempat lo berisik. Istirahat di apart aja lah. Ya?”
Janu itu pemaksa, fakta baru yang Eva tahu.
“Iyain ajalah, Pe. Laki lo kalo ngambek serem tau!” celetuk Budi.
Eva mengernyit saat menoleh ke sampingnya dimana Janu berada. Apa iya Janu modelan cowok yang ambekan? kalau dilihat dari penampilan dan perangainya sih tidak mungkin.
“Babe?”
“Iyaa. Okeey, gue tungguin di apart lo,” akhirnya mengalah juga si Eva.
“Gadis baik,” gumam Janu memuji sang kekasi, dan tak lupa tangannya yang selalu mampir untuk mengelus rambut si Eva.
Eva mencebik. Dan tidak Cuma Eva saja ternyata, baik Budi maupun Ajeng sama mencebiknya. Mencibir si manusia yang sudah terlihat bucinnya, yaitu si Eva dan Janu.
“Berangkat sekarang?” Janu berdiri lebih dulu dan menatap pacarnya.
“Lo ngapain berdiri?”
“Ya nganterin lo lah,”
“Ih, nggak usah. Gue bisa naik ojol. Lo bolak balik kalo nganterin gue, Jan!”
Gila kali si Janu, pikir Eva. Itu cowok mau mengantarnya ke apart lalu balik lagi ke kampus. Apa nggak bolak balik itu namanya?
“Nggak ada ya lo naik ojol. Udah sama gue aja,”
“Lo capek nanti, Jan!”
Budi, Saro dan Ajeng, kompak menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri bolak balik mengikjuti siapa yang berbicara. Mereka sudah seperti menonton adegan film secara nyata.
“Nggak cape, Sayang,” jawab Janu lembut. Di elus itu rambutnya Eva. Lagi. “Yuk!” ajaknya.
Eva tidak bisa menolak karena Janu menarik tangannya pelan membuatnya berdiri. Berpamitan ke para bestie sebelum melangkahkan kakinya mengimbangi Janu.
Ketiganya yang dipamiti masih setia memandang ke arah Janu yang sduah berjalan sambil merangkul Eva. Janu juga mengambil alih tas Eva yang sepertinya sangat berat itu. Dari kejauhan mereka bisa melihat bagaimana Janu memeprlakukan Eva dengan sangat baik.
“Hebat si Janu, bisa ya dia secepet itu dapetin Ipe. Ipeh loh ini,” seru Ajeng.
“Bisa,” angguk Budi mantap. Saro dan Ajeng menatapnya. “Janu pinter strateginya kalo kata gue mah,” timpalnya.
“Maksudnya?” si pacar bertanya tak paham.
“Ya lo bayangin aja ya. Si Ipe itu apa-apa bisa sendiri, kalau kata anak-anak gen z, dia tuh independent women. Terus ketemu sama Janu yang act of service banget ke Eva. Dikasih perhatian lebih, di anter jemput, ditungguin, dan yang nggak kalah penting si Janu treat teman kalian kek ratu. Gimana kagak luluh tuh si ipe coba?”
Penjelasan dari Budi itu langsung membuat Saro dan Ajeng mengangguk paham. Meski tak tahu Janu itu sebenarnya orang seperti apa, tapi jika dilihat bagaimana tadi dan sebelum-sebelumnya cowok itu memperlakukan Eva, terlihat jelas jika Janu memang mencintai Eva.
Dan sangat masuk akal sekali penjelasan dari Budi. Mau sekokoh dan sekuat apa pun Eva, tetap saja dia seorang permempuan yang butuh laki-laki untuk melindunginya.
“Syukur lah kalo gitu. Gue ikut seneng. Setidaknya sekarang udah ada orang yang bisa dibuat sandaran sama Eva. Biar apa-apa enggak sendiri,” gumam Ajeng yang disertai senyum lebarnya.
Turut bahagia jika memang teman baiknya itu bahagia.
kak kenapa ga di fizo aja sih novel ini..