Namaku Dika Ananto. Seorang murid SMA yang ingin sekali menciptakan film. Sebagai murid pindahan, aku berharap banyak dengan Klub Film di sekolah baru. Namun, aku tidak pernah menduganya—Klub Film ini bermasalah!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agus S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelucon Di Malam Hari
Setelah membuat dua buah spaghetti yang ditaruh di atas piring. Dika memasukkan bumbu spaghetti instan ke dalam penggorengan dengan beberapa tomat dan bawang putih yang telah dipotong rapih.
Tangan Dika nampak mahir menggerakkan tangannya di atas penggorengan. Setelah mencicipi kalau semua bahan di dalam bumbu spaghetti instan sudah terasa enak. Dika langsung mematikan kompor dan menghidangkannya ke atas spaghetti yang sudah disiapkan sebelumnya.
Dika langsung membawa dua piring spaghetti yang hangat ke ruang tamunya. Dika menaruh piring spaghetti milik Chika yang sedang fokus di depan laptop. Tidak lupa dia memberi tahu Chika kalau makanannya sudah siap.
Merasa penasaran, Dika mengambil kursi belajar yang lain dan duduk di samping Chika. Dika cukup terkejut dengan keterampilan mengetik Chika di atas laptop. Dia menggunakan kesepuluh jarinya dengan cepat.
"Apa kamu sudah terbiasa menulis di depan laptop dengan sepuluh jari?" tanya Dika penasaran sambil memasukkan sesendok spaghetti ke dalam mulutnya.
Chika langsung menoleh ke arah Dika yang sedang menyantap spaghetti. Dia cemberut mengapa Dika tidak memberitahu kalau makanannya sudah jadi.
"Dasar, aku sudah memberitahumu dari tadi, loh."
"Benarkah?" balas Chika sambil tertawa kecil, "Maaf, deh. Aku terlalu fokus dengan ini."
"Ngomong-ngomong, skenario apa yang yang sedang kamu tulis?"
Chika langsung menggeser laptop layarnya tidak dilihat oleh Dika, "Eh, kamu jangan lihat dulu. Anggap aja rahasia."
"Jika ini rahasia. Mengapa kamu menulisnya di laptopku?" tanya Dika sambil memicingkan kedua matanya.
"Habisnya, aku malas sekali menulis di rumah," jelas Chika sambil menyantap spaghettinya, "Tapi, tenang saja. Aku menyimpannya di akun internetku. Jadi, kamu tidak akan bisa melihatnya ketika aku tidak ada disini, hehehe."
Dika hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah laku Chika. Sesekali Chika terlihat sedih di depan Dika. Terkadang wajahnya terlihat hampa. Disisi lain, dia bisa seperti gadis anak sekolah pada umumnya.
Sampai di titik ini. Dika hanya bisa mengikuti permainan kecil yang dilakukan oleh Chika. Sebab Dika masih tidak mengerti apa yang ingin disampaikan Chika.
Chika kemudian secara tiba-tiba meminta nomor ponsel Dika. Dalam pemikiran Dika, sudah seharusnya sebagai teman dirinya dan Chika sudah saling bertukar nomor ponsel. Apalagi di masa yang sudah modern seperti ini.
Dika tanpa berpikir panjang memberikan ponselnya pada Chika. Dengan senandung nada yang senang, Chika memegang ponsel Dika dan menempelkan ponselnya untuk saling bertukar nomor. Seusai terdengar notifikasi di kedua ponsel yang Chika pegang. Chika langsung menyerahkan ponsel Dika.
"Rasanya agak terlambat...."
"Apanya?"
"Kita berteman sejak seminggu lalu. Tapi, kita baru saling bertukar nomor seperti ini," kata Dika dengan menghembuskan napas panjang, "Kamu sepertinya akan sering datang ke tempat kosku, ya?"
"Hehehe, ketahuan, ya?" balas Chika sambil nyengir karena pemikirannya sudah terbaca, "Lagipula kamu tipe orang yang menerima orang dengan mudah."
"Yah, aku tidak masalah dengan itu. Tapi, terkadang ada kalanya aku ingin merasa sendirian untuk meminum teh atau kopi hangat sambil ditemani film atau novel," ungkap Dika.
"Bukannya kamu senang jika ada seorang gadis bermain di kamarmu?" goda Chika sambil menyenggol tubuh Dika.
"Kalau boleh jujur. Aku sudah tidak bisa untuk jatuh cinta," ungkap Dika sambil menyantap potongan terakhir spaghetti miliknya, "Jadi, bisa kamu berhenti menggodaku?"
Chika tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Dika. Dia membalas kalau perkataan tadi hanyalah akting. Karena itu, Chika meminta Dika untuk tidak terlalu memikirkannya.
Dika hanya bisa memalingkan wajahnya. Rasanya dia sangat malu untuk menatap wajah Chika. Dia seharusnya tahu kalau Chika sangat pandai berakting.
Dika langsung berdiri dari kursinya sambil membawa piring yang kotor. Dika yang ingin mandi. Menoleh ke arah Chika yang sedang fokus di depan laptop.
"Jika kamu haus. Kamu bisa mengambil air minum di kulkas. Jika kamu ingin langsung pulang. Tolong tutup pintunya," pinta Dika.
"Iya...."
...***...
Seusai Dika keluar dari kamar mandi dengan handuknya. Dia terkejut melihat Chika yang masih duduk di depan laptop dengan kedua mata tajam. Dika sebelumnya berpikir kalau Chika akan pulang ke rumah saat dirinya sedang mandi.
Kedua langkah kaki Dika langsung bergegas ke ruang tengah. Mengambil pakaian di dalam lemari dan segera mengenakannya. Kemudian melangkah keluar untuk melihat kondisi Chika.
"Tidak kusangka kamu masih ada disini," sindir Dika, "Apa kamu tidak ingat jalan pulang, Chika?"
Kedua bibir Chika perlahan terangkat setelah mendengar perkataan Dika. Namun, dia hanya membalas ucapan Dika dengan senyuman dan menjelaskan kalau dirinya masih ingin di tempat Dika.
Dika jelas menjadi agak khawatir mendengarnya. Karena itu, Dika mencoba meyakinkan Chika apakah dirinya sudah menghubungi orang tuanya untuk menjelaskan kalau dia menginap di rumah teman.
"Kamu memang orang yang baik, Dika," gumam Chika.
Chika yang mendadak memalingkan tubuhnya membuat Dika kembali kebingungan. Untuk sesaat Dika mengerti kalau mungkin saja Chika ada masalah dengan orang tuanya. Karena itu, Dika kembali berjalan ke ruang tengah dan mengambil selimut dari lemarinya.
Dika kemudian memutuskan untuk tidur di lantai dan dia meminta Chika tidur di atas tempat tidur. Chika yang mendengar hal itu langsung berbalik ke arah Dika dengan cepat.
"Tidak-tidak," jawab Chika untuk menolak permintaan Dika, "Rasanya itu terlalu berlebihan. Aku juga bisa kok untuk tidur di meja belajar begini."
"Kamu tidak ingat kalau kita besok sekolah?"
"Tapi...."
Dika langsung duduk di samping tempat tidur sambil menaruh selimut di atas kedua kakinya. Dika meminta pada Chika dengan kedua mata yang serius.
Kedua pundak Chika langsung menurun setelah mendengar permintaan Dika yang terlihat sangat serius. Dia hanya bisa mengangguk pelan sambil menatap layar laptop.
"Kemudian jangan lupa untuk mandi," goda Dika, "Seorang gadis yang memiliki bau keringat karena aktivitas seharian rasanya sangat tidak bagus."
Chika langsung mengendus tubuhnya, "Ih, emang bau, ya?"
Dika langsung menaruh selimut di atas lantai dekat tempat tidur sambil tidak bisa menahan tertawa, "Aku hanya bercanda."
Chika langsung melempar tasnya ke arah Dika dan cemberut, "Ih, bercandanya jelek!"
"Pokoknya kalau kamu ingin mandi. Pakai saja kamar mandinya. Tidak usah sungkan," kata Dika sambil menyeka air matanya karena habis menertawai Chika, "Nanti akan kusiapkan baju ganti. Kebetulan aku mempunyai beberapa kemeja putih dengan ukuran besar yang tidak sengaja aku beli."
"Te-Terima kasih untuk itu," jawab Chika sambil mencoba mengendus rambutnya, "Kalau begitu. Aku sepertinya akan mandi sekarang."
Chika dengan langkah kaki yang cepat meninggalkan Dika di ruang tamu. Tidak butuh waktu lama, dia mengintip sambil tertawa pelan melihat Dika yang sedang tidur di atas selimut.
"Kau tahu. Jika ini adalah komik Jepang. Pemeran utama perempuannya pasti akan berkata. Awas ya. Kalau kamu mengintipku!"
Dika tersenyum kecil, "Benar juga. Adegan kita yang sekarang ini terjadi, mirip sekali dengan komik jepang. Rasanya dialog yang diucapkan oleh pemeran utama perempuannya itu sangat klasik sekali."
"Benar, kan?" balas Chika sambil tertawa lepas, "Rasanya konyol sekali melihat percakapan yang sudah bisa ditebak alurnya!"