Jatuh cinta kepada seorang Arthur Mayer yang memiliki masa lalu kelam tidak dipermasalahkan Shannon Claire karena ia sungguh mencintai pria itu.
Namun bagaimana ketika terungkap dimasa lalu Arthur lah dalang dari peristiwa yang menyebabkan Shannon kehilangan orang yang disayanginya? apakah Shannon memilih bertahan atau meninggalkan Arthur? simak kisahnya di novel hasil menghalu dari Ratu Halu Base 😎
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Base Fams, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AD #14
"Kenapa kau memperhatikanku? kau ingin rokok?" tawar Arthur. Arthur menyodorkan kotak rokoknya yang berada diatas meja ke arah Shannon.
"Hais, aku tidak merokok, Tuan." Tolak Shannon seraya mengibaskan tangan di depan wajahnya untuk menghalau asap dari rokok pria itu. "Lagi pula, rokok tidak baik untuk kesehatan." Tambahnya tidak bermaksud menyindir Arthur. Ia berbicara apa adanya.
"Kau menceramahiku?" Arthur menanggapi kalimat Shannon sangat serius. Baru kali ini, ada sosok lain yang mengingatkannya tentang bahaya rokok selain Ayahnya. Arthur tidak terusik dengan pernyataan Shannon, justru sebaliknya. Ucapan gadis itu seperti bentuk perhatian untuknya.
"Tidak, aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Tuan. Tanpa menceramahimu, aku rasa anda mengetahui dampak buruk dari merokok."
"Aku merokok hanya sesekali. Tepatnya saat aku menginginkannya." Jelas Arthur, ia menyesap lagi rokoknya.
"Benarkah?" Shannon mendaratkan bokongnya di sofa yang berbeda dengan Arthur, tepatnya di depan pria itu.
"Percaya atau tidaknya. Itu tidak penting untukku."
Tidak penting untuk Arthur, akan tetapi sangat penting untuk Shannon yang menggilai pria blasteran Italy, Prancis itu.
"Baiklah, aku mempercayaimu, Tuan."
"Ck, dasar gadis kecil."
"Usiaku hampir 20 tahun, Tuan. Bukan gadis kecil lagi." Elak Shannon tidak terima di sebut gadis kecil. Menurutnya, gadis kecil itu seperti Arabella. Bukan sepertinya.
"Aku tidak bertanya usiamu." Timpal Arthur balik ke mode awal, bersikap acuh.
"Aku hanya memberitahu, agar anda tidak menganggap aku seorang gadis kecil lagi." Shannon berdeham pelan. "Sepertinya mood anda sedang buruk, Tuan. Sebaiknya aku pergi dari sini." Shannon beranjak dari duduknya.
"Kau ingin kemana?" cegah Arthur dengan tiba-tiba.
"Kembali ke kamarku, lalu tidur dengan manis." Jawab Shannon menerbitkan senyuman.
"Tetaplah disini, " pintanya yang membuat dirinya sendiri bingung, kenapa dia menahan Shannon untuk tetap tinggal. Ia tidak menyadari jika ia sudah merasa nyaman bersama Shannon.
Shannon menatap Arthur tidak percaya. "Apa anda sedang menahanku, Tuan?" Arthur hanya diam, dan diamnya pria itu sebagai jawaban. Shannon pun melebarkan senyumannya.
"Setidaknya temani aku, sampai rokokku habis."
"Baiklah, dengan senang hati aku akan menemanimu, Tuan." Kemudian Shannon kembali duduk.
Shannon melihat ke seluruh ruangan perpustakaan. Selain terdapat rak berisi banyak buku, disini juga terdapat barang-barang antik. "Benda apa yang ditutup kain putih itu, Tuan?" tanya Shannon sambil menunjuk objek yang menjadi atensinya yang berada di sudut ruangan.
"Piano." Jawab Arthur tanpa melihat benda yang ditunjuk Shannon. Shannon pun beranjak. "Kau mau apa?"
Tanpa permisi, Shannon membuka kain penutup putih tersebut. "Woah, " Shannon tersenyum sangat lebar melihat piano bercat coklat itu. "Tuan, bolehkah aku memainkannya?"
Sudah lama, Shannon tidak memainkan Piano, terakhir kali ketika ia mengajari Lily ketika Lily ingin mengikuti pentas seni di sekolahnya.
"Kau bisa bermain piano?" Arthur beranjak dari duduknya, ia berjalan mendekati Shannon.
"Kenapa anda bertanya seperti itu? apa anda tidak mempercayaiku?" Arthur mengedikkan bahunya, bersikap acuh. "Aku akan membuktikannya." Ujar Shannon berapi-api.
"Lakukanlah, awas saja jika permainan pianomu jelek." Sahut Arthur mencemooh membuat Shannon jengkel.
"Jika sebaliknya, bagaimana?" Shannon merasa gugup dengan kedekatan pria itu. "Akh, anda cukup mentraktirku makan es krim, dan anda harus setuju."
Tanpa menunggu jawaban dari Arthur, Shannon mendudukkan dirinya di kursi. "Lihat saja nanti, aku akan membuat anda terkagum-kagum, Tuan Arthur."
Arthur berdiri di belakang Shannon, ia sedikit membungkuk lalu berbisik. "Buktikanlah kemampuanmu gadis kecil," bisik Arthur di dekat telinga Shannon. Dari jarak yang sangat dekat, Arthur menarik napas panjang, menghirup aroma vanila yang feminis dari tubuh Shannon, dan sanggup membuat darahnya berdesir.
Tidak ada bedanya dengan Arthur, Shannon pun juga merasakan apa yang Arthur rasakan.
Dengan jantung yang bertalu-talu, Shannon berusaha setenang mungkin. Shannon memulai menekan tust-tust pada papan piano tersebut dengan penuh perasaan. Shannon memejamkan matanya, mengingat moment kebersamaannya bersama kedua orangtuanya. Jemarinya bergerak. Ia menghayati permainan nadanya. Bahkan air matanya turun, menuangkan emosinya.
Arthur yang duduk di sisi Shannon, dibuat terpukau. Musik yang dimainkan Shannon begitu menyentuh hingga ke relung hatinya. Dia menangis. Bisik Arthur memerhatikan buliran kristal menyelusuri pipi Shannon. Arthur mengangkat tangannya, ingin mengusap air mata Shannon. Namun, segera ia mengurungkannya.
Permainan pianonya selesai, Shannon membuka mata, dan mengusap air matanya.
"Permainan pianomu sangat bagus, Nona." Puji Arthur dengan tulus. Shannon menoleh ke arah kanan mendapati Arthur di sisinya. Gadis itu pun tersenyum. "Aku sudah membuktikan kemampuanku, dan anda harus mentraktirku makan es krim, Tuan. " Tagihnya bersemangat.
"Aku tidak menjanjikannya padamu. Kau yang telah memutuskannya sendiri, tanpa menunggu jawabanku."
Shannon memutar bola matanya. "Itu memang benar, tapi setidaknya berikan kemurahan hatimu. Anggap saja sebagai Imbalanku."
Arthur menahan senyumannya. Kepolosan gadis itu berhasil menghiburnya. "Kalau begitu, mainkan satu musik lagi untukku. Aku akan memberimu imbalan dengan satu mangkuk es krim. Deal?" Arthur mengulur tangannya, yang di balas Shannon.
"Deal! " balas Shannon. "Katakan, anda ingin aku memainkan lagu siapa?"
Arthur bergumam, seraya berpikir. "Debussy- Claire De Luna. Kau tau?"
"Tentu saja, aku tau." Shannon menggerakkan jemarinya diatas papan piano, memainkan lagu yang di request oleh Arthur. Arthur lagi-lagi dibuat tertegun, bahkan manik legamnya fokus pada wajah Shannon.
"Selesai, aku sudah menuruti keinginanmu, Tuan." seru Shannon. "Sekarang, aku tinggal menunggu imbalanmu."
"Aku akan mengatur jadwalku lebih dulu."
"Yes!" Shannon memekik, kegirangan. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya "Berikan nomer ponselmu, Tuan?"
"Nomer ponsel? untuk?" Arthur mengerutkan dahinya.
"Mengingatkan anda, agar tidak lupa."
Arthur mengerjap, kemudian mengangguk melihat keinginan di netra hijau Shannon. "Berikan ponselmu."
Shannon memberikan ponselnya kepada Arthur. Arthur menuruti kemauan Shannon, ia mengetik nomer ponselnya. "Sudah."
Shannon mengambil kembali ponselnya. "Aku akan mencoba menghubungi anda, Tuan. Untuk memastikan lagi jika nomer ini benar."
"Aku tidak akan menipumu, Nona."
Shannon menekan tombol panggilan pada nomer tersebut. Nada dering dari ponsel Arthur pun terdengar. "Ternyata anda tidak menipuku." Shannon terkikik geli.
"Sejak kapan kau bisa bermain piano?" keduanya kembali duduk ditempat mereka tadi, melanjutkan obrolan mereka.
"Dari kecil," balas Shannon. "Ayahku yang telah mengajariku, Tuan."
"Ayahmu seorang pianis?"
"Ya, sebelum Ayah memutuskan impiannya menjadi guru. Ibuku juga bisa memainkan piano." Suara Shannon getir. "Akh membicarakan mereka membuatku bertambah rindu."
Satu kedipan, air mata Shannon meluncur lagi dengan segera Shannon mengusapnya, lalu ia tersenyum. "Lalu, bagaimana dengan anda?" tanya Shannon balik.
Arthur yang tidak melepaskan pandangannya dari Shannon, tersentak. "Tidak ada yang menarik dari hidupku, Shannon."
"Anda mengingat namaku?"
"Bagaimana tidak ingat, kau adalah gadis berisik yang pernah aku jumpai. Selain itu, kau juga mengerjai ku, Nona. Jika kau lupa."
wah wah, shanoon terjamah 🤣🤣