NovelToon NovelToon
ALTAIR: The Guardian Eagles

ALTAIR: The Guardian Eagles

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur
Popularitas:15.4k
Nilai: 5
Nama Author: Altairael

[MOHON DUKUNGAN UNTUK CERITA INI. NGGAK BAKAL NYESEL SIH NGIKUTIN PERJALANAN ARKA DAN DIYAN ✌️👍]

Karena keserakahan sang pemilik, cahaya mulia itu pun terbagi menjadi dua. Seharusnya cahaya tersebut kelak akan menjadi inti dari kemuliaan diri si empunya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya---menjadi titik balik kejatuhannya.

Kemuliaan cahaya itu pun ternoda dan untuk memurnikannya kembali, cahaya yang telah menjadi bayi harus tinggal di bumi seperti makhluk buangan untuk menggenapi takdir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KENANGAN ARKA

Duduk termenung di tepi pembaringan Diyan, mata sayunya menatap kosong wajah sang adik yang tengah terlelap. Banyak peristiwa yang sebelumnya terasa biasa saja, tetapi sekarang, semakin diingat rasanya seperti kepingan-kepingan puzzle yang disatukan dan membentuk sebuah pola. Bayangan masa lalu itu semakin jelas terlihat dalam benak Arka.

Dia yakin bahwa dulu pernah melihat bulu halus sayap adiknya pernah tumbuh. Kalau tidak salah ingat, waktu itu, Diyan baru genap berusia satu tahun. Bu Harnum begitu sibuk menyiapkan pesta kecil-kecilan untuk si bungsu yang masih lucu-lucunya.

Ya, begitulah. Setelah satu tahun menjalani kehidupan di dunia manusia,  Altair Harnum pun menjelma menjadi Bu Harnum. Ibu-ibu fana yang sangat suka meributkan hal-hal sepele, apalagi bila menyangkut anak-anak. Dia pun sudah terbiasa melakukan segala sesuatu dengan cara manusia---serba manual.

Karena Diyan itu istimewa maka pertumbuhannya pun berbeda dengan anak-anak sebaya. Di saat anak-anak lain baru bisa berjalan tertatih, Diyan sudah bisa berlarian dan sering membuat seisi rumah kalang kabut.

"Arka, bantu ibu menjaga adikmu," pinta Bu Harnum kala itu, sambil memasukkan Diyan kecil ke dalam tempat tidur bayi yang pagarnya hampir setinggi satu meter.

"Biarkan kami bermain di ruang bermain, Bu. Lihat, dia nggak suka dikurung," pinta Arka dengan tatapan memohon karena adiknya memukul-mukul, juga mengguncang-guncang pagar penghalang sambil mengoceh, menjerit-jerit tidak jelas.

Kaki-kaki Diyan memang sudah tangguh, tetapi lidahnya masih belum bisa berkata-kata dengan jelas. Hal itu bukan karena Diyan lambat dalam berbicara, melainkan Bu Harnum sengaja membuatnya seperti itu. Alasannya adalah karena mereka tidak ingin menarik banyak perhatian.

"Baiklah kalau begitu." Akhirnya Bu Harnum mengizinkan. "Nah, An. Ibu harap kita bisa bekerja sama. Jadilah anak baik, jangan menyusahkan Mas Arka. Ngerti?"

Diyan mengangguk cepat berulang kali penuh semangat sambil melompat-lompat. Matanya berbinar-binar dan bibir pun tersenyum sangat lebar, meringis hingga gusi dan gigi-gigi kecilnya terlihat. Sudah tidak sabar, kaki mungilnya diangkatsatu hendak memanjat pagar.

"Nggak boleh begitu, An." Arka menegurnya sambil sedikit melotot, tetapi Diyan sama sekali tidak peduli.

Alih-alih patuh, bocah itu justru semakin bersemangat memanjat. Bu Harnum mengembuskan napas kasar sembari menggeleng, tatapannya pun tajam memperingatkan. Namun, si bungsu malah tertawa senang, seperti meledek. Akhirnya, Bu Harnum mengeluarkan si kecil bertampang mengesalkan itu dari penjara. Begitu kakinya menyentuh lantai, bocah tersebut langsung berlari kencang.

"An, tunggu!" Arka berlari mengejar dan sudah tentu Diyan berlari semakin kencang.

Tadinya, Arka mengira sesampai di ruang bermain akan mendapati adiknya tengah mengacak-acak mainan, tetapi dugaannya salah. Diyan justru sedang duduk di lantai dengan tangan kecilnya berusaha menggaruk punggung. Wajahnya mencebik hendak menangis.

Arka bergegas menghampiri. "Punggungnya gatal?" tanyanya penuh perhatian.

Diyan mengangguk cepat. Wajah dan mata memelas, mulut melontarkan banyak kata yang sepertinya hanya sang kakak yang bisa memahami. Arka pun segera menyingkap baju adiknya hendak membantu menggaruk punggung, tetapi justru dibuat terkejut oleh bulu-bulu halus yang bermunculan dari balik kulit adiknya. Namun, sebelum dia sempat memperhatikan lebih lama, tiba-tiba ibunya masuk dan segera mengambil Diyan.

"Kayaknya, adikmu sakit," ujar Bu Harnum sembari mengusap kepala Arka. Setelah itu, Arka pun lupa pada pada peristiwa tersebut.

"Apa dia belum bangun sama sekali?" Suara Bu Harnum yang disertai remasan lembut pada bahu, menarik Arka dari alam lamunan.

Bibir yang sedari tadi hanya terkatup, kini berkedut kedua ujungnya membentuk senyuman kaku. "Belum," ujarnya lirih sembari menggeleng lemah.

Bu Harnum duduk di samping Arka, meraih kedua tangannya dan menggenggam lembut. Keduanya saling menatap, membuat hasrat hati Arka untuk mengetahui segalanya sangat besar. Namun, dia tidak lupa pada perkataan Altair Agung Cariyasukma: Bila sudah saatnya, Altair Agung Cariyawarta sendiri yang akan datang untuk menjelaskan.

Dilatih untuk menahan diri sejak kecil oleh Altair Agung Cariyawarta sendiri, Arka benar-benar sukses menjadi seperti yang diharapkan.

"Katakan," ujar Bu Harnum lirih.

"Huh?" Arka menatap bingung, tidak mengerti maksud ibunya.

"Ibu memang sudah tidak bisa lagi membaca pikiranmu, tapi sepertinya, semua yang kamu pikirkan tersirat jelas di mata. Bertanyalah apa saja, ibu pasti akan menjawabnya."

"Aku rasa nggak perlu, Bu." Arka menggenggam erat jemari sang ibu, sebagai penegasan bahwa, dia tidak mempermasalahkan meski banyak hal telah dirahasiakan darinya. Senyum tulus pun menghiasi wajah sendunya.

Bu Harnum tersenyum haru. "Ibu sungguh-sungguh. Ayo, bertanyalah. Ibu hitung sampai tiga dan setelah itu kesempatanmu akan hilang." Bu Harnum berseloroh, setelahnya terkikik sambil menutup mulut, sedangkan Arka spontan tersenyum lebar.

Mata sayu, wajah sendu, mengekspresikan suasana hati yang sedang senang pun hanya dengan tersenyum lebar, itulah ciri khas Arka Gaganantara. Dia tidak seceria adiknya yang tidak pernah setengah-setengah jika sedang tertawa.

"Baiklah, ibu nggak maksa. Aduh, aku ini kepiye toh? Kudune seneng karena nggak ditanyai macem-macem, jadi ya nggak perlu susah-susah jawab." Bu Harnum terkekeh pelan sambil menutup mulut menggunakan tangan kanan.

Arka bukannya tidak tahu kalau tawa ibunya hanyalah topeng. Dia bisa merasakan lara dalam suara dan tatapannya. Lagi pula, sang ibu tidak seharusnya tertawa bahagia di saat putra bungsunya sedang tidak baik-baik saja, bukan?

Ya, Arka benar. Bu Harnum hanya ingin terlihat baik-baik saja. Padahal sebenarnya, pembicaraan dengan Altair Agung Cariyasukma barusan sunguh sangat membebani hatinya, karena mengungkit masa lalu dan mengingatkan bahwa waktu untuk bertindak semakin dekat

"Bu," Arka menepuk-nepuk lembut punggung tangan ibunya, "kalau begitu, aku ingin memastikan satu hal."

"Katakan."

"Tadi aku sempat ingat. Saat An berusia satu tahun, aku melihat sayapnya tumbuh. Apa itu benar? Karena selama ini, kenangan itu nggak pernah terbayang sedikit pun."

Bu Harnum yang memang sudah siap menjawab pertanyaan apa pun dari Arka, tersenyum dan mengangguk pasti.

"Yah. Seperti yang telah direncanakan, memang sudah saatnya ingatanmu kembali."

"Jadi selama ini, Ibu sengaja membuat aku lupa?"

"Ibu harus melakukannya. Karena kamu tidak boleh mengetahui jati diri Diyan sebelum berusia sepuluh tahun."

Arka tertegun menatap sang ibu penuh sayang. Sebenarnya, dia masih memiliki poin lain yang bisa ditanyakan. Misalnya saja, kenapa setelah usia 22 tahun, sang ibu tidak kunjung memberi tahunya?

Akan tetapi, Arka tidak melontarkannya. Dia pikir, jika para altair agung saja sudah mengizinkan, tetapi ibunya tetap bersikukuh tidak memberi tahu, itu berarti sang ibu memiliki alasan tersendiri dan Arka tidak mau membuat sang ibu merasa terpaksa untuk mengatakan sesuatu yang tidak ingin diceritakannya.

Arka mengerling adiknya yang tampak begitu damai. Dalam hatinya berharap, Altair Agung Cariyawarta bisa segera datang supaya segala misteri yang menyelimuti adiknya akan dia ketahui.

Satu hal lagi yang kini telah menjadi jelas baginya, yaitu tentang kemampuan mereka berkomunikasi menggunakan telepati di saat-saat tertentu. Misalnya bila Arka sedang membutuhkan pertolongan.

Sayangnya, hubungan sebab akibat dalam kehidupan ini sungguh berlaku dan ada kalanya membuat kita serakah, ingin tahu lebih banyak lagi. Setelah mengetahui alasan dirinya dan Diyan bisa berkomunikasi dengan telepati, kini pertanyaan lain pun muncul.

Barusan adiknya berada dalam kesulitan, tetapi mengapa tidak memanggil dirinya? Kenapa pula malah Altair Agung Cariyasukma sendiri yang datang menyelamatkan?

"Kalau lagi tidur, dia terlihat sangat polos dan manis."

Arka sedikit tersentak lalu tersenyum lebar. Perkataan Bu Harnum mengingatkan Arka bahwa hampir di seluruh hidupnya, altair perempuan yang berperan sebagai ibu ini selalu dibuat gusar oleh adiknya.

Keanggunan dan kelemah-lembutannya terkikis hampir tidak tersisa setelah kaki-kaki Diyan bisa berlari. Bahkan, si kecil itu sudah bisa membantah, adu argumen dengan Bu Harnum sejak dia bisa berbicara dengan jelas. Ada satu peristiwa melintas di benak Arka. Saat itu usia adiknya baru tiga tahun.

Pada suatu hari ketika pulang sekolah, Arka mendapati Bu Harnum dan Diyan sedang adu mulut---saat itu si kecil sedang dihukum berdiri dengan satu kaki dan kedua tangan memegang telinga. Arka berhenti di ruang tengah untuk menguping.

"Jangan coba-coba pindah seinci pun, An!" Bu Harnum berteriak memperingatkan dari dapur.

"Kenapa aku dihukum?!" Diyan balas berteriak.

"Karena kamu nakal!"

"Aku nggak nakal!"

Bu Harnum keluar dari dapur dan berdiri di hadapan Diyan yang menyandarkan punggung pada dinding untuk menjaga keseimbangan.

"Ibu memintamu bermain sendiri karena ibu ada sedikit pekerjaan, tapi---"

"Ibu kan bilang aku boleh main apa saja!" Diyan memotong perkataan Bu Harnum. Mata bocah itu mendelik malah terlihat jauh lebih galak dari ibunya.

"Tapi, bukan berarti---"

"Ibu bilang aku boleh main apa saja jadi aku ya main apa pun yang aku mau! Aku nggak nakal, kok! Aku nurut apa kata Ibu! Main apa saja asal nggak gangu Ibu!" Diyan berbicara berapi-api dengan cepat hampir tanpa jeda. Setelah itu, ngos-ngosan dan wajah putih berpipi gembil itu memerah.

Bu Harnum tidak bisa berkata-kata hanya memijit pelipis yang berdenyut nyeri sambil meringis. Mata Diyan langsung berbinar jail, dia merasakan ada peluang untuk lolos dari hukuman.

"Ibu sakit?" Diyan bertanya dengan memasang wajah bersimpati, bahkan tatapannya terlihat prihatin.

"Diam dan ...." Bu Harnum seketika kehilangan kata-kata ketika melihat ekspresi si kecil. Dia bukannya tidak tahu kalau bocah itu sedang berakting, tetapi ekspresi Diyan membuatnya harus menahan tawa.

"Ibu nggak boleh marah sama An. Kan An patuh. An nurut apa kata Ibu. Nggak gangu Ibu, kan? An anak baik, bermain sendiri karena Ibu sibuk."

Sungguh sulit dipercaya bocah tiga tahun bisa mengoceh sepanjang itu dengan ekspresi polos tanpa dosa. Padahal, baru saja menghancurkan ruang kerja ayahnya. Mata Bu Harnum menyipit, sedikit membungkuk untuk menyejajarkan diri dengan tinggi si kecil.

"Apa ruang kerja ayahmu itu tempat bermain?" tanyanya dan Diyan menggeleng dengan wajah masih tidak menunjukkan penyesalan. "Lalu, kenapa kamu masuk ke sana dan membuat seluruh kertas-kertas penting berhamburan ke mana-mana, huh?"

Dengan santai, seolah tidak bersalah, Diyan pun menjawab, "Kan Ibu nggak bilang nggak boleh masuk ke sana. Ibu hanya bilang aku boleh main apa saja yang aku suka."

Lagi-lagi Bu Harnum speechless. Menatap putus asa pada si bungsu yang balas menatapnya dengan wajah menyebalkan tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. Kedok pura-pura bersimpati sudah hilang sama sekali.

Arka  yang merasa sudah cukup menguping, akhirnya menampakkan diri. "Aku pulang."

"Mas Arka pulang! Mas Arka pulang!" Diyan berseru-seru kegirangan. Kesempatan bagus, begitu kakaknya muncul, si kecil langsung menghambur memeluknya.

"An nakal, ya?" Arka bertanya sqmbil mengangkat Diyan, lalu menggendongnya ala koala.

"Nggak kok. An patuh sama Ibu, An nggak ganggu Ibu, An main apa pun yang An suka. Iya, kan, Bu?"

"Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Lagi-lagi Arka tersentak. "Huh?"

"Ibu perhatikan, dari tadi kamu senyum-senyum."

Arka pun tersenyum lebar. "Aku ingat, Ibu dan An sudah sering saling berteriak sejak An masih kecil."

Bu Harnum pun terpaksa harus kembali menutup mulut dengan tangan ketika tawanya tersembur. "Ah iya, kamu benar."

"Kalian sedang membicarakan aku?"

Keduanya spontan melabuhkan pandang pada Diyan yang entah sejak kapan sudah bangun.

[Bersambung]

1
bang sleepy
Akhirnya sampai di chap terakhir update/Whimper/ aku bagi secangkir kopi biar authornya semangat nulis 🤭💗
bang sleepy
pengen kuguyur dengan saos kacang rasanya/Panic/
bang sleepy
brisik kamu kutu anjing! /Panic/
bang sleepy
bisa bisanya ngebucin di moment begini /Drowsy/
bang sleepy
mank eak?
diyan selalu berada di sisi mas arka/Chuckle/
bang sleepy
shock is an understatement....... /Scare/
bang sleepy
sabar ya bang arka wkwwk
bang sleepy
tetanggaku namanya cecilia trs penyakitan, sakit sakitan trs. akhirnya namanya diubah. bru sembuh
bang sleepy
mau heran tp mrk kan iblis /Drowsy/
bang sleepy
dun dun dun dunnnn~♪
bang sleepy
astaga suaranya kedengeran di telingaku /Gosh/
bang sleepy
Hah... jd raga palsu itu ya cuma buat nguji arka ama diyan
Alta [Fantasi Nusantara]: Kenyataan emang pahit ya🤣🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
bang sleepy
bener uga ciii /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
bang sleepy
idih idihhh
bang sleepy
nyembur wkwkwkwk
bang sleepy
Tiba-tiba cinta datang kepadaku~♪ #woi
bang sleepy
kan bener. kelakuannye kek bokem. tp dia altair
bang sleepy
agak ngeri ngeri sedap emg si diyan ini wkwkw
Alta [Fantasi Nusantara]: /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
total 1 replies
bang sleepy
anaknya anu kah
bang sleepy
buseeeeddd
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!