Karena wasiat yang ditinggalkan oleh sang Kakek, Wisnu Wardana diminta menikahi wanita pilihan dari sang Kakek, jika ingin mendapatkan warisan perusahaan besar yang bergerak di bidang perbankan.
Sayangnya wanita yang ingin dijodohkan dengannya adalah seorang gadis desa bernama Annisa Salsabila, jauh dari tipe wanita idamannya. Belum lagi ia juga mempunyai kekasih yang tidak mungkin ia tinggalkan begitu saja hanya karena harus menikahi Annisa.
Selain diminta menikahi Annisa, ia juga diminta untuk tinggal selama setengah tahun di desa tempat tinggal Annisa untuk beradaptasi dengan kampung halaman asal leluhurnya terdahulu.
Apakah Wisnu akan menerima wasiat dari sang kakek, demi harta warisan milik kakeknya itu? Karena jika ia menolak, bukan tidak mungkin perusahaan perbankan yang ia incar akan jatuh pada sepupunya yang juga menginginkan warisan milik kakek mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon REZ Zha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 - Hanya Sandiwara
Annisa
Acara resepsi pernikahanku dengan Wisnu berlanjut sampai malam. Tidak seperti di kota, di tempatku, apalagi orang yang punya posisi penting seperti abi, biasanya acara pernikahan akan disambung dengan hiburan untuk warga dengan menampilkan kesenian daerah hingga malam menjelang.
Rasa letih sudah pasti aku rasakan, karena semenjak Shubuh aku sudah bersiap-siap untuk pernikahan ini.
Selepas Isya, aku berpamitan beristirahat, tak melanjutkan menemui para tamu undangan yang masih datang. Hanya Wisnu yang masih menemui para tamu. Sementara di ruang keluarga, saat ini aku sedang menikmati pijatan Uwa Tinah, kakak dari umi yang memijat kakiku yang terasa pegal.
"Nissa, suami kamu bilang kalau malam ini kalian akan menginap di hotel." Umi tiba-tiba menghampiri dan memberitahu soal rencana Wisnu yang akan menginap di hotel. "Sebaiknya kamu siapkan pakaian untuk menginap di sana," lanjut Umi.
Aku terkejut mendengar perkataan umi, karena ini terlalu mendadak bagiku. Ditambah lagi kepenatan yang aku rasakan saat ini. Kenapa tidak bermalam di rumah saja malam ini? Lagipula akan pergi ke hotel jam berapa? Sementara resepsi pernikahan saja belum selesai hingga jam delapan malam ini.
"Kenapa tidak tidur di sini saja, Umi?" tanyaku.
"Mungkin Wisnu ingin lebih privasi, Nis," sahut Uwa Tinah terkekeh dengan membekap mulutnya sendiri.
"Sudah, cepat kamu bersiap-siap, sebentar lagi kalian akan berangkat ke hotel," sambung Umi.
"Berangkat sekarang? Lalu resepsi bagaimana, Umi?" tanyaku, tidak mungkin kami meninggalkan acara resepsi yang masih berlangsung.
"Abi bilang hampir semua tamu undangan sudah datang. Tidak apa-apa ditinggal. Warga datang kemari hanya ingin melihat acara hiburan saja." Umi menjelaskan.
Belum sempat aku bangkit dari posisi duduk, terlihat Wisnu berjalan menghampiriku.
"Kami ingin berangkat sekarang saja, Tante." Wisnu masih memanggil umi dengan sebutan 'Tante'.
"Sekarang ini Umi sudah menjadi ibu mertua kamu, Wisnu. panggilnya Umi saja seperti Nissa panggil Umi." Umi memprotes, karena Wisnu terus memanggilnya Tante. "Seperti ke Abi juga, panggilnya Abi saja," lanjut Umi.
"Iya, Umi," sahut Wisnu lalu menoleh ke arahku. "Apa kamu sudah bersiap?" tanyanya padaku.
"Sebentar, Mas." Aku bangkit lalu melangkah menuju kamar. Permintaan Wisnu sangat mendadak sehingga aku tidak sempat packing lebih dahulu.
Aku bingung, berapa lama kami akan menginap di hotel? Dan berapa banyak pakaian yang harus kubawa? Aku ingin kembali keluar untuk bertanya kepada suamiku, tapi tidak enak. Akhirnya aku mengambil satu gamis, daster untuk tidur beserta hijab, handuk, pakaian dalam, serta mukenah juga sajadah untuk sholat. Tidak lupa sabun untuk wajah juga sikat gigi.
Setelah selesai berkemas, aku keluar dari kamar dengan membawa tas berisi pakaian dan juga perlengkapan sholat. Lalu berpamitan pada kedua orang tuaku dan abah juga keluarga kedua orang tuaku yang menginap di rumah.
Ternyata bukan aku dan Wisnu saja yang pergi ke hotel, papa dan mama suamiku juga ikut meninggalkan acara, karena waktu sudah malam dan mereka pun butuh beristirahat.
Satu jam perjalanan menuju hotel di kota, melewati jalanan yang gelap dan melintasi beberapa hutan. Untung saja semua rombongan ada tiga mobil, sehingga kami merasa tenang melewati jalan itu.
Aku sendiri baru pertama kali berpergian jauh malam hari seperti ini. Ternyata agak menyeramkan karena penerangan yang terbatas di sepanjang jalan menuju arah kota.
Sesampainya di hotel, aku mengikuti langkah Wisnu menuju kamar yang sudah dipesan oleh mama sebelumnya. Aku juga harus membiasakan memanggil orang tua Wisnu dengan sebutan papa dan mama. Ketika pintu dibuka, aroma wewangian langsung menguar dan menyeruak masuk ke penciumanku. Pandanganku langsung mengarah pada sebuah buket besar diletakkan di sofa bertuliskan,
...Happy Wedding...
...Annisa ❤️ Wisnu...
Wajahku terasa menghangat membaca ucapan di kartu yang terselip di buket itu. Aku lalu menyusul Wisnu ke arah ruangan tidur di belakang dinding ruang tamu dalam kamar hotel itu. Tanpak kelopak mawar bertebaran saat kakiku melangkah menuju arah spring bed besar yang sudah dihias dengan handuk berbentuk sepasang angsa, lilin aroma terapi dan kelopak mawar berbentuk hati di atas ranjang, juga beberapa tangkai mawar merah di nakas.
Suasana di dalam kamar hotel itu benar-benar sangat romantis dan memang cocok untuk malam pengantin. Kembali wajahku menghangat saat mengingat tentang malam pengantin. Malam yang biasanya digunakan para pengantin baru untuk memadu kasih setelah resmi menjadi suami istri.
Aku melihat Wisnu masuk ke dalam kamar mandi, sementara aku melihat-lihat kamar hotel yang besarnya mungkin empat kali lipat dari kamar milikku.
Langkahku mendekat ke arah spring bed lalu mendudukinya. Ternyata benar-benar empuk, sama dengan spring bed yang dikirimkan keluarga Wisnu seminggu sebelum pernikahan kami. Namun tak lama aku kembali bangkit saat melihat Wisnu keluar dari kamar mandi dan telah berganti baju memakai piyama.
Aku juga hendak mengganti pakaian, ingin mengganti gamis yang kupakai dengan daster tidur. Aku mengambil daster juga handuk kecil juga sabun cuci muka untuk membersihkan sisa make up yang mungkin masih menempel meskipun tadi sudah dibersihkan oleh MUA.
Ketika masuk ke dalam kamar mandi,. mataku terbelalak melihat bathtub yang dipenuhi kelopak mawar di dalamnya. Sepertinya kamar ini benar-benar dipersiapkan untuk malam pengantin kami.
Sudut bibirku tak kuasa untuk tak ku bentuk dengan senyuman. Lagi-lagi membayangkan malam pengantin membuat bulu kudukku meremang. Bagaimana rasanya? Pasti akan malu melakukan hubungan intim dengan pria yang belum aku kenal dekat.
Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, lalu berganti pakaian, aku keluar dari kamar mandi, masih memakai penutup kepala. Terlihat Wisnu duduk di sofa santai di samping tempat tidur sambil memegang ponselnya.
Wisnu lalu menaruh ponselnya saat melihat kemunculanku dari kamar mandi. Dia lalu bangkit, namun menyuruhku duduk di tempat ia duduk tadi.
"Duduklah, ada yang ingin saya bicarakan." Suara Wisnu terdengar tegas dan dingin.
Entah apa yang ingin Wisnu bicarakan, yang pasti perasaanku sudah mulai merasakan sesuatu yang tidak enak.
"Dengar, Nissa. Saya harap kamu tidak berharap terlalu banyak dengan pernikahan kita ini. Saya tidak mencintai kamu, dan saya juga sudah mempunyai kekasih yang sangat saya cintai."
Hatiku seketika mencelos mendengar kata-kata Wisnu tadi. Sudah kuduga dari awal, jika Wisnu terlihat tidak senang dengan pernikahan kami.
"Saya menikahimu karena terpaksa, karena permintaan almarhum kakek dan paksaan orang tua saya."
Aku langsung menurunkan pandangan tak sanggup berkata-kata. Hanya memilin ujung jilbab panjangku, dengan perasaan yang tidak karuan.
"Pernikahan kita hanya sementara. Setelah satu tahun, kita akan berpisah. Tapi kamu tenang saja, selama satu tahun nanti, saya tidak akan menyentuhmu. Saya juga tidak akan memintamu melayani saya sebagai seorang istri. Jadi kamu tetap bisa menjaga kesucianmu. Jika suatu hari kamu akan menikah lagi dengan pria yang kamu cintai, kamu bisa menyerahkan kesucianmu pada suamimu yang baru."
Mataku seketika memanas, bahkan cairan bening seketika mengembun di bola mataku, dan siap untuk tumpah saat itu juga. Bukan diriku yang aku pikirkan saat ini, tapi keluargaku. Apa jadinya seandainya abah, abi dan umi tahu, kalau semua ini hanya pernikahan sandiwara? Kenapa Wisnu tega melakukan hal ini kepada kami. Jika dia tidak menginginkan menikah denganku, kenapa dia tidak menolaknya? Kenapa harus berpura-pura setuju dengan pernikahan ini.
*
*
*
Bersambung ...
lanjut kak
aku yakin sebenarnya wisnu tuh udah jatuh cinta sama anissa
pasti ingin saling mencintai bukan?
hasil dri di jodoh kan punya suami...