NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat ketika mendekati acara pernikahan akan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 28 - Pengakuan

Beranjak malam, aku tetap mengurung diri di kamar. Sekalipun jika Darius berbaur masuk, aku sekalipun tak menegurnya dan sebisa mungkin menghindari kontak mata.

Aku duduk meringkuk di atas sofa, sementara Darius entah berada di mana. Tapi sayup-sayup kudengar suara berdentang-denting dari dapur, mungkin dia sedang memasak sesuatu? Entahlah.

Sambil mengamati layar ponsel—menghapus beberapa pesan dan sisa-sisa foto yang menjadi kenanganku bersama Arjuna, mendadak atensiku beralih pada pintu yang diketuk beberapa kali.

Sekilas, aku diam. Tak menjawab. Tapi ketukan itu terdengar lagi, sedikit lebih lama kali ini.

“Kamu ... sudah makan?”

Keningku spontan mengerut kala mendengar suara itu. Suara yang masih asing, tapi juga pelan-pelan mulai kukenal di sela keheningan kami.

Suara Darius.

Aku tidak menjawab. Teringat obrolan malam kemarin. Dia yang menyudutkanku, menekanku dengan sikapnya yang sentimental itu, tetapi sekarang dia yang menegurku lebih dulu.

Tidak tahu apa tujuannya, tiba-tiba bersikap peduli setelah mengatakan bahwa dirinya sendiri enggan diperlakukan seperti itu olehku.

“Aku ... tadi masak sup. Kalau kamu mau, tinggal dihangatkan saja.”

Sejak kapan dia bisa masak? Selama ini—sependek yang kutahu, dia selalu pesan makanan sekalinya makan masakan rumahan itu karena aku yang memasaknya.

Aku hanya menatap pintu itu, lalu kembali menunduk ke layar ponsel yang sejenak membuatku lupa harus melakukan apa.

“Mari kita bicara, Soraya. Aku sadar ... aku salah.”

Sebentar aku merenung. Apa karena dia melihat mataku tadi? Yang sembab, meski berusaha kusembunyikan? Atau dia hanya merasa tidak enak, karena kami tinggal di atap yang sama tap memilih saling diam?

“Aku tidak lapar, Mas. Kamu makan duluan saja,” balasku dengan pelan, berharap dia bisa mendengarnya.

“Lupakan soal makan, aku benar-benar ingin mengajakmu bicara, Soraya,” katanya sedikit memaksa.

“Seberapa penting?”

“Tidak penting bagimu, tapi bagiku cukup penting.”

“Lain kali saja, biarkan aku sendiri sama seperti yang kita bahas malam kemarin,” balasku spontan.

“Itu sebabnya aku ingin bicara denganmu. Untuk membahas itu, Soraya.”

Aku menahan napas sebentar. Lalu dengan langkah lunglai menapaki lantai yang dingin, berjalan menuju pintu.

Saat pintu terbuka dan kami berhadapan, kulihat dengan jelas penampilan Darius yang bisa dikatakan kacau—tak terurus. Luka perban di tangannya tampak menguning, bercak darah menjadi penghias di sana, sementara rambut yang kusut itu dipadukan dengan tampang pucatnya.

“Kita bicara di meja makan,” ajaknya sambil berbalik badan, tak membiarkanku menunjukkan penolakan.

“Aku juga masak bubur,” ucapnya di sela langkah kaki.

Suaranya seperti seseorang yang sedang melangkah di atas pecahan kaca—hati-hati, takut menyakiti. “Kupikir kamu belum makan apa pun sejak tadi pagi.”

Dengan malas aku menjawab, “Aku sudah makan di luar.”

“Kamu tidak seperti biasanya,” katanya lagi usai duduk di kursi.

Aku terhenyak, mata kami bertaut beberapa detik sebelum akhirnya aku menarik kursi dan duduk di seberang Darius.

“Apa itu karenaku?”

Mataku berputar malas. “Tidak semua tentangku hanya berpusat padamu kan, Mas?”

“Bukan begitu, Soraya. Sejak percakapan kita malam kemarin, kamu terlihat berbeda. Aku sadar, aku salah. Aku tak sepantasnya—”

“Jika kamu beranggapan begitu, kamu salah. Aku hanya melakukan seperti yang kita sepakati. Kita hidup masing-masing tanpa perlu repot mencampuri urusan pribadi masing-masing di antara kita,” serobotku menjelaskan.

Namun Darius menggeleng, mata lelah itu menunjukkan maksud penolakan. “Aku tidak pernah meng-iyakan ataupun menyepakati tentang apa yang kamu maksud. Semalam aku hanya bingung.”

Punggungku bersandar pada kursi, membiarkan Darius bicara sepuasnya. Sementara aku mengamati, menunggu celah untuk bicara. Beberapa kali Darius memilin sesuatu di tangannya, dia tampak gelisah.

Dia menunduk. “Ketika kamu bertanya soal siapa perempuan yang kucintai ... untuk pertama kalinya aku merasa kehilangan. Entah, seakan aku baru menyadari perasaan itu.”

Mataku menyipit. Aku memang bukan pakar ekspresi, tetapi aku seakan bisa membaca gerak-geriknya itu: apa mungkin dia mulai menyadari atau mengingat bahwa tunangannya—Soraya, telah tiada?

Tapi jika merujuk pada ucapan Dipta, Darius tidak mungkin jatuh cinta pada Soraya. Namun, siapa yang tahu kebenarannya?

“Berjam-jam lamanya aku mencoba menggali jawaban tentang itu. Di sisi lain, aku seperti menyangkal bahwa aku sedang jatuh cinta. Tapi di lubuk hati paling terdalam, aku seperti dibuat lupa tentang siapa sosok perempuan yang aku cintai itu.”

Aku manggut-manggut, mencoba memberi respon. “Jadi, sederhananya kamu sedang jatuh cinta dengan seseorang tapi kamu lupa siapa orang itu?”

Darius menjentikkan jari, ekspresinya berubah makin serius. “Betul sekali. Aku tidak mengatakan bahwa aku lupa dengan seseorang itu. Karena anehnya, terkadang aku merasakan perasaan ‘jatuh cinta’ itu meski beberapa kali aku menampiknya.”

“Kapan dan pada siapa kamu merasakan perasaan semacam itu?” tanyaku kemudian.

Alih-alih langsung menjawab, justru Darius terdiam. Pandangannya menatapku ... dalam sekali. Entah apa yang dipikirkannya.

Aku bisa merasakan tatapannya dari seberang meja. Tidak tajam, tidak juga menuntut. Hanya diam … seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tak tahu harus mulai dari mana.

“Bagaimana, Mas?”

Aku menegurnya, berusaha mengaburkan lamunannya entah sedang hinggap di mana. Sesaat aku menatap mangkukku yang masih penuh, meski sudah cukup lama aku duduk di sini. Makan malam ini terasa hambar, bahkan sebelum aku menyentuhnya.

“Ah, tidak. Lupakan saja.”

Kulihat Darius sedang mengusap tengkuk, lalu beralih untuk menggosok-gosok wajahnya—gelagat khas orang frustasi.

Sontak aku melontarkan pertanyaan, “Lantas, kamu mengajakku bicara hanya untuk membahas soal itu, Mas? Yang bahkan aku saja tak tahu maksudmu mengatakan ini untuk apa?”

“Aku hanya tidak mau membuatmu salah paham soal ucapanku semalam, Soraya. Aku juga tidak bermaksud untuk masuk ke dalam urusan pribadimu. Sungguh. Aku hanya ingin kita menjalani kehidupan seperti biasanya.”

Alisku bertaut ketika mendengarnya. “Seperti biasa bagaimana?”

“Kita yang mengobrol, kamu yang menyempatkan untuk membuat masakan dan janjimu yang hendak menemaniku jadwal terapi,” ungkapnya.

Aku tidak langsung menjawab. Tidak tahu kenapa itu terdengar seperti bukan hal menyenangkan untuk dilakukan.

“Beberapa hari ke depan aku cukup sibuk, entah bisa mengobrol atau tidak seperti yang kamu minta. Begitupun dengan memasak, aku di sini bukan juru masak—yang seakan dituntut untuk memasak setiap harinya. Lalu soal menemani terapi, ya, aku akan meluangkan waktu,” paparku sambil mengaduk-aduk sup yang tampak tak berselera.

“Tidak masalah. Maksudku, asal jangan sengaja mendiamkanku. Soal makanan, aku tidak menuntutmu untuk memasak setiap hari. Hanya masaklah ketika kamu ingin. Besok siang, aku ada jadwal terapi, aku sangat berharap kamu bisa menemaniku,” katanya dengan nada rendah.

Begitulah percakapan kami berakhir, tepatnya bukan sengaja dia ataupun aku yang mengakhiri, tetapi karena dering teleponnya yang berbunyi. Darius mengangkatnya langsung dihadapanku, sehingga samar-samar aku bisa mendengar percakapan itu.

Suara seseorang di ujung telepon itu seakan tidak asing. Di sela tanganku yang mengaduk sup, aku menajamkan pendengaran.

“Besok? Aku sepertinya sibuk, Bu.”

“Bahkan untuk melongok ayahmu yang sekarat saja tidak punya waktu? Datanglah besok ke rumah sakit, sendirian saja. Tidak usah ajak istrimu itu.”

Aku bisa mendengarnya. Cukup jelas bahwa kecaman itu ditunjukkan padaku.

“Memangnya kenapa, Bu?”

“Tidak usah banyak tanya! Karena dia datang pun tidak akan berpengaruh apa-apa. Toh, kalian bersikukuh tetap tidak ingin memiliki anak bukan? Maka besok Ibu telah menyiapkan sesuatu untukmu, Darius.”

“... Sesuatu yang tak bisa kamu tolak lagi.”

***

1
范妮
Hai, nona bulan
aku mampir ..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!