Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.
Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.
Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.
Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.
Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 25 - Kebenaran yang Terkuak
“Kekasihmu?”
Aku menelan ludah.
“Temuilah dia, sudah kubilang aku tidak masalah ditinggal sendirian. Lagi pula demamku tidak setinggi tadi,” tambahnya lagi.
Mataku mengerjap, berusaha mencari alasan. “Hanya rekan dekat, kami punya beberapa urusan penting. Aku—”
Perkataanku terjeda ketika dering telepon yang nyaring memecah ketegangan. Segera aku menatap layar telepon, jantungku seakan berhenti berdetak beberapa saat tatkala membaca siapa penelepon di sana.
“Aku harus mengangkat telepon ini dulu,” ucapku sambil bergegas turun dari sofa, berderap menjauh menuju balkon.
Angin malam menyapu rambutku yang tergerai, membuat beberapa helainya menempel di wajah. Aku berdiri di atas balkon, menggenggam ponsel erat-erat seolah benda kecil ini bisa memberiku pegangan di tengah kecamuk yang entah datang dari mana.
Segera aku menempelkan benda pipih itu ke telinga. “Halo, seseorang di sana?”
Hening. Tak ada suara siapapun yang menyahut. Desau angin menggelitik ketika menyapa kulit yang telanjang.
“Hei, jangan main-main! Aku benar-benar perlu bertemu denganmu. Ini bukan demi keuntunganku, tetapi justru aku ingin meluruskan sesuatu yang memungkinkan ada hubungannya denganmu,” cerocosku dengan nada sedikit penuh penekanan.
Aku menggigit bibir, mencoba menahan gelisah yang sejak tadi mengendap di dada. Tangan kiriku memeluk tubuh sendiri, berusaha menghangatkan diri dari dingin malam yang menyusup masuk.
Suara yang kutunggu tak kunjung terdengar. Pria itu, Dipta, yang mendadak menelepon entah mengapa hanya membiarkan aku bicara sendiri. Padahal aku sudah mendesaknya untuk bicara, tapi seakan dia sengaja memilih membisu—seperti hanya ingin mempermainkanku.
“Apa kamu masih di situ?” tanyaku sambil memegangi erat pagar balkon yang teramat dingin.
“... Kalau memang hanya ingin bermain-main, aku bukan orang yang pantas kamu perlakukan seperti ini. Akan kumatikan teleponnya, jangan menye—”
“Tunggu!”
Aku nyaris menahan napas ketika mendengar suara tersebut. Hingga beberapa detik berlalu, terasa seperti selamanya, dia tidak melanjutkan ucapannya.
“Bagaimana?” tanyaku yang mulai geram, kakiku mengetuk-ngetuk lantai yang tak kalah dingin.
“Kamu adik Soraya, bukan?”
Kepalaku mengangguk meski dia tak melihatnya. “Benar, kamu pasti tahu siapa aku. Jadi, bagaimana?”
“Tenang dulu, mengapa kamu terburu-buru sekali?”
Aku berdecak sebal mendengarnya. “Bukan aku yang terburu-buru, tapi kamu yang terlampau lelet. Kamu tahu ini bukan sebuah masalah yang punya banyak waktu untuk menyelesaikannya.”
“Apa yang bisa aku lakukan untukmu, Nerissa?”
Mataku yang sempat terpejam langsung terbuka sempurna. Aku tidak pernah menduga jika dia tahu namaku, itu cukup mengejutkan.
“Mari bertemu. Kita tidak bisa membahasnya melalui telepon,” kataku akhirnya.
Terdengar helaan napas dari ujung telepon. Hening kembali menyergap di antara desir angin malam yang terasa semakin menusuk.
“Aku rasa tak perlu ada yang dibahas. Kematian Soraya adalah takdir. Aku sudah memaafkannya dan tetap mencintainya setelah apapun yang pernah dia lakukan padaku,” balasnya dengan suara yang terdengar hampir putus asa.
Mendengar penuturannya itu tentu aku terpekur sejenak. Apa maksudnya itu? Mengapa ucapannya barusan seakan Soraya telah melakukan suatu hal yang telah mengecewakan?
“Bagiku ada. Aku terjebak dalam kondisi yang pelik. Seperti dalam kondisi simalakama. Tak ada yang bisa aku perbuat selain mencari tahu dibalik masalah dan rahasia milik mendiang kakak angkatku,” jelasku setengah berbisik—khawatir Darius mendengarnya.
“Aku tidak yakin bisa membantumu,” jawabnya dengan nada tak acuh.
“Kenapa? Bukankah kamu kekasihnya? Kalian punya hubungan istimewa, kan? Aku yakin kamu pasti tahu suatu hal yang tak aku ketahui,” timpalku sedikit memaksa.
Hingga sebuah tawaan miris terdengar, aku menegang di tempat. Aku tidak tahu apakah aku terlalu mendesaknya—sementara aku tahu dia masih merasa kehilangan. Atau mungkin ... entahlah, ini terlalu rumit untuk diterka.
“Ada apa? Kamu bisa bicara apapun. Aku mengira hubungan kalian terlalu manis, tapi sayang harus berakhir tragis sebab kalian diminta berpisah ketika kakak angkatku sudah dijodohkan dengan pria lain,” kataku mencoba memberinya ruang untuk bicara.
“Bagaimana jika kukatakan bahwa bagian paling pahitnya bukanlah ketika dia akan menikah dengan pria lain?”
Aku terhenyak beberapa detik. “Me-mangnya ada hal yang lebih pahit dari itu?” tanyaku gugup.
“Aku bukanlah ayah biologis dari bayi yang dikandung Soraya,” ungkapnya yang berhasil membuatku terngaga tak percaya.
“Dan kamu tahu? Bahkan sudah tahu seperti itu pun, sampai detik ini aku akan tetap mencintainya. Aku tidak peduli siapa ayah dari bayi itu, dengan siapa dia berselingkuh dan tidur bersama ataupun pria mana yang sebenarnya dia cintai,” imbuhnya yang semakin membuatku terdiam.
Lututku terasa lemas. Tubuhku bercondong ke depan, kedua siku bertumpu pada pagar balkon. Perlahan aku memejamkan mata, meresapi kebingungan ini.
“Jadi, aku akan bilang bahwa aku tak mempunyai hal penting untuk dikatakan. Hubunganku dengan Soraya sudah terjalin sebelum dia diminta untuk menikah dengan pria lain. Selama itu pula aku mengabdi cinta padanya, bahkan sampai detik ini. Setidaknya aku hanya mampu mengatakan itu.”
Aku menarik napas pelan-pelan. “Oke, aku paham. Tapi setidaknya biarkan aku—”
“Tidak, Nerissa. Aku tidak mau terlibat dengan apapun atau siapapun yang seharusnya tak aku ketahui lagi. Aku sudah cukup dengan ini semua,” potongnya tanpa mau dibantah.
“Setidaknya jawab satu hal, apa mungkin ayah biologis dari bayi yang dikandung Soraya itu adalah Darius? Pria yang sudah bertunangan dengannya?” tanyaku buru-buru, takut dia menutup sambungan telepon tiba-tiba.
“Maksudmu pria dengan mulut ketusnya itu? Pria yang bahkan terlalu terang-terangan mengatakan dan bersumpah tidak akan menyentuh Soraya? Aku percaya dan bisa menjamin, dia memang tidak akan pernah mau dengan Soraya. Aku juga tahu dia adalah korban kejahatan keluarganya sendiri,” papar Dipta.
Aku menegapkan punggung kembali. “Kamu yakin dengan itu?”
Tidak bermaksud ingin meragukan karena alasan sesuatu atau apalah, aku hanya berpikir memangnya siapa lagi jika bukan Darius dan Dipta? Maksudku, seakan banyak sekali pria yang terikat benang merah dengan mendiang Soraya.
“Mereka tidak saling mencintai, Nerissa. Bahkan tidak mungkin bisa. Karena aku tahu ... siapa perempuan yang dicintai Darius,” balasnya terdengar penuh keyakinan.
Mulutku sudah terbuka, siap menyahut dengan rasa penasaran yang sudah sampai di kerongkongan. Tetapi suara nyaring yang berceceran seperti benda pecah yang jatuh membuatku urung.
“Aku rasa sudah cukup aku bicara. Jadi jangan menerorku untuk suatu hal yang tak bisa aku katakan lagi,” ucap Dipta sesaat sebelum sambungan telepon itu terputus.
Aku melenguh sambil mengusap wajah dengan kecewa. Mengantongi ponsel dan bergegas masuk ke dalam, memeriksa apa yang terjadi.
“Astaga, Mas?!” Aku menjerit ketika mendapati Darius yang setengah badannya tersungkur dari kasur, sementara beberapa pecahan beling tepat berceceran di lantai.
Sontak aku mendekatinya dengan hati-hati, hendak membantunya bangkit. Namun niat baikku sepertinya tak mendapat sambutan yang baik juga.
Persis ketika tanganku menggenggam pergelangan tangan itu, dengan sisa tenaganya ia menepisku—Darius lebih memilih beling tajam itu mengenai tangan dan sikunya ketimbang disentuh olehku.
“Kenapa, Mas? Aku niat membantu kamu malah begini, aneh sekali,” tanyaku dengan nada sedikit ketus.
Diam-diam kuamati dia yang mencoba kembali baring ke atas kasur. Darah segar di tengah cahaya remang ini masih bisa kulihat jelas, aromanya yang amis meruntuhkan egoku.
“Aku obati, ya.” Sempurna tubuhku berbalik, sedikit panik, buru-buru mencari kotak P3K.
“Tidak perlu. Ini bukan luka berat. Aku bisa mengobatinya sendiri. Kamu lanjut saja mengobrol, maaf jika tadi aku malah mengganggumu,” tuturnya sambil memasang wajah jutek—dia bahkan enggan menatapku.
Dahiku pun mengernyit. “Apa kamu mendengar obrolanku tadi, Mas?”
***