Aydin terhenyak, dunianya seakan tiba-tiba runtuh saat seorang gadis yang bahkan dia tak tahu namanya, mengaku sedang hamil anaknya.
Semua ini berawal dari sebuah ketidak sengajaan 3 bulan yang lalu. Saat diacara pesta ulang tahun salah satu temannya, dia menghabiskan malam panas dengan seorang gadis antah brantah yang tidak dia kenal.
"Kenapa baru bilang sekarang, ini sudah 3 bulan," Aydin berdecak frustasi. Sebagai seorang dokter, dia sangat tahu resiko menggugurkan kandungan yang usianya sudah 3 bulan.
"Ya mana aku tahu kalau aku hamil," sahut gadis bernama Alula.
"Bodoh! Apa kau tak tahu jika apa yang kita lakukan malam itu, bisa menghasilkan janin?"
"Gak udah ngatain aku bodoh. Kalau Mas Dokter pinter, cepat cari solusi untuk masalah ini. Malu sama jas putihnya kalau gak bisa nyari solusi." Jawaban menyebalkan itu membuat Aydin makin fruatasi. Bisa-bisanya dia melakukan kesalahan dengan gadis ingusan yang otaknya kosong.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KE RUMAH CALON MERTUA
Alula menggigit bibir bawahnya. Kakinya tak bisa berhenti bergerak, begitupun dengan jantungnya, berdebar tak karuan. Beberapa kali dia terdengar mendecak dan membuang nafas kasar. Aydin yang duduk disebelahnya, beberapa kali menoleh. Meski tak bicara apapun, tapi dia tahu jika saat ini, Alula gugup.
"Masih jauh?" tanya Alula sambil menoleh kearah Aydin yang sedang menyetir.
"Lumayan."
"Saya boleh muter musik gak?"
"Silakan."
Alula segera menyalakan radio yang ada didalam mobil. Mencari saluran yang lagunya kira-kira bisa menenangkan hatinya. Sumpah, saat ini dia gugup setengah mati. Tak pernah membayangkan sebelumnya, jika akan secepat ini dia bertemu calon mertua. Padahal dalam anggannya, masih 5 atau bahkan 10 tahun lagi dia akan menikah. Tapi sepertinya, Tuhan mempertemukan dia dengan jodoh lebih cepat dari perkiraan.
Pengennya denger lagu yang happy, yang semangat, eh...nemunya lagu melow terus.
"Kenapa dimatiin?" tanya Aydin.
"Lagunya gak ada yang enak," sahut Alula sambil menyandarkan punggung.
"Kamu gugup?"
"Enggak. Ya iyalah, masa enggak," dia langsung ngegas ditanya seperti itu.
"Jawabnya biasa aja kali, gak usah ngegas gitu," geram Aydin. Padahal niatnya baik, pengen sedikit membantu mengurangi kegugupan, tapi malah disemprot.
"Ya lagian, udah tahu orang gugup, masih ditanya."
Suasana kembali hening. Tak ada obrolan, suara radio, atau apapun. Aydin sudah malah mau mengajak bicara, takut disemprot lagi.
"Mas dokter."
"APA!"
Alula reflek memegang dadanya mendengar sahutan Aydin yang super ngegas.
"Habis nelen LPG?" Alula mengerutkan kening. Padahal tadi mau nanya masih jauh gak, jadi batal, takut jawabnya makin parah, kayak semburan api dari mulutnya naga.
Alula terkesiap saat mobil yang dia tumpangi berbelok ke area perumahan. "Udah deket ya?"
"Udah sampai."
"Astaga, tadi bilangnya masih jauh." Dia mendadak belingsatan tak karuan. Nengok kanan, kiri, depan, belakang. Belum pernah dia segugup ini sebelumnya.
"Santai, orang tuaku gak makan orang, gak doyan."
"Doyannya apa?" dengan bodohnya, Alula malah tanya seperti itu.
"Doyannya martabak."
"Mas dokter kok gak bilang dari tadi sih," rengek Alula sambil memegangi lengan Aydin. "Tahu gitukan kita tadi mampir dulu beli martabak." Melihat Aydin menatap tangannya yang ada lengan pria itu, buru-buru Alula melepaskannya. "Sorry."
"Kamu pikir lagi silaturahmi, pakai bawa martabak. Yang mau kita omongin, lebih serius daripada sekedar silaturahmi."
"Apa nanti, mereka akan marah-marah sama Lula?"
"Kita lihat saja nanti," sahut Aydin sambil membelokkan mobilnya ke halaman rumah yang kebetulan pagarnya sedang terbuka.
Alula menatap rumah dihadapannya. Tak kecil, tapi juga tak terlalu mewah. Bisa dibilang, masih bagusan rumahnya. "Ini rumah Mas dokter?"
"Bukan."
"Lha terus ngapain kita belok kesini," geram Alula.
Aydin mematikan mesin mobil. Menghela nafas dalam lalu membuangnya perlahan. Urusan sama ABG memang ribet. Ngomongnya selalu ngegas dan pikirannya masih labil. "Ini rumah orang tuaku."
"Tadi bilangnya bukan." Alula sedikit melotot, kesal karena merasa dikerjain.
"Tadi kamu nanyanya apa ini rumahku? Ya aku jawab bukanlah. Aku belum punya rumah. Makanya nanti kalau udah nikah, ngirit, biar kita bisa segera beli rumah," sahut Aydin sambil melepas seatbelt.
"Nanti aku bilangin Papa, biar kita dibeliin rumah," ujar Alula santai. Beda dengan Aydin, pria itu seketika menatap Alula dengan mulut sedikit terbuka. Sumpah, bingung dengan apa yang ada diotak ABG labil didepannya itu. "Ke-kenapa ngeliatin aku kayak gitu?" Alula merasa ada yang salah.
Aydin menepuk dahinya sendiri. Sumpah, kalau tidak karena janin yang ada diperut Alula, ogah dia berurusan dengan gadis bodoh itu.
"Aku gak dihajar sama Papa kamu aja, udah untung. Masih ngarep mau dibeliin rumah? Sepertinya otak kamu sudah konslet." Alula mendengus sebal dikatain seperti itu. "Mau turun apa tetap disitu?" tanya Aydin yang sudah membuka pintu.
"Boleh gak, tetep disini saja." Pelototan Aydin membuat Alula buru-buru melepas seatbelt. "Iya, iya, aku turun. Galak banget sih," gerutunya.
Kedua berjalan beriringan menuju pintu masuk. Berkali-kali Alula menarik nafas dalam dan membuangnya perlahan untuk mengurangi kegugupan. Namun sepertinya, cara itu sama sekali tak efektif. Buktinya bukannya tenang, yang ada jantungnya makin terpacu dengan semakin dekatnya dia dengan pintu masuk.
Saat Aydin hendak membuka pintu, Alula reflek memegangi lengannya. Lupa kalau tadi udah dipelototin gara-gara pegang lengan. "Ada apa?"
"Aku takut."
Melihat wajah pias cewek itu, Aydin kasihan juga. "Mereka gak akan marah sama kamu, tenang aja."
"Tapi..."
"Tapi sudah terlambat untuk putar balik." Aydin membuka pintu lalu menarik Alula masuk. Tangan gadis itu terasa sangat dingin. "Duduklah disana, aku panggilkan orang tuaku." Setelah memastikan Alula duduk disofa ruang tamunya, Aydin masuk kedalam.
Alula memperhatikan sekeliling ruangan. Sesekali tangannya meremat sofa empuk yang dia duduki. Mungkin jika dikenalkan secara wajar pada calon mertua, dia tak akan segugup ini. Tapi masalahnya, dia dalam posisi hamil. Bagaimana kalau nanti, orang tua Aydin malah mengoloknya, mengatainya wanita murahan. Dan yang paling parah, bagaimana jika mereka tak setuju Aydin menikahinya. Astaga, jika itu benar terjadi, akan makin runyam hidupnya.
"Lula."
Alula yang sedang menunduk langsung mengangkat wajah mendengar seseorang memanggilnya. "Al." Dia kaget bertemu Al di rumah ini.
"Kok lo ada disini?" Al yang baru pulang dari minimarket setelah disuruh mamanya membeli sesuatu, terkejut mendapati Alula tiba-tiba ada di ruang tamu rumahnya. "Kok lo tahu alamat rumah gue?" Cowok itu garuk-garuk kepala, ditangannya ada keresek bertuliskan nama salah satu minimarket.
Rumah gue? Alula langsung lemas mendengar Alfath menyebut ini rumahnya. Setelah dia perhatikan, Alfath mirip dengan Dokter Aydin. Astaga, kenapa dia baru nggeh hari ini. Jangan-jangan, Dokter Aydin adalah kakak Al. Alfath pernah cerita kalau kakaknya dokter. Sejak Alfath menyatakan cinta kemarin saja, dia sudah merasa canggung saat bertemu cowok itu. Apalagi nanti, saat Alfath benar menjadi adik iparnya, akan secanggung apa hubungan keduanya.
"Ada apa, La?" Alfath mendekati Alula. Dia yakin ada sesuatu jika Alula sampai datang ke rumahnya, mencari dia.
"Gue...." Alula bingung harus menjawab apa.
"Pasti ada sesuatu yang seriuskan, sampai lo bela-belain datang ke rumah gue?" Alfath mulai berfikir, mungkinkah pria yang menghamilinya tak mau tanggung jawab sampai cewek itu nekat mencarinya ke rumah. Memutuskan untuk menerima tawarannya menikahinya? "Ngomong aja, La."
"Ini orangnya, Mah." Alula dan Alfath langsung menoleh mendengar suara Aydin. Ternyata pria itu muncul dari dalam bersama kedua orang tuanya.
"Se-selamat pagi Om, Tante," sapa Alula.
"Jadi ini yang namanya Alula, cantik sekali," puji Mama Nara sembari mendekatika Alula. Dan cewek itu, dengan tangan sedikit gemetar, mencium punggung tangan calon mertuanya.
Alfath, cowok itu masih bergeming. Bingung kenapa Mamanya sudah tahu nama Alula. Apa jangan-jangan, tadi Alula sudah menyebutkan namanya pada pembantu yang membukakan pintu?
"Gak usah terlalu tegang, santai saja." Ujar Mama Nara yang merasakan dinginnya tangan Alula.
Melihat Ayah Septian mendekat, Alula ganti mencium tangannya.
"Oh iya, udah kenalan belum tadi. Ini Alfath, adiknya Aydin," Ayah Septian menunjuk kearah Alfath.
Alfath makin bingung. Jika Alula datang mencarinya, kenapa orang tuanya malah memperkenalkan dia sebagai adiknya Bang Ay. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Al, kok bengong aja," Mama Nara menyentuh lengan anak bungsunya tersebut. "Kenalan dulu dong sama calon kakak ipar kamu."