Cinta beda agama membuat Wafa menjadi bimbang sendiri. Wanita ini jatuh cinta dengan seorang duda yang memiliki agama, latar belakang dan segalanya yang berbeda.
"Aku tidak bisa mengambilmu dari Tuhan-mu. Tapi, jika memang kau adalah takdirku, aku akan berusaha untuk mendapatkan dirimu, meski sainganku adalah Penciptamu." Ujar Bian.
Apakah cinta beda agama ini akan bisa bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhewhy M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengalah
Sementara itu, Bian juga merasa tersenyum senang karena bertemu dengan Wafa. Dia terus menatap foto profil yang ada di kontak teleponnya.
"Senyumannya begitu manis," batin Bian.
"Eh, ada apa denganku? Kenapa aku memikirkan dia?"
***
Setelah lima belas menit, Inneke menghentikan mobilnya. Mereka berhenti tepat di mana Qia jalanan pagi tadi. Namun sayangnya, Qia sudah tidak ada di sana. Bahkan, gerobaknya saja juga sudah tidak ada.
"Kemana dia pergi? Apa dia hanya jualan di pagi hari saja?" ujar Wafa.
"Selama aku lewati jalanan yang ini, Aku tidak pernah melihat dia jualan. Apakah hari ini adalah hasil pertamanya jualan nasi uduk?" Inneke pun ikut berpikir.
"Aku sudah memberikan nomorku kepadanya. Tapi kenapa dia tidak menghubungiku, ya?" sahut Wafa.
"Apa dia sengaja mau menghindar dari kita lagi? Tapi apa alasan dia menghindari kita? Bukankah kita selama ini baik-baik saja, ya?" timpal Inneke.
Wafa bingung mau bagaimana. Masih ada yang membuatnya bingung dengan masalah yang bertambah banyak. Dari biaya persalinan Vita, ajakan kencan Bian sampai bagaimana caranya anak-anaknya makan untuk bulan depan. Jika kebun dan Empang yang dimiliki Wafa belum panen juga di akhir bulan, maka pemasukan akan menipis.
"Ya sudahlah, kita pulang saja. Hari ini aku mau traktir kamu makan, bagaimana? Mau tidak?" Inneke menawarkan diri.
"Ck, masih saja di tanya. Orang kalau mau traktir ya traktir aja, nggak usah tanya mau atau tidaknya. Ayolah!" seru Wafa.
Sore itu, hanya berakhir di situ saja. Wafa tidak menemukan sahabatnya lagi yang lama menghilang. Tapi, Wafa selalu ingin mencari informasi Qia lewat beberapa teman-teman sekolahnya yang lain.
***
Malam sebelum acara di pesantren, Wafa sedang makan malam bersama dengan Abi dan kakaknya. Wafa masih terlihat kebingungan dan hanya diam saja ketika duduk bersama dengan Abi dan kakaknya di ruang tengah.
"Wafa," panggil Sari.
"Wafa! Astaghfirullah hal'adzim, Wafa!"
Sari merasa gemas sendiri melihat adiknya yang tidak langsung menyahut panggilannya. Mau tidak mau Sari pun membentaknya. Ketika namanya dipanggil dengan sentakan, Wafa hanya menatap Sari dengan tatapan tak bersamanya.
"Kamu kenapa, sih?" tanya Sari kala Wafa menatapnya.
"Alhamdulillah, I'm fine, thanks," jawab Wafa.
"Wafa, kalau kamu ada masalah cerita, doang, ke keluarga. Jangan seperti ini," ucap Sari khawatir dengan adiknya.
"Um, kita juga tidak tahu apa yang kamu alami jika kamu tidak menceritakan kepada kita apa yang terjadi kepadamu. Siapa tahu, Abi dan Mbak bisa kasih solusi atas masalah yang kamu hadapi itu," lanjut Sari.
Wafa menghela nafas panjang.
"Abi. Abi tahu tidak, pemilik dari pabrik yang mau dibangun di sebelah tanah milik Wafa di pinggir jalan itu?" tanya Wafa.
"Tahu, Abi—ah, iya. Kemarin asistennya pemilik pabrik itu katanya datang ke pesantren. Mau membahas ahas tentang tanah kamu itu, Nduk. Jadi tanahmu itu mau disewa juga menjadi lahan parkir," ungkap Kyai.
"Serius, Bi?" Wafa menjadi sedikit bersemangat.
"Serius, si Ahmadi tadi yang bilang. Besok pagi, katanya pemilik pabrik itu mau datang ke rumah. Jika tidak ada kuliah, lebih baik kamu sendiri yang menemui beliau," jelas Kyai.
"Alhamdulillah, semoga saja deal. Wafa sedang butuh banyak uang, Bi. Ini pasti juga rezeki anaknya Vita!" senyum manis terpancar dari wajah ayu Wafa.
"Dia sudah lahiran? Bagaimana? Apa kamu kekurangan dana buat bayar lahirannya?" tanya Sari.
"Alhamdulillah, sih, tidak. Tapi ya … Memang harus butuh banyak uang untuk anak-anak yang lain makan dan kebutuhan lainnya, karena tabungan aku sudah terkuras habis buat biaya persalinan Mbak Vita," ungkap Wafa, semangat makan.
"Tidak bisa dipungkiri karena biaya operasi caesar itu pasti mahal. Tapi mbak bisa, kok, kirim uang ke kamu. Semoga saja uang ini cukup untuk beberapa minggu kedepan," Sari mengeluarkan ponselnya dan mengirim sejumlah uang ke rekening yayasan.
Kyai merasa senang dan bangga melihat kedua putrinya memiliki tingkat sosialisasi yang tinggi. Di yayasan itu, terdapat beberapa anak yatim piatu juga. Kyai bangga dengan kedua anaknya yang selalu memuliakan anak-anak yang sudah tidak bisa mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya lagi.
"Nanti jika tanah milik almarhum Umi sudah terjual, sebagian Abi juga akan transfer ke rekening yayasan. Sebagian juga dibagi ke rekening kalian berdua," kata Kyai di dalam kesunyian makan malam, malam itu.
"Sebaiknya uang bagian Wafa, Abi gunakan untuk tambahan pembangunan gedung baru saja di pesantren. Wafa belum membutuhkan uang, Abi," usul Wafa. "Bukan takabur, tapi kan Wafa juga punya pendapatan sendiri," imbuhnya.
"Tapi itu kak hak kamu, Nduk. Harta ibumu, adalah milikmu. Bukan milik pesantren. Jadi, Abi tetap akan transfer ke rekening kalian berdua. Jangan pikirkan tentang pembangunan gedung, hm?" tutur Kyai.
Tapi, di saat itu Wafa kepikiran tentang Sari yang bukan anak kandung Ibunya juga. Aslinya tidak berhak atas uang penjualan tanah Ibunya Wafa. Tapi, menghindari rasa iri, Wafa pun mengikhlaskan sebagian hasil penjualan itu kepada Sari.
"Bagaimanapun juga, Mbak Sari sudah dianggap seperti anak kandung sendiri oleh Abi. Mbak Sari ini kan juga anaknya dari Kakak Umi. Jadi tidak ada salahnya jika Mbak Sari juga menikmati harta milik Umi," batin Wafa.
Saat sibuk menghabiskan makan, Wafa terkejut ketika mendapatkan pesan dari Bian. Sampai dia menjadi tersedak dan mengejutkan Abi dan kakaknya.
Uhuk … Uhuk …
"Pedes!" teriak Wafa.
"Kamu ini kenapa, sih?" tanya Sari, dengan memberikan segelas air putih. "Ada hal apa yang membuat kamu terkejut seperti itu? Sampai tersedak, loh!" imbuh Sari.
"Nduk, bagaimana? Apa masih sakit tenggorokannya?" tanya Abi.
Wafa hanya menggeleng kepala dan menghabiskan makannya dengan cepat. Tanpa bicara sepatah katapun, membuat Sari dan Abinya penasaran.
"Haduh, ini om-om juga ngapain mengirim pesan jam segini," gumam Wafa dalam hati.
"Wafa," panggil Sari.
"Hm?" jawab Wafa.
"Apa yang kamu lihat di ponselmu itu? Kenapa kamu sampai melotot seperti itu? Apa Mbak bisa ikut lihat?" tanya Sari.
"Um, ini tidak penting. Mbak Nur, me-mengirim foto alay-nya dengan tukang nasi goreng keliling itu. Hehe, iya, itu," jawab Wafa gugup.
"Tapi Mbak merasa tidak seperti itu. Apa ada yang kamu sembunyikan dari Mbak dan Abi?" Sari terus mendesak. Membuat Kyai juga menjadi penasaran.
"Kalian nanti akan tahu. Tapi tidak untuk saat ini untukku menjelaskannya. Aku kenyang, dan mau istirahat lebih awal. Maaf mbak Sari, aku tidak bisa membantu Mbak mencuci piring. Abi, mbak, Selamat malam dan assalamu'alaikum," pamit Wafa lirih, mencuci tangannya langsung masuk ke kamarnya.
Selama hidup, Sari memang selalu tegas dengan Wafa. Usianya memang hanya selisih tiga tahun. Tapi Sari memang pemikirannya dewasa yang seolah dirinya bisa menjadi seorang ibu bagi Wafa yang selalu kekanak-kanakan jika kumat mode manjanya.
ya Allah sungguh egois, walaupun itu pemilik pondok tapi jika apa yang dilakukan anaknya saja dipersulit maka jika anaknya sendiri membangkang ya jangan salahkan anaknya dong
salahkan sendiri Abi, aku tau karena aku dididik memilih dg pilihan yang aku inginkan dg tanggungjawab yg aku pilih, dibebaskan memilih itu tak hanya untuk kita belajar tanggungjawab tapi juga jalan yang diberkahi
sukses kak Dhewhy