Cinta Dari Mas Duda
Suara hujan rintik-rintik bersahut-sahutan dengan suara anak-anak sedang mengaji di sebuah pesantren, memang terdengar begitu merdu serta meneduhkan hati. Apalagi, suara seorang gadis yang sedang tadarusan bersama dengan santri lainnya.
Suasana desa di sore hari itu juga membuat semua orang seakan malas untuk keluar rumah. Jalanan yang masih becek karena hanya jalanan bebatuan, membuat orang semakin enggan untuk bepergian di waktu hujan.
Namun, tidak dengan gadis muda berusia 20 tahun berparas cantik. Gadis ini sibuk kesana-kemari membawa buku-buku banyak menggunakan keranjang yang diletakkan di sepeda ontelnya.
Namanya, Wafa Thahirah. Gadis yang masih kuliah di jurusan pendidikan agama ini memiliki paras ayu dan menawan. Orang lain mengatakan, jika paras ayu Wafa, seperti bayangan sosok Dewi Shinta.
Dewi Shinta digambarkan sebagai wanita yang cantik, mempesona, seksi, perkasa dan sopan. Dia juga pintar nembang nyanyi Jawa dan suka membaca cerita. Begitu juga dengan Wafa, memiliki wajah cantik cantik dan suara yang merdu kala melantunkan sholawat maupun tadarus Al-Qur'an.
Sama halnya dengan sikap dan karakter Dewi Shinta, Wafa rupanya juga kesayangan Ayahnya. Persis dengan sosok putri Dewi Shinta ini yang menjadi kesayangan Prabu Dasamuka.
***
"Loh, Mbak Wafa ini apa ndak males gitu, ya? Wong hujan-hujanan begini, mbok, ya, besok saja nganter buku-bukunya ke rumah bacanya," ucap seorang wanita paruh baya.
Wanita itu adalah pengurus rumah baca sekaligus pengurus yayasan yatim piatu yang didirikan oleh Wafa sendiri ketika usianya menginjak 12 tahun. Dimana saat itu, sang ayah menanyakan hadiah apa untuknya karena sudah berhasil menghafal Al-Qur'an.
Dia adalah Mbak Nur Rokhimah, biasa dipanggil dengan sebutan Mbak Nur. Wanita berusia sekitar hampir 25 tahunan dan belum menikah. Pertemuannya dengan Wafa, sekitar 12 tahun kala dirinya menjadi santri di pondok pesantren milik ayahnya.
"Mbak Nur, pekerjaan itu harus segera dituntaskan. Jika ditunda terus-menerus, ya ... jadinya tidak akan pernah selesai. Lalu, pekerjaan lainnya pun juga bakal terhambat, dong!" kata Wafa dengan suaranya yang lembut.
"Hoalah, benar juga. Masya Allah, aku harus belajar banyak dari Mbak Wafa ini," celetuk Mbak Nur.
"Hahaha, Mbak Nur mah ada-ada saja. Ayo, dong, dibantuin!" seru Wafa. "Ekhem, masa iya Mbak Nur tega melihat gadis mungil seperti saya ini angkat-angkat sendirian."
Canda tawa itu berlangsung selama Wafa ada di sana. Selain dengan seorang lelaki, memang Wafa ini terkenal dengan keramahan dan lelucon-lelucon yang ia lontarkan setiap berbicara. Itu sebabnya banyak sekali anak-anak kecil yang menyukai Wafa.
"Mbak Wafa ini umur berapa, sih?" tanya mbak Nur heran.
"Loh, nanya umur to? Mbak Nur meniko ajeng maringi kado nopo? Utawa Mbak Nur malah pengen traktir saya makan? Hayo, pilih sik pundi?" jawab Wafa dengan wajah yang sok serius, tapi juga ingin tertawa.
"Haha, Mbak Wafa kalau sudah keluar bahasa Jawanya bikin aku ketawa terus, loh!" kata Mbak Nur. "Kenapa Mbak Wafa ini ndak ikutan Kakaknya pergi ke luar negeri, toh, buat cari ilmu, gitu?" lanjutnya.
Wafa pun tersenyum.
"Mbak Nur, sini tak tuturi," Wafa melambaikan tangannya seakan dirinya ingin membisikkan sesuatu kepada Mbak Nur.
"Iyo," jawab Mbak Nur lirih.
"Ilmu itu bisa didapat di mana saja. Mbak Sari, kan ... sudah berangkat ke luar negeri. Jadi, buat apa lagi saya pergi juga? Saya bisa belajar dengan Mbak Sari, kok," lanjut Wafa.
"Loh, itu beda, Mbak!" sela Mbak Nur dengan suaranya yang lantang.
"Bedanya dimana, Mbak Nur? Sama saja, lho. Mbak Sari pergi, terus pulang bawa ilmu. Kemudian, ilmunya juga ditransfer ke saya. Jadi untuk apa saya berangkat kesana gitu?" Wafa memang selalu mengelak jika ditanya tentang mengapa dirinya tidak mau berangkat keluar negeri untuk belajar.
"Mbak Wafa ini dari dulu selalu mengalah. Mengapa soal pendidikan juga harus mengalah? Padahal yang anak kandung itu Mbak Wafa, bukan Mbak Sari!" Mbak Nur malah keceplosan ketika bicara.
Selama 20 hidup, memang Wafa maupun Sari tidak tahu jika mereka bukanlah kakak dan adik kandung. Sari adalah anak dari kakak Kyai yang meninggal ketika kecelakaan. Lalu, ketika Sari masih bayi merah, barulah Kyai dan sang istri yang merawatnya.
Kakak kandung Wafa sebenarnya laki-laki, tapi meninggal dunia karena sakit. Tidak tega melihat Sari menjadi yatim piatu, di saat yang sama juga memang putra pertama Kyai meninggal di usianya yang hanya selisih dua bulan dengan kakak kandung Wafa, jadi Sari pun diangkat menjadi anak dan diasuh layaknya anak kandung. Apalagi, selisih dua bulan itu pun yang membuat Sari disusui bersama oleh Ibu Wafa.
"Mbak Nur kalau ngomong jangan seperti itu. Jangan nakut-nakutin ah!" seru Wafa.
"Um, anggap saja Mbak Nur memang asal ngomong, hehehe ..." Mbak Nur langsung sibuk menata buku lain.
Wafa menghentikan aktivitasnya dan memandang mbak Nur dengan tatapan tajam. Tatapan mata Wafa semakin terlihat tegas disertai dengan kilat sore itu.
"Mbak Nur, saya sudah terlanjur tahu, loh, ini. Misal saya cari tahu sendiri, apa Mbak Nur mampu mempertanggungjawabkan apa yang Mbak Nur bilang sebelumnya? Keceplosan? Itu pasti ada kisah dibalik keceplosan tersebut, bukan?" Wafa memang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi.
Mbak Nur terkekeh. Memang tidak bisa menyembunyikan apapun kepada Wafa, jika sudah terlanjur mengatakannya. Mbak Nur pun terpaksa menceritakan hal yang tak seharusnya dia ceritakan kepada Wafa.
Mengetahui kenyataan yang seharusnya belum ia ketahui, membuat Wafa sedih. Bukan sedih karena sang abi lebih menyayangi Sari, kakaknya. Melainkan sedih karena ternyata Sari sudah menjadi yatim piatu sejak kecil. Wafa pun tidak heran lagi jika abinya sangat menyayangi Sari.
"Haduh, mbak Wafa tidak marah, to?" tanya Mbak Nur.
"Loh, kenapa saya harus marah, Mbak?" tanya Wafa balik.
"Ya, kan … Mbak Wafa sudah tahu kisahnya Mbak Sari. Kenapa tidak marah? Kyai juga sangat menyayangi Mbak Sari lebih dari menyayangi Mbak Wafa, kok!" seru Mbak Nur.
Wafa tersenyum. "Sudahlah, ayo bantu lagi. Hujan malah tambah deras seperti ini. Takutnya ... anak-anak nanti malah semakin malas mengaji jika kita terus mengobrol di sini, Mbak!" tegasnya.
"Hehehe, ayo lah nek ngono," jawab mbak Nur cengengesan seperti biasa. (Ayolah kalau begitu)
Setelah selesai menata ulang buku dan kitab di ruang baca, Wafa pun berniat ingin pulang terlebih dahulu. Tapi ditahan oleh Mbak Nur saat itu, karena Mbak Nur merasa berbahaya jika Wafa pulang menerjang hujan begitu deras disertai dengan angin yang kencang.
"Mbak Nur ini, loh! Saya mau pulang, ini juga, kan,.sudah mau maghrib. Bagaimana jika nanti Abi mencari saya?" Wafa bertanya.
"Haduh, mbok, ya, tunggu saja dulu, Mbak Wafa. Mbak Wafa kan bisa maghrib di sini bareng anak-anak!" seru Mbak Nur bersikeras menahan langkah Wafa.
Ketika keduanya sedang berdebat masalah hujan, ponsel Wafa berdering dan tersemat nama Abinya yang saat itu menelponnya. "Abi," ucap Wafa lirih.
"Yo dijawab, to, Mbak. Di bell, gitu, kok!" bisik Mbak Nur.
Wafa mencari tempat yang tidak berisik karena air hujan. Gadis muda berusia 20 tahunan itu pun masuk ke ruangannya di yayasan yatim piatu miliknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Hasrie Bakrie
Assalamualaikum wr wb aq ijin mampir ya thor
2023-01-17
0
Hasrie Bakrie
Assalamualaikum wr wb aq ijin mampir ya thor
2023-01-17
0