Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Curiga
Leon berdiri. Tegap. Tenang.
“Saya rasa cukup untuk malam ini. Materi lain bisa kami kirim besok lewat email.”
David berdiri, sedikit terburu-buru, seolah baru tersadar siapa sebenarnya yang menjadi pusat perhatian di ruangan itu.
“Oh, tentu. Terima kasih atas kehadirannya, Tuan Leon.”
Leon mengangguk sopan. “Sama-sama. Dan, terima kasih atas jamuannya. Saya harap... ini bukan pertemuan terakhir kita.”
Tatapannya, untuk sepersekian detik, kembali ke Ghea. Tapi kali ini... tak ada tantangan. Tak ada godaan. Hanya sorot seperti seorang pria yang berkata:
"Aku melihatmu. Kau tahu aku bisa lebih dari ini."
Lalu ia berbalik dan melangkah pergi.
Tessa masih memandangi punggung Leon seperti remaja yang baru disapa idola.
David hanya bisa menghela napas.
Ghea menunduk, menatap meja, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama... ia merasa dilihat sebagai manusia, bukan sekadar istri. Tapi bukan oleh suaminya.
Pertemuan bisnis telah usai. Tapi yang tersisa bukan hanya laporan dan angka. Ada yang lebih tajam, lebih sunyi… dan perlahan mulai menggerogoti.
Perang emosional. Dan malam ini baru pembukaan panggungnya.
Di meja makan, suasana menegang dengan cara yang tak kasat mata. Lampu kristal menggantung di atas kepala, memantulkan cahaya lembut ke permukaan gelas-gelas anggur yang mulai setengah kosong.
Ghea masih duduk anggun. Bahunya tegak, senyum tipis menghiasi wajahnya. Tapi matanya tak memantulkan cahaya yang sama.
David tampak gelisah. Tessa... matanya masih mengarah pada pintu yang baru saja menutup, seolah berharap pria itu kembali sekadar untuk melihatnya sekali lagi.
Ghea mengangkat gelas anggurnya. Gerakannya pelan. Penuh perhitungan. Ia menyesap sedikit, sebelum memandang Tessa sambil meletakkan gelas kembali di atas meja.
“Menarik, ya?” ucapnya pelan, nyaris seperti angin yang menyusup dari jendela tua. “Jarang ada pria yang bisa bikin seorang sekretaris lupa napas... hanya dalam lima menit.”
Tessa tersedak. Sedikit. Tapi cukup untuk membuat David menoleh cepat.
“Tessa memang... kadang-kadang terlalu mudah terpukau,” ujar David. Nadanya dibuat santai, tapi tajamnya tetap terdengar.
Ghea menoleh perlahan. Matanya bertemu milik David.
“Oh, jadi kau sadar?”
Suaranya lembut. Tapi seperti pisau yang sudah diasah semalaman.
David terdiam. Tak benar-benar paham makna di balik tatapan istrinya. Tapi Ghea tak butuh penjelasan. Ia sudah tahu.
Tessa terkekeh gugup, mencoba menyelamatkan suasana. “Saya hanya... terkesan profesionalismenya, Nyonya.”
Ghea menatap gelasnya sejenak. Lalu berkata pelan, seolah pada dirinya sendiri.
“Ya. Pria seperti itu memang mudah membuat orang lupa diri. Tapi jangan sampai memengaruhi kinerjamu.”
Tatapannya naik. Menatap langsung ke mata Tessa. Dingin tapi elegan.
“Aku tidak ingin perusahaan orang tuaku bangkrut hanya karena karyawan yang mudah kagum dan tak fokus.”
Tessa mengepalkan tangan di bawah meja. Sekilas wajahnya menegang.
"Tunggu saja, Ghea. Saat David menguasai semuanya, kau bukan siapa-siapa."
David hendak angkat suara, tapi Ghea menatapnya sekilas. Satu detik yang cukup untuk membuatnya urung bicara.
David akhirnya berdiri, berdeham kecil.
“Aku rasa aku harus kembali ke kantor. Ada dokumen yang belum selesai.”
Suara David datar, tapi ada gugup terselip di sela-sela katanya. Ghea hanya tersenyum tipis.
“Ah, tentu. Sepertinya memang ada hal yang sangat... mendesak untuk diselesaikan.”
Ia meraih clutch-nya, berdiri dengan elegan. Tapi sebelum melangkah pergi, ia memandang David, lalu Tessa. Ada lelah di sana. Tapi juga kekuatan yang tak tergoyahkan.
“Aku bisa pulang sendiri. Tak usah khawatir. Sekretarismu sepertinya cukup bisa menghibur.”
Langkahnya ringan saat ia berjalan menjauh. Tapi sebelum mencapai pintu, Ghea berhenti. Menoleh setengah.
Tatapannya tidak tajam. Tidak juga menyindir. Hanya penuh kesadaran.
“Kau pasti ingin bicara... lebih pribadi. Dengan sekretarismu. Yang tampaknya memang mudah terpesona pada pria tampan.”
Suaranya terdengar tenang, tapi kata-katanya menampar lebih keras dari bentakan mana pun.
Lalu ia melangkah keluar.
Tidak membanting pintu. Tidak menoleh.
Tapi keheningan yang ia tinggalkan—bergaung seperti gema di ruang kosong.
Setelah beberapa saat, David akhirnya menoleh ke arah Tessa. Tatapannya tajam.
"Aku tak suka tadi," gumamnya.
"Kau terlalu terlihat terpesona pada Leon."
Tessa tersenyum, menggoda.
"Itu cuma akting, Sayang. Justru supaya Ghea nggak curiga. Kalau aku terlihat tertarik pada pria lain di depanmu, dia tak akan pernah mengira kita punya hubungan."
David terdiam, mencerna ucapan itu. Ada logikanya. Tapi hatinya masih terasa tergelitik.
Ia menghela napas pelan.
"Oke. Anggap saja aku memaafkanmu karena membuatku cemburu."
Lalu tubuhnya mendekat, tangannya melingkari pinggang Tessa.
"Tapi kau harus bayar. Layani aku... dengan cara yang memuaskan."
Ia hendak mencium Tessa.
Tapi Tessa buru-buru mendorong dadanya.
"Tunggu dulu."
Matanya menyipit sedikit.
"Apa kau nggak merasa Ghea tadi... agak aneh?"
David menatapnya, bingung.
"Aneh gimana?"
"Kata-katanya tadi. Waktu dia bicara soal aku yang pura-pura terpesona pada Leon—itu bukan cuma teguran biasa. Ada nada menyindir. Seolah... dia sedang mengendus sesuatu yang lebih dari itu. Dari kita."
David mengernyit. Sebuah ingatan menyelinap pelan ke benaknya.
Wajah Ghea saat ia pulang... tidak seperti biasanya.
Dingin. Tenang. Tapi ada sesuatu yang ditahan.
Bukan amarah. Bukan cemburu. Tapi semacam kehampaan... yang disengaja.
Lalu ia teringat—saat ia mengajak Ghea makan malam bersama klien.
Ghea sempat menatapnya.
Mata itu kosong. Tapi bibirnya tetap tersenyum.
Senyum yang entah kenapa terasa... kehilangan nyawa.
"Aku kira ini quality time... ternyata kerjaan."
Bukan nada kecewa. Bukan pula rajukan manja.
Tapi datar. Dingin. Seolah dia sudah tahu jawabannya jauh sebelum David mengucapkannya.
Dan itu yang membuat David gelisah.
Ada sesuatu dalam sikap istrinya yang membuatnya merasa… terlihat.
Seolah Ghea sudah tahu sesuatu, tapi memilih diam.
Dan itu yang paling membuatnya takut.
"Mungkin kau benar..." gumamnya akhirnya.
"Mungkin aku harus pulang. Buat meredakan kecurigaannya."
Tessa mengangguk pelan.
"Iya. Jangan sampai dia curiga."
Diam. Sejenak hanya suara deru AC yang terdengar.
David menatapnya sekali lagi sebelum pergi, sementara Tessa menatap ke arah jendela kaca yang menampilkan pemandangan kota—gelisah, tapi wajahnya segera kembali tersenyum.
Senyum seorang wanita yang terbiasa menyembunyikan rencana.
Sementara itu, parkiran restoran malam itu sunyi. Hanya suara sepatu hak tinggi yang beradu dengan lantai beton, dan detak jantung Ghea yang memukul dada.
Ia melangkah cepat, berusaha meninggalkan gedung megah dan segala luka yang menempel di dalamnya. Tapi sesampainya di salah satu tiang penyangga, tubuhnya terhenti. Kakinya seolah kehilangan daya, dan ia bersandar di sana.
Ia tidak menangis. Ia terlalu terbiasa menahan. Tapi bukan berarti hatinya tidak koyak.
"Lima belas tahun."
Suara dalam kepalanya berbisik.
"Lima belas tahun menikah, dan satu-satunya yang makin nyata dari David… adalah bahwa dia tak lagi melihatku."
Ia mengatup bibir, mengusir gemetar di dadanya.
“Untuk apa memikirkannya?”
Ghea terlonjak kecil. Suara itu...
Dalam. Lembut. Tapi mengandung bara.
Ia menoleh.
“Lalat memang suka pada sampah. Mereka tak pernah tertarik pada berlian. Dan kau terlalu bodoh… jika masih berharap."
Leon berdiri tak jauh dari sana. Rambutnya masih tersisir rapi, tapi jasnya sudah tak ada. Kemejanya kini terbuka di beberapa kancing atas, lengannya tergulung hingga siku. Napas Ghea seketika tercekat.
Bukan cuma karena penampilannya. Tapi karena tatapan matanya.
Di dalam restoran, ia dingin dan profesional. Di sini…
Ia liar. Hidup. Membakar.
“Leon—”
“Sst...”
Ia melangkah pelan mendekat. Tapi bukan pelan yang ragu.
Pelan seperti pemburu yang tahu mangsanya tak akan lari.
“Honey…”
Suara itu mengalir lembut dari bibirnya. Nyaris seperti desahan.
“Ayo ikut aku. Aku ingin menunjukkan sesuatu.”
“Aku—aku harus pulang,” ucap Ghea, suaranya goyah. Bahkan pada dirinya sendiri, alasan itu terdengar lemah.
Leon tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, lalu mendekat… dan tanpa peringatan, meraih pinggang Ghea, menarik tubuhnya ke dalam dekap hangat yang mengurung tapi tak menyakiti.
“Leon…” Ghea berbisik. Napasnya tercekat. “Lepaskan. Ini tidak—”
Suara langkah mendekat.
Berat. Teratur. Bukan suara sembarang orang.
“Siapa di sana?”
Sunyi.
Ghea menahan napas.
Leon hanya tersenyum.
Lalu... suara itu terdengar semakin dekat.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Ghea terlalu luka hatinya dengan pengkhianatan David - David suami selingkuh sekaligus mau meraup harta - perusahaan warisan orang tua Ghea.
dan kamu akan menyesal telah menyia-nyiakan Ghea hanya demi sampah
lanjut kak sehat dan sukses selalu 🤲
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.