Jika menurut banyak orang pernikahan yang sudah berjalan di atas lima tahun telah berhasil secara finansial, itu tidak berlaku untuk rumah tangga Rania Salsabila dan Alif Darmawangsa. Usia pernikahan mereka sudah 11 tahun, di karuniai seorang putri berusia 10 tahun dan seorang putra berusia 3 tahun. Dari luar hubungan mereka terlihat harmonis, kehidupan mereka juga terlihat cukup padahal kenyataannya hutang mereka menumpuk. Rania jarang sekali di beri nafkah suaminya dengan alasan uang gajinya sudah habis untuk cicilan motor dan kebutuhannya yang lain.
Rania bukanlah tipe gadis yang berpangku tangan, sejak awal menikah ia adalah wanita karier. Ia tidak pernah menganggur walaupun sudah memiliki anak, semua usaha rela ia lakoni untuk membantu suaminya walau kadang tidak pernah di hargai. Setiap kekecewaan ia telan sendiri, ia tidak ingin keluarganya bersedih jika tahu keadaannya. Keluarga suaminya juga tidak menyukainya karena dia anak orang miskin.
Akankah Rania dapat bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sadewi Ravita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Minta Maaf
"Nia, kita harus bicara. Aku tidak mau berpisah, Nia,"
Alif mengetuk-ngetuk pintu kamar yang telah di tutup istrinya. Ia terus berpikir, tidak mungkin Alisa yang masih kecil bisa berbohong.
'Jangan-jangan memang ibu yang telah berdusta' batin Alif.
"Nia, buka pintunya. Apa kamu tega membiarkan aku tidur di luar, aku bahkan belum mandi dan berganti pakaian,"
Dia terus berusaha membujuk istrinya, ia tahu Rania berhati lembut jadi tidak akan tega kepadanya. Pintu tiba-tiba terbuka, Rania menatap suaminya tanpa ekspresi. Ia melemparkan bantal, selimut serta baju ganti pria itu. Alif tercengang, ia tidak menyangka istrinya akan setega ini.
"Sebaiknya kamu segera berkemas dan pergi dari rumah ini, dan cepatlah urus perceraian kita,"
Rania segera menutup pintu kembali tanpa memberi kesempatan Alif untuk melakukan protes. Alif menghela napas dengan kasar, hatinya benar-benar gelisah. Sikapnya yang mudah tersulut emosi dan terlalu menyalahkan istrinya telah menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.
Kini dirinya tidak mengerti lagi harus berbuat apa, ibunya begitu tega membuatnya dalam posisi sulit seperti ini. Dia benar-benar kalut, dia tidak ingin kehilangan istri dan anak-anaknya. Di saat sedang sedih-sedihnya ponselnya berbunyi, dengan malas ia mengangkatnya.
"Bagaimana Lif, apa kamu sudah memberi pelajaran kepada istri mu itu? Kamu jangan percaya ya jika dia mengarang cerita, dia itu hanya ingin mengadu domba kamu dan ibu,"
Ibunya benar-benar ingin mempengaruhi dirinya, namun kenyataannya dia sudah tahu kebenarannya dari Alisa yang tidak mungkin berbohong kepadanya.
"Ibu jangan berdusta lagi, aku sudah tahu semuanya. Kenapa Ibu tega melakukan ini kepada ku? Apa Ibu tidak suka melihat aku bahagia? Mengapa Ibu ingin merusak pernikahan ku, mengapa Bu?" tanya Alif.
Kini pria itu sangat sedih sehingga tidak sanggup untuk menahan laju air matanya yang kini telah mengalir di pipinya. Dia tertunduk sambil menangis, bertopang pada kedua lututnya, air matanya kini telah membasahi lantai. Ia masih diam, menunggu penjelasan dari orang yang melahirkannya, yang selalu ia bela selama ini.
"Dia berbohong Alif, apa kamu lebih percaya istri mu daripada ibu mu yang telah melahirkan diri mu?" tanya ibunya yang masih berkelit.
"Rania tidak mengatakan apa-apa, Alisa yang memberitahu ku tentang semuanya. Ibu tidak perlu berkilah lagi, selama ini aku selalu membela Ibu walaupun aku tahu Ibu yang salah. Aku sangat kecewa, Ibu sudah berhasil membuat pernikahan ku hancur,"
Alif langsung memutus panggilan, rasa kecewanya terlalu besar untuk tetap mendengarkan sanggahan demi sanggahan dari mulut wanita yang telah melahirkannya itu. Perasaannya selama ini telah di butakan rasa bakti yang menurutnya akan mengantarkannya kepada surga, namun nyatanya justru menjadikannya suami yang durjana.
Dengan langkah limbung ia menuju ke kamar mandi, setelah selesai membersihkan badan ia segera membuat kopi sebagai teman gundah gulananya. Malam dingin yang sunyi, kepulan asap rokok dan harumnya bau kopi sedikit mengobati rasa kecewanya.
"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Aku begitu takut kehilangan mereka? Maafkan hamba mu ini ya Allah, aku tidak ingin berpisah dengan Rania,"
Tiada tempat mengadu selain Allah Yang Maha Esa. Sifat naluriah manusia adalah lupa di saat senang, ingat di kala ada masalah.
☆☆☆
Keesokan harinya.
Rania beraktivitas seperti biasanya. Ia memasak, membersihkan rumah, mengantar Alisa sekolah dan rutinitas lainnya. Namun ia sama sekali tidak menganggap kehadiran suaminya. Entah pukul berapa pria itu tidur sehingga bangun kesiangan, namun tidak ada keinginan Rania untuk membangunkannya. Ia harus mulai terbiasa tidak mencampuri urusan pria itu, karena mereka akan segera berpisah.
"Sayang, ayo kita mandi. Setelah itu kita akan jalan-jalan keluar," ucapnya kepada Bintang.
"Hore, jalan-jalan lagi," teriak Bintang kegirangan.
Teriakan Bintang membuat Alif terbangun, matanya sembab walaupun tak separah istrinya. Pria itu melihat kebahagiaan anak dan istrinya dengan tatapan sedih. Sungguh ia tidak rela jika sampai tidak akan pernah melihat hal indah itu lagi di dalam hidupnya.
"Sayang, Kamu mau jalan-jalan kemana? Ayah boleh ikut ya?"
Bintang tidak menjawab, anak itu justru makin mengeratkan pelukan kepada ibunya. Tampak sorot mata ketakutan membingkai wajah mungilnya. Hati Alif teriris, perangainya semalam telah membuat anak itu merasa takut kepadanya. Betapa ia telah berhasil melukai mental putranya.
"Sayang, jangan takut kepada Ayah. Ayah sayang sama Bintang,"
Alif berusaha mendekat dan ingin menggendong putranya, namun anak itu justru berlindung di balik ibunya.
"Ayah jahat, ayah marah-marah terus, ayah sudah pukul ibu. Ayah jahat, aku tidak mau sama ayah,"
Sakit tapi tak berdarah, mungkin ini yang di rasakan Alif sekarang. Darah dagingnya sekarang membencinya, Bintang dan Alisa sudah tidak sudi bersamanya lagi. Ia benar-benar menyesal atas semua yang terjadi.
"Nia, aku mohon maafkan aku. Aku tahu aku salah, tapi ibu ku yang berbohong. Aku tidak tahu jika ibu ku mampu melakukan ini semua, aku tidak ingin berpisah dengan mu,"
Alif bersimpuh di kaki istrinya, namun Rania segera menjauh. Ia tidak ingin suaminya mengemis kepadanya, hatinya sudah terlalu sakit, bertubi-tubuh luka yang telah pria itu goreskan. Hatinya sudah mantap untuk mengakhiri semuanya.
"Sudah terlambat, aku sudah benar-benar menutup hati ku untuk mu rapat-rapat. Sebaiknya segera kemasi barang-barang mu dan pergi dari sini, aku sudah tidak ingin melihat mu lagi. Jika kamu ingin mengambil anak-anak, kita akan bertemu di pengadilan,"
Rania sudah malas berbasa-basi, ia segera meninggalkan suaminya yang masih termenung meratapi nasibnya. Apa yang kita tanam, itu juga yang kita dapat. Emosi bisa menghancurkan siapa saja, maka dari itu kita wajib menjaganya, karena waktu tidak akan pernah kembali.
☆☆☆
Beberapa saat kemudian.
Rania segera melajukan kendaraannya menuju rumah Tiara, ia ingin mencurahkan segala kegelisahannya. Ia tidak sanggup menahannya sendirian. Ia tahu bercerai bukanlah hal yang sepele, walaupun ia sudah yakin namun ia ingin mendengar pendapat keluarganya juga.
"Rania, sebenarnya sangat di sayangkan sekali jika harus berakhir begini. Namun jika memang itu yang terbaik, aku akan selalu mendukung mu. Sebaiknya kamu juga berbicara masalah ini kepada Mas Bagas dan orang tua kita," saran Tiara setelah mendengarkan cerita Rania.
"Iya Kak, aku akan memberi tahu mereka nanti,"
"Bagaimana jika mereka merebut anak-anak mu, Nia? Mereka itu cucu satu-satunya karena adik Alif belum punya anak, mereka pasti berusaha mengambilnya dari kamu,"
"Aku akan menempuh jalur hukum, Kak,"
"Itu memerlukan waktu yang lama dan uang yang banyak, Nia. Sepertinya keluarga Alif tidak akan melepaskan mu begitu saja,"
Rania terkesiap, keraguan mulai memenuhi hatinya. Ia tidak sanggup jika sampai kehilangan anak-anaknya.