NovelToon NovelToon
Pernikahan Yang Ketiga

Pernikahan Yang Ketiga

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Janda / Cerai / Identitas Tersembunyi / Konglomerat berpura-pura miskin / Cinta Lansia
Popularitas:13.5k
Nilai: 5
Nama Author: CovieVy

Setelah sepuluh tahun menjanda setelah pernikahan kedua, Ratna dihadapkan oleh perilaku tak terduga dari anak tiri yang ia rawat. Setelah menikah dengan Dirli, Amora mengusir Ratna dari rumah peninggalan ayahnya (suami Ratna).

Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria tua memakai jaket ojek online. Pria bernama Robin itu melihat ketulusan Ratna yang menolong orang yang tak dikenal. Dengan lantang ia mengajak Ratna menikah.

Dalam pernikahan ketiga ini, ia baru sadar, banyak hal yang dirahasiakan oleh suami barunya, yang mengaku sebagai tukang ojek ini.

Rahasia apakah yang disembunyikan Robin? Apakah dalam Pernikahan yang Ketiga dalam usia lanjut ini, rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada konflik?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23. Saatnya Menjadi Pelayan

Suara berat Robin memecah keheningan saat berbicara dengan seseorang di ponsel.

“Tunggu saja di sana.”

Nada suaranya datar, tetapi terkesan ada wibawa dan tegas. Tak lama, ponsel itu dimasukkan kembali ke saku jaket hijaunya, dan ia segera pergi seolah tak terjadi apa-apa.

Dari balik tiang listrik, Dirli menyipitkan mata. Keningnya mengerut. Telinganya menangkap potongan kata, tapi tak cukup utuh untuk dirangkai.

“Pak Wirya? Yang itu? Atau … ada Wirya lain?” gumamnya pelan. Ia berdiri pelan-pelan, pandangannya masih mengikuti punggung Robin yang menghilang di balik pintu warung.

Samar, bayangan percakapan barusan berkelebat di pikirannya dengan hadiah yang batal diterima ibunya.

"Jam itu ... jam mahal, bukan jam pinggir jalan."

“Edan, jam segitu harganya! Bisa buat beli motor baru, kontan pula. Tukang oJek biasa, mana sanggup?”

Ia mengacak-acak rambutnya sendiri, seperti mencoba mengusir logika yang tak mau menyatu.

Ia memutar bola matanya, mendecak.

“Argh, ngapain juga gue mikirin hidup orang. Yang penting tugas gue cuma ngasih struk ke Pak Wirya. Udah. Titik.”

Dengan langkah malas, Dirli kembali ke mobilnya menunggu struk belanjaan dari para driver yang ia bayar.

Di dalam warung, Robin membuka pintu dapur pelan-pelan, lalu berdiri di belakang Ratna. Tangannya bersedekap, senyum kecil mengembang di wajahnya.

“Yang, seneng nggak, rame gini?” tanyanya pelan.

Tapi Ratna tak menoleh. Tangannya sibuk menuang susu kental manis ke dasar cup plastik, lalu menuangkan kopi hitam dari wadah besar. Ia mengaduk tanpa suara, lalu meraih botol creamer, menambahkan secukupnya, dan mengguncang cup itu kuat-kuat dengan kedua tangan.

Shlak, shlak, shlak.

Pesanan demi pesanan datang silih berganti.

“Buk! Es kopi dingin yaaa!”

“Aku yang mix dingin, Bu Ratna!”

“Kopi hitam manis, panas!”

“Mix panas dua, Bu! Buat anak baru!”

Suara-suara bersahutan dari depan warung, membuat Robin secara refleks mengernyit. Ia menatap ke arah suara-suara itu dengan heran, matanya bergerak cepat mengikuti alur komando warung.

"Hadeh ... rame banget ..."

Netra Robin menyapu ruangan yang terasa sempit, padat, dan riuh. Hal ini membuatnya merasa sendiri di antara suasana yang ramai begini. Apalagi sang istri yang tak ada hentinya bekerja membuat ia seakan terabaikan.

“Buk! Mix-nya udah?”

“Kopi hitamnya mana, Bu Ratna?”

“Eh, es-nya kebanyakan nih! Tapi nggak apa-apa, Bu, saya suka yang dingin kayak gini, hehe!”

Suara-suara itu mengalir tanpa henti, seperti serangan. Tumpukan cup di meja makin tinggi, pelanggan makin banyak berdiri di depan warung. Beberapa sudah mulai mengetuk-ngetuk meja kecil di luar, tak sabar.

Robin mencengkeram pinggangnya, gelisah.

'Apa-apaan ini?' pikirnya. 'Aku seneng warung Ratna laris meskipun ini karena ulah Dirli. Tapi, kenapa aku merasa tak berguna ya?' batinnya dalam diam.

Seorang Robin yang terbiasa dengan ruang kerja ber-AC, lantai mengilap, dan ketenangan. Bahkan, suara langkah kaki yang nyaris tak terdengar. Namun, di sini ia merasa sebagai figuran yang numpang lewat. Dan, rasanya sangat sakit bila terabaikan seperti ini.

Meskipun ia berdiri di antara aroma kopi kental, suara blender manual, cup plastik lengket, tapi, semua hanya terpusat pada Ratna, istrinya. Ia bagai bayangan yang tak tempat, membuatnya berinisiatif membuka suara.

“Yang ... aku harus bagaimana nih? Masa diem doang?”

Ratna melirik sejenak tanpa jawaban. Lalu, menyerahkan satu cup kopi dingin yang sudah dimasukan ke dalam kantong ke arah Robin, dan menunjuk ke arah pintu warung.

“Antarkan ke orang yang pake helm merah. Dia udah nunggu dari tadi.”

Robin sejenak membeku. Ia seorang pimpinan perusahaan, tentu tak pernah melakukan hal seperti ini.

'Oke Robin, demi istrimu, tak apa lah kau jatuhkan harga dirimu!' batinnya yang sedikit gengsi melakukannya.

Tangannya tampak kaku di saat membawa minuman itu keluar. Ada perasaan ingin langsung melemparnya saja, tapi tentu istrinya akan marah. Dengan wajah datar dan canggung, ia menyerahkannya pada pemuda berhelm merah.

Pemuda itu mengangguk takut melihat raut wajah Robin. “Maaf, Pak.”

Robin hanya memasang wajah dingin membuat pemuda itu kabur dengan cepat dan setelah sampai di luar, ia mengusap dada dengan cepat sembari menghela napas. "Berasa ketemu antagonis, njiir," rutuknya sembari menuju ke tempat Dirli.

Begitu masuk lagi ke dapur, suara Ratna terdengar pelan tetapi cukup tajam.

“Semangat dong? Sebagai driver kamu memang tinggal mesan aja. Kalau berada di posisi ini, kamu jadi tahu kan bagaimana rasanya menjadi orang yang harus melayani?”

Robin terdiam. Untuk pertama kali, ia ditampar oleh pekerjaan yang bukan menggambarkan dirinya.

Ia menatap punggung Ratna yang masih sibuk dengan cup yang lain. Robin merasa harus lebih rendah hati lagi.

.

.

Robin menyerahkan cup terakhir kepada pria berjaket warna orange khusus pesanan food secara daring. Sisa-sisa antrean sudah menghilang. Hanya kursi-kursi plastik kosong dan meja lengket oleh tumpahan kopi yang tersisa. Napasnya terengah pelan, kaus dalamnya basah oleh keringat, dan raga tuanya mulai terasa pegal luar biasa.

"Alhamdulillah, udah beres," gumamnya sambil menyeka keringat di pelipis.

Ratna masih di dapur, menutup botol susu kental manis lalu mulai membereskan sedotan berserakan. Tangannya bergerak cepat dan cekatan, seolah rutinitas tadi tak menyita tenaga sedikit pun.

Robin menatap istrinya dalam diam.

Warung sudah sepi. Hanya suara kipas angin tua yang berdengung malas, dan sesekali bunyi tutup cup jatuh ke lantai. Udara masih pengap, tapi setidaknya riuh pelanggan sudah sirna.

"Yang," panggil Robin, pelan.

Ratna menoleh sekilas, lalu kembali sibuk.

“Udah beres kan?” tanya Robin, mencoba memecah jarak.

Ratna tak langsung menjawab. Ia menyapu remah plastik kecil dari meja racik, lalu berdiri menghadap suaminya. Ia membalas tatapan Robin yang tampak berkeringat dalam jaket yang tak dilepaskan semenjak tadi.

"Kamu pasti kepanasan? Kenapa ga dibuka aja?" ucap Ratna memandang suaminya sedikit kasihan.

Robin melihat jam yang kemarin tak jadi diberikan kepada orang tua Dirli. "Sepertinya aku harus cabut."

"Ke mana?" tanya Ratna dengan nada keberatan.

"Harusnya aku yang cari uang untukmu, tapi tadi pelangganmu terlihat sangat ramai, makanya aku temenin dulu."

Ratna menghela napas. Ia baru ingat sang suami harusnya kini narik orang atau menunggu orderan di jalan, bukan seperti saat ini, berada di dapur.

"Abang tau nggak, sebenarnya aku capek mengerjakan ini semuanya sendiri. Namun, hari ini aku baru sadar. Ternyata yang aku butuhkan adalah Abang di sini nemenin aku. Aku rasa tak perlu lagi abang bolak balik narik penumpang di jalanan. Dengan warung ini aja, aku rasa sudah cukup memenuhi kebutuhan kita berdua."

Sejenak, Robin sempat terharu mendengar ucapan istrinya yang terdengar tulus.

"Aku—"

Suara ponsel Robin berdering nyaring. Ia teringat Wirya mengatakan ada hal penting yang harus dibahas dalam rapat direksi pukul sepuluh pagi ini.

"Aku harus pergi sekarang," ucapnya langsung memutar badan tanpa melihat ekspresi Ratna yang langsung berubah.

Panggilan itu dari Wirya. "Ya halo ... Baik lah, saya ke sana."

Di sisi lain, Dirli menghitung bukti belanja para driver yang terakhir. ".... Dua puluh. Udah cukup! Waktunya balik kantor." Ia pun segera melaju hingga mendekati gedung kantornya.

Namun, ada hal menarik yang ia temukan. Dirli melihat Robin sang tukan ojek memasuki halaman kantor yang bernama R.H.Group yang megah, dengan motor bututnya.

...----------------...

Selamat Hari Raya Idul Adha bagi yang merayakan. 🙏

1
MomyWa
semangat thor
MomyWa
thor, jngan rumit2 kali lah bkin cerita. hobi kali nulis yg rumit
MomyWa
wLaaaahh, dah pny anak..gwat dong. ksihan ratna
MomyWa
sepertinya mulai menimbang2 nih
MomyWa
manut2 aja dirli
MomyWa
berbeda dbanding saat brsama ratna
MomyWa
harusnya pcat aja langsung pak
MomyWa
cakep, tp udah tua sih 😅
MomyWa
weeehh, cocok utkku tp ga ada di sini
MomyWa
mungkin ga mau ktemu sm org kayak elu lagi
MomyWa
seharian kemarin sibuk bgt, ga taunya ketinggalan banyak. smpai2 covernya udah ganti lagi ya thor
arielskys
sekarang kami mengerti alasan Robin tak mempermasalahkan masa lalu Ratna. Karena manusia pasti memiliki kekhilafan.
arielskys
ada maksud terselubung
arielskys
jangan smpai lupa tjuanmu td dirli
Anonymous
saya kasih kopi Thor, semangat terus yaaah
Syahril Maiza
tapi emang dr awal pak ojek mengatakan nggak memiliki masa lalu yg lebih baik bukan? kita tnggu authornya mau membawa cerita ke mana
Syahril Maiza
terus pak, buktikan kau tak goyah
Syahril Maiza
emang enak dicuekin?
MomyWa: kasian deh loe
total 1 replies
Syahril Maiza
omaigat, nanti kalau si mertua Amora tau, malah semakin semena2
arielskys: jangan smpai deh
total 1 replies
Syahril Maiza
kalau lu setia, mungkin bisa naik jabatan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!