Valerie memutuskan pulang ke Indonesia setelah dikhianati sang kekasih—Kelvin Harrison. Demi melampiaskan luka hatinya, Vale menikah dengan tuan muda lumpuh yang kaya raya—Sirius Brox.
Namun, siapa sangka, ternyata Riu adalah paman terkecilnya Kelvin. Vale pun kembali dihadapkan dengan sosok mantan, juga dihadapkan dengan rumitnya rahasia keluarga Brox.
Perlahan, Vale tahu siapa sebenarnya Riu. Namun, tak lantas membuat dia menyesal menikah dengan lelaki itu, malah dengan sepenuh hati memasrahkan cinta yang menggebu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Sengaja Menyukai Bibi
Setelah berdiskusi panjang, Camelia dan Annisa sepakat untuk terbang ke Indonesia satu minggu lagi. Itu adalah waktu tercepat yang bisa mereka kejar, mengingat jadwal yang cukup padat.
Mengetahui rencana itu, Kelvin memanfaatkan kesempatan untuk ikut serta ke sana. Dengan alasan membantu orang tuanya menyisihkan Riu. Padahal, niat aslinya adalah menyelidiki Vale. Ingin tahu siapa gerangan lelaki yang begitu lancang menikahinya.
Sementara di sisi lain, Sander sudah lebih dulu terbang ke negara itu. Usai bertengkar dengan orang tuanya, dia langsung berangkat ke Indonesia. Selain menjenguk sang kakek, dia juga akan mendatangi sahabat lama. Baginya, lebih baik bekerja dengan orang lain, dari pada terus berkumpul dengan orang tua dan menyaksikan keserakahan mereka.
Memuakkan! Meski dia adalah anaknya, tapi Sander tahu bahwa tindakan orang tuanya salah. Mengingatkan selalu berakhir dengan kesalahpahaman. Jadi lebih baik, dia menjauh dan berusaha mencegah dari sisi yang lain. Mengingatkan Riu misalnya.
"Entah apa yang ada di pikiran mereka, sebegitu bencinya dengan Paman. Padahal, Paman adalah adik kandungnya. Apa harta lebih berharga dibanding hubungan darah?" gerutu Sander dalam hatinya.
Kala itu, dia sudah tiba di negara asalnya, dan sedang uduk di dalam taksi yang membawanya menuju Kantor Victory, kantor milik Rendra, ayah dari sahabat lamanya. Dulu hubungan mereka sangat baik, hampir seperti ayah dan anak sungguhan.
Kini Sander akan ke sana untuk mengambil kartu akses apartemen. Untuk sementara, Sander akan tinggal di apartemen milik Rendra, yang kebetulan tidak dipakai.
Setelah tiba di tempat tujuan, Sander bergegas masuk dan disambut ramah oleh resepsionis. Tanpa menjelaskan panjang lebar, ia langsung diarahkan ke ruangan Rendra.
"Apa kabar, lama tidak bertemu?" sapa Rendra disertai jabatan erat.
"Antara baik dan tidak, tapi jangan tanya kenapa ya, Om. Aku tidak tahu harus memulai ceritanya dari mana." Sander menjawab dengan setengah bercanda.
Rendra tidak mempermasalahkan itu. Sejak berteman dengan anaknya sewaktu sekolah dulu, Rendra sudah paham dengan sifat Sander yang tertutup. Kendati begitu, dia tahu bahwa lelaki itu sering bermasalah dengan orang tuanya. Mungkin, sekarang pun begitu. Hanya saja Rendra tak banyak bertanya.
Alhasil, hanya obrolan seputar pekerjaan yang banyak mereka bahas. Sander mengatakan niatnya yang ingin menetap di Indonesia dan tentunya butuh pekerjaan. Sementara Rendra akan sigap membantu, tanpa ikut campur mengapa tidak masuk di kantor Jason, yang secara spesifik jauh lebih besar dari perusahaan miliknya.
"Terima kasih banyak untuk bantuannya, Om. Aku pergi dulu ya," pamit Sander setelah cukup lama berbincang.
"Santai saja. Kita bukan orang lain, Sander."
Usai berpamitan, Sander keluar dan meninggalkan Rendra. Dengan langkah yang lumayan cepat, dia berjalan menuju pintu utama.
Namun, belum sempat ia tiba di sana, tiba-tiba tak sengaja bertabrakan dengan seorang wanita. Meski tidak sampai jatuh, tapi langkah keduanya sama-sama terhenti.
"Maaf, aku tidak sengaja. Kamu ... tidak apa-apa, kan?" Sander menatap takjub pada wanita yang berdiri di hadapannya. Cantik dan menawan.
Rambut panjangnya terurai rapi, menutupi punggung dan bahu yang tampak ideal. Belum lagi hidung mancung dan bibir ranumnya, sungguh paras yang sempurna.
"Aku tidak apa-apa," jawabnya singkat, sembari melangkah pergi.
Tak ingin kehilangan kesempatan, Sander turut bergerak dan menjajari wanita itu.
"Kamu kerja di sini?" tanya Sander.
"Baru selesai interview."
"Kapan mulai kerja?"
"Lusa."
Datar dan agak dingin, seperti tak ada keinginan untuk mengobrol. Namun, Sander tak menyerah. Menurutnya, malah istimewa wanita yang seperti itu.
"Sander." Tanpa malu, Sander mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya.
Wanita itu menoleh sesaat dan tidak menyambut uluran tangan Sander.
"Vale," ucapnya singkat. Lalu, mempercepat langkah dan meninggalkan Sander di tempatnya.
"Kita pasti bertemu lagi nanti," gumam Sander sambil menatap punggung Vale yang makin menjauh.
Dalam pikirannya, mereka akan bertemu lagi karena bekerja di tempat yang sama. Dia tak tahu jika ada kesempatan lain yang akan mempertemukan mereka. Saat pertemuan keluarga Brox misalnya.
________
Keesokan harinya, Sander menyempatkan diri untuk datang ke rumah Riu. Setelah sebelumnya bertandang ke rumah Jason.
"Dalam waktu dekat, Mama dan Tante Annisa akan pulang," ujar Sander setelah berbasa-basi sejenak.
Riu tersenyum, lalu mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.
"Baguslah. Aku sudah lama tidak bertemu mereka."
Sander menarik napas panjang. Ada rasa iba dalam hatinya karena Riu tetap menganggap baik mereka. Padahal, aslinya adalah musuh yang nyata.
"Rencananya ... aku akan menetap di sini, Paman. Tapi, tidak pulang ke rumah Kakek. Aku tinggal di tempat kenalanku, sekaligus bekerja di sana. Aku butuh ketenangan," ujarnya. Sengaja menyiratkan 'sesuatu' dalam kalimatnya. Dia tahu Riu cukup cerdas, pastilah mengerti dengan apa yang ia maksud.
"Sebenarnya, mencari ketenangan tidak harus ke tempat lain. Kita bisa kok membuat suasana tenang di tempat yang seharusnya kita berada. Karena sejatinya, menghindar tidak membuat harga diri kita menjadi tinggi."
Sander tertegun dalam beberapa saat. Jawaban Riu barusan seolah mengatakan bahwa dia akan melawan dan pantang mengalah.
"Apa selama ini Paman sudah tahu tentang Mama dan Tante Annisa? Apa aku yang terlalu lugu menilainya?" batin Sander, sambil mencuri pandang ke arah paman yang sepuluh tahun lebih tua darinya—35 tahun.
"Kudengar ... kau sudah menikah, Paman? Di mana bibiku?" Sander mengalihkan topik pembicaraan.
"Kamu datang di saat yang tidak tepat. Dia sedang pergi," jawab Riu sambil mengepulkan asap rokoknya.
"Sayang sekali."
"Masih ada banyak waktu. Katanya kamu akan menetap di sini. Sekalian cari pasangan, usiamu sudah cukup matang untuk menikah," canda Riu. Mencoba mencairkan suasana yang sempat canggung.
Namun, Sander malah menangkap lain candaan itu. Mendengar kata 'pasangan', ingatannya langsung tertuju pada Vale. Sosok wanita yang memberikan kesan mendalam pada pertemuan pertama. Wanita yang tidak ia sangka berada di dalam kamar, di rumah yang ia pijak sekarang.
"Ya ... aku akan mencarinya. Jika sudah, nanti akan kukenalkan pada Paman dan Bibi," kata Sander sambil senyum-senyum sendiri.
Akan tetapi, Riu tak mengacuhkan itu. Ia justru menilai lain pertanyaan Sander barusan.
"Kamu tiba-tiba datang dan mempertanyakan pernikahanku. Sander, meski sebelumnya kamu tidak terlibat apa pun, tapi kali ini aku tidak percaya denganmu," batin Riu.
Tak lama kemudian, Sander pamit undur diri. Baron yang mengantarnya sampai ke halaman, sedangkan Riu menggerakkan kursi rodanya menuju kamar.
"Keponakanmu sudah pulang?" tanya Vale yang kala itu sedang bermain ponsel di kamar.
"Sudah."
"Apa yang dia katakan?"
Riu menggeleng, "Tidak ada yang penting. Hanya basa-basi."
"Terus kakakmu? Sudah tahu kapan pulangnya?"
"Dalam waktu dekat. Kamu siap, kan?" Riu balik bertanya.
"Tentu saja. Memangnya apa yang perlu kutakutkan?"
"Baguslah. Kalau begitu bantu aku membalas mereka, nanti ... aku akan membantumu membalas mantanmu."
Vale tertawa renyah, "Lupakan itu! Dengan menikah saja, aku sudah membalas dia kok."
"Tapi, aku akan membantumu membalas dia lebih dari itu." Riu serius, namun Vale menganggapnya bercanda.
"Kamu begini seperti tahu saja siapa mantanku. Sudahlah, abaikan. Tidak penting lagi," sahut Vale masih dengan tawanya.
Riu tersenyum simpul, lalu mengulurkan tangannya dan mengusap lembut puncak kepala Vale.
"Aku tidak pernah bermain-main dengan ucapanku. Tunggu saja nanti, aku akan memberimu kesempatan untuk membalas dia."
Jantung Vale berdetak cepat. Entah karena usapan Riu, atau karena aura dingin yang terpancar dari tatapannya.
Bersambung...