Sepagi ini Adam Halilintar bersama pemuda desa sudah mangkal di depan sebuah Sekolah PAUD, demi melihat Ibu Guru Jingga, guru honorer di sekolah tersebut, kembang desa yang menjadi idaman dan rebutan para pemuda desa.
"Ibu guru datang," seru salah satu kawan barunya yang bekerja sebagai penadah aren.
Lalu dari balik semak, muncul seorang gadis yang ditunggu-tunggu sedari tadi.
Ketika lewat di depannya, matanya mengamati gadis itu dari atas ke bawah. Otaknya merespon dengan cepat informasi yang ditangkap matanya, spontan memberikan penilaian terhadap gadis itu.
Di bawah standar.
Hatinya mendongkol karena gadis yang ditunggunya ternyata jauh dibawah ekspektasinya.
Deretan wanita yang pernah jatuh ke dalam pelukannya, kelasnya jauh di atas wanita yang baru lewat tadi.
Bila ia turut menggoda Ibu Guru Jingga seperti pemuda desa, lantas berpacaran dengan gadis itu, maka akan menjadi pencapaian terburuk dalam sejarah percintaannya.
Ia yakin, dirinya akan menjadi bahan tertawaan dan bahan lolucon teman-temannya di kota.
Karena kenakalan Adam, ayahnya mengirimnya untuk belajar agama di sebuah desa. Di desa itu, ia menemui kehidupan yang jauh berbeda dari tempat asalnya.
Bagaimana petualangan cinta selanjutnya setelah ia tinggal di desa tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ina As, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Mari Bertemu
Selepas mengambil rumput gajah untuk makanan kambing di bukit seberang, Adam Halilintar memberi makan kambing Ustadz Zaenal dengan rumput gajah tersebut.
Tugasnya bukan hanya memberi makan kambing, tetapi merawat kambing-kambing itu agar cepat gemuk dan bisa dijual.
Salah satu caranya adalah dengan menjaga kebersihan kandang kambing. Dua hari sekali ia membersihkan kotoran kambing dan sisa makanan kambing. Memasukkan kotoran kambing ke dalam karung sebab dimanfaatkan sebagai pupuk kandang oleh petani.
Ayahnya di Bandung pasti merasa puas bila mengetahui putera tersayang menjadi peternak di Bukit Hejo. Setiap hari berurusan dengan rumput gajah dan kotoran kambing. Jauh lebih baik ketimbang berurusan dengan narkoba.
Setelah memberi makan kambing, ia lalu memberi makan ayam dengan jagung giling. Jagung tua yang ia petik dari kebun Ustadz Zaenal, ia giling sendiri menggunakan batu giling.
Batu giling terdiri dari dua buah batu pipih yang berbentuk lingkaran. Alat giling tradisional warisan leluhur Ustadz zaenal. Tercanggih pada masanya.
Jangan berpikir tugasnya hanya menggiling jagung dan memberi makan ayam saja.
Setiap pagi ia membuka kandang ayam dan mengeluarkan ayam-ayam itu dari kandangnya.
Pekerjaan tersulit adalah ketika sore tiba. Ia harus menangkap satu persatu ayam Bibi Hasnah, lalu memasukkan ayam tersebut ke dalam kandang.
Olahraga sorenya adalah bermain kejar-kejaran dengan ayam. Kadang ia harus memanjat pohon, untuk menangkap ayam yang bertengger di atas dahan pohon.
Kebahagiannya memang sudah sempurna di Bukit Hejo. Seperti penduduk bumi yang dilempar ke planet Mars.
Setelah memberi makan kambing serta ayam, ia segera kembali ke kamar, mengambil handuk untuk mandi.
“Tumben, mandi sepagi ini, Dam. Mau kemana kamu?” tanya Bibi Hasnah yang sedang menyapu lantai.
“Mau sekolah, Bi,” kekehnya.
“Sekolah apa? Ada-ada saja kamu.”
“Itu Bi, mau nolongin Teh Jujuk. Ngantar anak bungsunya ke sekolah. Kasihan kan Teh Jujuk, gak punya suami, melakukan segala sesuatunya sendiri. Kita kan harus berbuat baik pada janda, orang miskin dan anak yatim. Bukankah membantu para janda seperti orang yang berjihad di jalan Allah, iya kan Bi?" lontarnya, cengengesan pada Bibi Hasnah.
“Tapi kamu nggak punya niat tertentu kan?” Bibi Hasnah mencurigai niat baiknya sebagai modus belaka.
Apa ia memiliki tampan penjahat? Sehingga tidak dipercaya orang ketika ia berniat untuk berbuat baik kepada sesama?
Kemarin begitu melihat Teh Jujuk lewat di depan rumah Ustadz Zaenal, berjalan kaki menggandeng tangan seorang anak TK, sebuah ide cemerlang muncul di otaknya.
Ia mendatangi rumah Teh Jujuk dan menawarkan bantuan yang sangat mulia.
“Biar aku aja yang nganterin Mashita ke sekolah setiap pagi, Teh," tawarnya.
“Nggak ngerepotin Bang Adam?” Bertolak belakang denga basa-basinya, wajah Teh Jujuk justru berbinar.
Ia berharap Teh Jujuk senang karena ia bisa membantu meringankan pekerjaan mengantar anak setiap pagi ke sekolah.
Meskipun ia sedikit khawatir, jangan sampai Teh Jujuk berharap lebih jauh dari itu. Menjadikan dirinya sebagai ayah dari Masyita misalnya. Jangan sampai!
Cukup bermodal permen harga seribu rupiah, ia mampu membuat si kecil Masyita jatuh hati padanya. Bersedia diantar olehnya menuju TK Melati di Cisari.
Ia membonceng Masyita di belakang dengan menggunakan sepeda milik Teh Jujuk. Melewati jalan setapak desa yang tidak beraspal.
“Siapa nama ibu guru, Masyita?” ia mulai mengobrol dengan Masyita sambil mengayuh sepeda.
“Buguyu Muti,” sahut Masyita.
“Siapa lagi?”
“Buguyu Jingga.”
Ia tersenyum sendiri mendengar nama itu disebut Masyita. Nama yang menjadi targetnya kini.
Begitu melihat bunga berwarna kuning yang tumbuh liar di pinggir jalan, ia menghentikan sepeda dan memarkirnya setelah menurunkan Masyita terlebih dahulu.
Ia kemudian memetik beberapa kuntum bunga wedelia sampai ke batangnya. Bunga liar yang serupa bunga aster. Tumbuh menjalar, menyusun suatu rentangan seperti tikar yang menutupi tanah.
Ia kemudian menyatukan bunga itu sebesar satu genggaman tangan, lalu mengikatnya menggunakan batang bunga itu pula.
Tidak ada rotan, akarpun jadi. Maksud hati memberi bucket bunga matahari yang bermakna menyampaikan harapan atas hadirnya hari yang membawa kebahagiaan. Tapi karena di kampung itu tidak ditemui bunga matahari, apa boleh buat, bunga matahari diganti bunga wedelia yang tumbuh liar dan melimpah.
“Pegang ini sayang, nanti berikan bunga dan surat ini pada Buguyu Jingga. Katakan Om Adam titip salam,” pesannya pada Masyita seraya menyodorkan bunga wedelia dan secarik kertas pada Masyita.
Dibalas anggukan manis oleh Masyita. Anak kecil itu mengambil bunga dan kertas dari tangannya
Surat?
Benar. Ia terperangkap dalam mesin waktu dan dilempar ke zaman sebelum penjajah menginjakkan kaki di tanah air tercinta. Dimana manusia belum mengenal listrik, telepon apalagi handphone.
Semoga saja, Masyita dapat diandalkan. Menyerahkan bunga dan surat pada Ibu Guru Jingga. Bukan pada Ibu Kepala Sekolah.
*********
Jingga Mardhiyyah menekuni profesi sebagai pengajar anak-anak usia dini sebab banyak hal-hal yang menyenangkan ia rasakan menjadi guru PAUD.
Setiap hari ia bertemu anak-anak yang lucu, anak-anak yang memiliki hati yang bersih dan tulus.
Belajar bagi anak PAUD atau TK sama dengan bermain. Proses belajar mengajar dilakukan seperti bermain biasa.
Menjadi guru PAUD atau TK membuatnya mendapat suasana kerja yang seru dan tidak membosankan. Dan yang terutama baginya adalah Guru PAUD memiliki peran penting dalam mencerdaskan anak sehingga turut berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Seperti biasa, setiap pagi ia akan berdiri di pintu gerbang sekolah bersama Ibu Guru Rahmi dan Ibu Guru Murti, menunggu murid TK yang datang ke sekolah.
Mereka menjemput dan menyapa setiap murid yang datang diantar orang tua. Para murid itu menyalami dan mencium tangan mereka sebelum masuk ke kelas masing-masing.
Berbeda dengan sebelumnya, Masyita kali ini datang tidak diantar oleh Teh Jujuk. Tetapi diantar oleh pemuda sombong dan narsis yang ia temui di Baruga Desa kemarin, bernama Adam Halilintar.
Masyita dibonceng menggunakan sepeda oleh pemuda gondrong tersebut.
“Si ganteng datang,” gumam Ibu Guru Murti, melempar senyum termanis pada cowok kota itu.
Adam Halilintar memarkir sepeda lalu menurunkan Masyita dari boncengan.
“Selamat pagi Ibu Guru,” sapa Adam, tersenyum tipis dan mengangguk hormat pada Ibu Guru Rahmi dan Ibu Guru Murti. “Titip Masyita Ibu Guru, permisi!”
Namun sebelum berbalik, pria itu memandangnya, menyunggingkan senyum pongah dan tatapan mata menjerat.
Apa arti senyum dan tatapan itu?
Pemuda itu lalu naik ke atas sepeda dan memutar arah sepeda, mengayuh menuju Bukit Hejo.
“Kok bawa bunga, Masyita?” tanya Ibu Guru Rahmi pada Masyita. Karena Masyita tidak bisa menyalami tangan ibu guru sebab tangan kanan menggenggam bunga kuning dan tangan kiri memegang secarik kertas.
“Ini untuk Buguyu Jingga dayi Om Adam,” kata si kecil Masyita.
Ia terkesiap manakala Masyita tiba-tiba menyerahkan bunga dan kertas dari tangan kecil kepadanya.
“Terima kasih, Nak. Masyita masuk kelas ya!” Ia menerima bunga dan surat itu dari Masyita dengan wajah yang bersemu merah.
Sebab Ibu Guru Rahmi dan Ibu Guru Murti menertawainya karena mendapat titipan surat dan bunga.
“Duh yang dapat kiriman bunga dari si Ganteng. Romantis bener si Ganteng,” ucap Ibu Guru Rahmi, tertawa terpingkal-pingkal.
Untuk pertama kalinya ia mendapat bunga dari seorang pria. Tetapi justru teman-teman gurunya terpingkal-pingkal menertawainya.
Bagaimana mereka tidak tertawa, bila bunga yang diberikan kepadanya adalah bunga wedelia yang tumbuh liar. Sering dibabat warga karena tumbuh menjalar kemana-mana. Bukan bucket bunga yang berisi kuntum mawar.
"Bilang sama si Ganteng, mending ngasih bunga plastik saja daripada bunga semak. Abadi dan tidak pernah mati,” kekeh Ibu Guru Murti.
Memang benar kata Ibu Guru Murti, orang-orang desa lebih menyukai bunga plastik yang tidak akan pernah layu dan mati. Diletakkan di dalam vas untuk menghias ruang tamu.
“Eh ngomong-ngomong apa isi suratnya?” tanya Ibu Guru Murti penuh rasa ingin tahu.
Ia yakin, tidak lama lagi akan tersebar ke seisi kampung bila ia mendapat surat dan bunga semak dari pemuda kota itu. Karena Ibu Guru Murti merupakan sahabat yang tidak bisa menyimpan rahasia.
Tentu ia tidak akan memberi tahu apa isi surat tersebut. Baru membukanya ketika berada di dalam kelas.
Ia hanya bisa membulatkan mulut membaca secarik kertas tersebut. Tidak percaya bagaimana seorang pria yang belum saling mengenal dengannya begitu mudahnya mengajak bertemu.
Di samping posyandu, bawah pohon asam pula. Tempat yang sepi di ujung bukit.
Dari ujung bukit memang orang bisa menikmati pemandangan yang indah. Pemandangan bukit seberang yang berwarna hijau, merah dan kuning oleh bunga flamboyan.
Namun bukan kebiasaannya berduaan dengan seorang pria, pria yang belum ia kenal pula. Apalagi di tempat yang sepi dimana setan memiliki ruang besar untuk menghasut.
Ia merasa pria itu menganggapnya sebagai wanita yang gampang diajak. Menyentil harga dirinya sebagai seorang wanita.
Surat itu adalah ujian bagi dirinya yang sedang belajar menjaga dengan baik apa yang seharusnya dijaga. Menjaga kehormatannya sebagai wanita.
Menjaga hatinya agar selalu dalam keadaan baik. Karena bila hati baik maka seluruh tindakan akan baik pula.
Bunga kuning dari semak, juga kertas berisi pesan Adam Halilintar, ia bawa keluar kelas. Kemudian ia masukkan ke dalam tong sampah.
duh seneng nya 😅
disiiirr buayaaaa buntung cap kadal kau Adam 😅
sa aee rayuanmu
mauttt beneeerrrr
Kayanya Viral nih tukang "bubur ganteng".