Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Evolusi Spark 6
Keheningan di dalam gua persembunyian di pinggiran Hutan Kabut Maut terasa mencekam, hanya dipecahkan oleh suara tetesan air dari langit-langit batu dan satu suara yang jauh lebih mengerikan: suara tulang yang berderak. Di atas hamparan jerami kering, tubuh Kaelan melengkung kaku. Keringat yang bercampur dengan residu hitam pekat merembes dari setiap pori-porinya, mengeluarkan aroma logam yang tajam dan uap panas yang menyesakkan.
Krek.
Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih keras, seolah-olah ada seseorang yang sedang mematahkan dahan pohon kering di dalam tubuh Kaelan. Mina, yang duduk di sampingnya dengan wajah pucat, terus memeras kain basah untuk menyeka dahi sang komandan. Tangannya gemetar saat melihat pendaran perak yang mulai memancar dari balik kulit Kaelan—bukan pendaran lembut mana Elf, melainkan cahaya dingin yang terasa berat dan menolak kehadiran energi alam di sekitarnya.
"Tahan, Kaelan... kumohon tahan sedikit lagi," bisik Mina dengan suara serak. "Jika kau menyerah sekarang, sumsum tulangmu akan hancur menjadi debu."
Kaelan tidak menjawab. Di dalam kegelapan batinnya, ia merasa seperti sedang dilempar kembali ke dalam kawah api di Ash-Valley. Setiap sel dalam tubuhnya berteriak, menuntut untuk dilepaskan dari penderitaan ini. Namun, setiap kali ia merasa akan menyerah, bayangan Bara yang dirantai di penjara bawah tanah Council dan tatapan sedih Lyra saat mereka berpisah di pilar perbatasan muncul, menjadi pasak yang menahan kesadarannya.
"Kau ingin kekuatan, bukan?" sebuah suara berat dan gelap menggema di dalam kepalanya, suara yang berasal dari esensi Void yang masih tertinggal. "Lepaskan martabatmu. Biarkan aku mengambil alih, dan aku akan memberikan kekuatan untuk meratakan Benua Langit dalam semalam."
Krek.
Satu lagi tulang rusuk Kaelan bergeser dan menyatu kembali dengan struktur yang lebih padat. Kaelan menggertakkan giginya hingga gusi darahnya merembes. Tidak, batinnya tegas. Aku lebih baik mati sebagai manusia yang cacat daripada hidup sebagai monster tanpa jiwa yang kau inginkan.
Di Benua Langit, di dalam kamar luas yang dihiasi kristal cahaya, Lyra Elviana berdiri mematung di depan jendela besar. Ia mengenakan gaun sutra Azure yang indah, namun wajahnya terlihat sepuluh tahun lebih tua. Ia bisa merasakan setiap getaran tulang Kaelan. Rasa sesak di dadanya begitu hebat sehingga ia harus berpegangan pada pinggiran meja riasnya agar tidak jatuh tersungkur.
"Putri Lyra? High Lord Valerius sudah menunggu di aula utama," suara seorang pelayan terdengar dari balik pintu yang tertutup rapat. "Pesta dansa perayaan panen akan segera dimulai. Kehadiran Anda adalah kewajiban."
"Katakan pada ayahku... aku sedang tidak enak badan," jawab Lyra, suaranya terdengar dingin dan datar.
"Tapi Putri, desas-desus mengenai keterlibatan Anda dalam insiden medis tempo hari sudah menyebar luas. Jika Anda tidak muncul, mereka akan menganggap pengucilan ini sebagai pengakuan dosa," pelayan itu bersikeras dengan nada cemas.
Lyra tertawa lirih, sebuah tawa yang penuh dengan kepahitan. "Dosa? Sejak kapan peduli pada nyawa manusia dianggap sebagai dosa di tempat suci ini?"
Pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar dengan sentakan mana yang kuat. High Lord Valerius melangkah masuk, jubah kebesarannya berkibar mengikuti aura Sovereign yang menekan. Mata sang ayah menatap tajam ke arah Lyra, tidak menunjukkan kasih sayang, melainkan tuntutan akan kepatuhan.
"Kau mempermalukan nama Elviana, Lyra," kata Valerius dengan suara rendah yang menggetarkan ruangan. "Kau menolak pesta dansa, kau menolak Pangeran Alaric, dan sekarang kau membiarkan dirimu terlihat seperti mayat hidup demi seorang budak yang kemungkinan besar sudah membusuk di Hutan Kabut Maut."
"Dia tidak membusuk, Ayah," Lyra berbalik, menatap langsung ke mata ayahnya. "Dia sedang berjuang. Dan aku bisa merasakannya. Dia memiliki martabat yang jauh lebih besar daripada semua bangsawan yang sedang tertawa di aula bawah."
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Lyra. Kepala sang putri terlempar ke samping, namun ia tidak menangis. Ia justru perlahan kembali menatap ayahnya, dengan sudut bibir yang berdarah dan mata yang memancarkan tekad yang sama sekali baru.
"Kau dicabut dari segala hak istimewamu mulai malam ini," desis Valerius. "Kau akan tetap di kamar ini dalam pengawasan ketat hingga ritual pemurnian dilakukan. Jika kau sangat ingin merasakan penderitaan budak itu, maka aku akan memastikan kau mendapatkannya."
Valerius berbalik dan melangkah keluar, memerintahkan ksatria penjaga untuk menyegel pintu kamar dengan penghalang mana tingkat tinggi. Lyra jatuh berlutut saat ayahnya pergi. Rasa panas di dadanya semakin menjadi-jadi. Ia tahu, di Terra, Kaelan sedang mencapai titik kritis evolusinya.
Di dalam gua, pendaran perak di tubuh Kaelan tiba-tiba meledak, menyelimuti seluruh ruangan dengan cahaya yang membutakan. Suara tulang yang berderak kini berubah menjadi dentuman frekuensi rendah yang membuat debu-debu di lantai gua melayang.
"Kaelan! Tekanan mananya terlalu tinggi! Kau akan menghancurkan gua ini!" teriak Mina sembari mencoba menahan energi yang meluap dengan perisai alkimia darurat.
Kaelan membuka matanya. Pupilnya kini benar-benar berwarna perak gelap dengan lingkaran ungu tipis di bagian luar. Ia tidak lagi berteriak. Dengan gerakan yang lambat namun penuh tenaga, ia bangkit berdiri. Setiap gerakan ototnya mengeluarkan bunyi krek yang kokoh, menandakan bahwa setiap inci tulangnya kini telah berubah menjadi Iron Bone yang sesungguhnya.
"Spark... Tahap Enam," bisik Kaelan. Suaranya terdengar berbeda, lebih dalam dan berwibawa, seolah-olah setiap kata yang ia ucapkan mengandung beban logam yang berat.
Ia mengepalkan tangannya, dan udara di sekitarnya seakan meledak karena tekanan fisik murni, bukan karena sihir. Mina menatapnya dengan kekaguman yang bercampur dengan ketakutan. Kaelan bukan lagi pemuda yang ia selamatkan di Sektor 4; ia telah berubah menjadi sesuatu yang belum pernah dilihat oleh dunia ini sebelumnya.
Namun, kejayaan itu segera memudar saat Kaelan melihat ke arah Mina dengan tatapan sedih. "Berapa lama aku tidak sadarkan diri, Mina?"
"Tiga hari, Komandan," jawab Mina lirih. "Dan dalam tiga hari itu, Council telah mengumumkan sesuatu yang buruk. Mereka akan mengeksekusi Bara di depan publik besok pagi di Altar Tertinggi sebagai peringatan bagi semua budak yang mencoba memberontak."
Kaelan terdiam. Rahangnya mengeras hingga otot-otot di wajahnya menonjol. Evolusi yang baru saja ia lalui memberinya kekuatan, namun berita ini memberinya amarah yang dingin.
"Mereka ingin pertunjukan?" Kaelan meraih jubah hitamnya yang compang-camping dan memakainya kembali. "Maka aku akan memberikan mereka pertunjukan yang tidak akan pernah mereka lupakan."
Mina terperangah melihat binar di mata Kaelan yang kini lebih mirip logam cair daripada jaringan organik. "Kau gila? Kau baru saja melewati proses yang hampir menghancurkan jiwamu, dan sekarang kau ingin menyerbu Altar Tertinggi? Itu adalah jantung dari kekuatan militer mereka di Benua Rendah!"
"Aku tidak punya pilihan, Mina," jawab Kaelan sembari memeriksa persendian lengannya yang kini terasa jauh lebih solid. "Bara tertangkap karena melindungiku. Jika aku membiarkannya mati sementara aku bersembunyi di gua ini, maka kekuatan Spark 6 ini tidak lebih dari sekadar kutukan bagi martabatku."
"Tapi kita hanya punya sisa dua puluh orang yang bisa bertarung!" Mina berseru, suaranya bergema di dinding gua yang lembap. "Sisanya masih terlalu trauma dengan kejadian di Hutan Kabut Maut. Kita akan dibantai sebelum kaki kita menyentuh tangga altar."
Kaelan berjalan mendekati Mina, lalu meletakkan tangannya di bahu gadis itu. Sentuhannya terasa sangat hangat, hampir seperti panas bara api yang terkendali. "Dua puluh orang yang memiliki martabat lebih kuat daripada sepuluh ribu prajurit tanpa jiwa. Aku tidak meminta mereka untuk mati bersamaku. Aku hanya meminta mereka untuk menjadi saksi bahwa manusia tidak lagi bisa diinjak."
Di Benua Langit, di balik pintu kamar yang tersegel mantra, Lyra merasakan gelombang tekad Kaelan yang menghantam batinnya. Rasa sakit dari tamparan ayahnya masih berdenyut di pipinya, namun itu terasa sepele dibandingkan dengan keberanian yang ia rasakan mengalir dari bawah sana. Ia berjalan menuju cermin besar, menatap bayangannya sendiri yang tampak rapuh namun memiliki kilat ungu yang mulai stabil di matanya.
"Kau mendengarnya, bukan?" bisik Lyra pada bayangannya sendiri. "Dia akan datang. Dia akan membuktikan bahwa mereka salah."
Tiba-tiba, segel di pintunya bergetar. Suara Lady Sylvana terdengar dari luar, lembut namun penuh racun. "Putri, saya membawa makan malam. Dan mungkin sedikit informasi mengenai persiapan eksekusi besok. Pangeran Alaric secara khusus meminta Anda untuk menonton dari balkon istana melalui proyeksi sihir."
Lyra mengepalkan tangannya hingga kuku-kukunya menusuk telapak tangan. "Katakan pada Pangeran Alaric, aku akan menonton. Aku akan menonton setiap detiknya dengan mata terbuka lebar."
"Pilihan yang bijak, Putri," sahut Sylvana dengan nada puas sebelum langkah kakinya menjauh.
Lyra tahu ia harus melakukan sesuatu. Jika Kaelan menyerbu altar, ia butuh pengalihan di tingkat atas. Ia mulai mengumpulkan sisa-sisa mananya, bukan untuk menyerang, melainkan untuk melakukan komunikasi resonansi tingkat tinggi—sebuah teknik terlarang bagi keluarga Elviana karena bisa merusak sirkuit mana sang pengguna.
Kembali ke Terra, Kaelan melangkah keluar dari gua. Sisa pasukan Legiun Karang yang sedang duduk di sekitar api unggun kecil segera berdiri saat melihat pemimpin mereka. Mereka semua terdiam, terpaku melihat perubahan fisik Kaelan yang kini tampak lebih tinggi dan memiliki aura otoritas yang tak terbantahkan.
"Saudara-saudaraku!" suara Kaelan memecah keheningan malam hutan. "Besok, mereka akan merayakan kematian salah satu dari kita. Mereka pikir dengan membunuh Bara, mereka bisa membunuh harapan kita. Mereka pikir rantai di kaki kita telah mencapai jiwa kita!"
Kaelan mengangkat tangannya yang kini berpendar perak redup. "Aku akan pergi ke Altar Tertinggi. Bukan sebagai budak yang memohon ampun, tapi sebagai manusia yang menuntut keadilan. Siapa pun yang ingin tetap di sini, aku tidak akan menyalahkan kalian. Hidup kalian telah cukup berat."
Keheningan menyelimuti pasukan itu sejenak. Lalu, satu demi satu, mereka mulai menghunus senjata mereka yang berkarat namun tajam.
"Kami bersamamu, Komandan!" teriak salah satu budak senior yang memiliki bekas luka cambuk di sekujur wajahnya. "Lebih baik mati berdiri daripada hidup berlutut!"
"Besok, kita tidak hanya menyelamatkan satu nyawa," Kaelan menatap ke langit hitam, ke arah Benua Langit yang bersinar angkuh di atas sana. "Besok, kita akan menunjukkan pada mereka bahwa besi di sumsum tulang kita jauh lebih kuat daripada emas di mahkota mereka."
Mina mendekati Kaelan, menyerahkan sebuah jubah pelindung yang telah ia beri mantra alkimia penguat. "Jika kita mati besok, setidaknya sejarah akan mencatat bahwa klan alkemis terakhir bertarung di sisi seorang raja tanpa mahkota."
Kaelan tersenyum tipis, sebuah senyum yang mengandung janji akan badai yang akan datang. Ia bisa merasakan resonansi Lyra yang menguat, seolah-olah wanita itu sedang memegang tangannya di dimensi batin. Di tengah kegelapan Hutan Kabut Maut, evolusi itu kini telah sempurna. Bukan hanya evolusi kekuatan, tetapi evolusi tekad untuk melawan takdir yang telah digariskan oleh para dewa Benua Langit.