Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Yang Bertahan dalam Sunyi
Di barak, malam turun perlahan.
Beberapa taruna mengisi waktu istirahat dengan caranya masing-masing. Ada yang tengkurap di ranjang sambil main game. Ada yang tertawa kecil menelpon keluarga. Ada pula yang tersenyum-senyum sendiri, jari mereka lincah membalas pesan dari layar ponsel.
Raska duduk bersandar di ranjangnya. Earphone di telinga, ponsel di tangannya menampilkan foto-foto lama.
Dirinya. Elvara. Dan satu video yang sudah ia putar entah berapa kali.
Ijab itu.
Suaranya. Getar di dadanya saat janji itu terucap.
Ia menontonnya lagi. Dan lagi.
Jovi, seorang taruna yang baru selesai video call dengan pacarnya melirik Raska. “Ras… gue perhatiin deh,” katanya ragu. “Selama ini lo gak pernah tuh, chat sambil senyum-senyum. Nelpon keluarga juga jarang. Lo—”
Ia terdiam. “Ah, maaf. Gue kepo.”
Raska tersenyum tipis. “Gue punya bokap,” jawabnya pelan.
“Hubungan kami… gak dekat.”
Ia menunduk, jemarinya merogoh saku celana. Dua cincin yang dijadikan bandul kalung.
“Gue punya tiga sahabat yang selalu ada.” Ia mengepalkan cincin itu di telapak tangannya. “Dan gue juga punya seseorang yang gue sayang.”
Jovi terdiam. Tak bertanya lebih jauh.
Raska kembali menatap layar ponselnya. Bukan untuk menelpon. Bukan untuk mengirim pesan. Cukup memastikan, bahwa alasan ia bertahan masih ada.
Raska memejamkan mata sejenak. Menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.
"Di mana kau sekarang?"
Pertanyaan itu berputar di kepalanya, tanpa jawaban.
"Ia sudah mencoba mencarimu, dengan cara yang paling ia tahu. Nama, jejak, bahkan bantuan orang lain. Tapi sampai malam ini, semuanya buntu."
Jemarinya meremas cincin di tangannya. Bukan marah. Bukan putus asa. Hanya satu tekad sunyi yang ia simpan rapat-rapat:
"Ke mana pun kau pergi… aku akan menemukanmu, istriku. You can run, but you're still mine."
Di antara lelah dan sunyi, Raska tahu satu hal: selama Elvara belum ia temukan, ia belum boleh tumbang.
***
Di sebuah private room restoran mewah, Lisa duduk bersama lingkaran kecil sosialita. Arisan baru saja selesai. Tumpukan amplop sudah berpindah tangan, gelas-gelas jus dingin berembun di atas meja.
Obrolan mengalir ringan. Tentang properti. Tentang saham. Tentang rencana liburan akhir tahun.
Lisa hanya tersenyum, lebih banyak mendengar.
“Eh, tapi kalau dipikir-pikir,” Vita, salah satu dari mereka, menyeringai sambil menyilangkan kaki, “Lisa ini hidupnya paling santai, ya. Nggak ngurus usaha apa-apa, tapi uang bulanan terus mengalir. Arisan juga lancar.”
Lisa terkekeh kecil. “Ah, Jeng Vita bisa aja.”
Yang lain ikut nimbrung. “Tapi serius deh, Lis. Nggak kepikiran bikin bisnis sendiri? Biar nggak minta suami terus.”
Lisa melambaikan tangan ringan, seolah topik itu sama sekali tak penting.
“Duh, saya nggak pintar bisnis. Pernah coba beberapa kali, malah buntung.”
Dusta.
Ia tersenyum malu-malu, menunduk sedikit. “Lagipula suami saya nggak suka lihat saya kecapekan. Kalau saya capek dikit aja, dia marah.”
Tawa kecil menyahut di sekeliling meja.
Dalam hati Lisa berdesis dingin.
"Sejak istri pertamanya mati, tua bangka itu bukan menyayangiku. Dia mengontrolku.
Keuanganku. Roy. Bahkan napasku."
Ia teringat kartu kreditnya yang pernah dibekukan. Hanya karena ia nekat mencoba bisnis diam-diam.
“Beruntung banget ya, Lis,” ujar yang lain, nada iri. “Suami penyayang gitu.”
Vita mengangguk. “Aku jujur iri. Suamiku terlalu sibuk. Tapi ya… urusan ranjang sih tetap aman,” katanya setengah berbisik, setengah pamer.
Tawa kembali pecah. Ada yang menutup mulut, ada yang menepuk meja.
Lisa ikut tersenyum. Bibirnya terangkat, tapi dadanya kosong.
"Beruntung?
Kalian punya suami pulang. Punya usaha sendiri. Punya sentuhan. Aku cuma istri di atas kertas."
Yang lain tertawa lebih berani. “Kalau suami udah tua, stamina ya… begitulah. Jadi hiburan di luar kadang perlu.” Ia terkikik. “Berondong lebih menantang.”
Lisa meneguk jusnya. Dingin. Asam. Tak cukup meredam panas di kepalanya.
"Aku juga ingin," jerit batinnya.
"Tapi sekali saja aku berani melangkah, aku dan Roy bisa dilempar keluar dari rumah itu."
Tiba-tiba satu suara nyeletuk, terlalu polos.
“Eh, Lis… rumah kalian yang gede itu kok malah kosong sih? Kenapa tinggal di rumah yang lebih kecil?”
Vita refleks menyikut temannya. “Eh—”
Lisa tersenyum cepat. Terlalu cepat.
“Mungkin aku nggak nyaman tinggal di rumah bekas istri pertama suamiku,” katanya ringan. “Kan enakan nggak ada kenangan wanita lain di rumah kita.”
“Iya ya,” sahut yang lain.
“Aku juga gitu. Nggak mau tinggal di rumah bekas istri lama.”
Lisa mengangguk. “Itu alasanku.”
Dusta.
"Bukan aku yang memilih.
Tua bangka itu tak pernah mengizinkanku menginjakkan kaki di rumah itu."
Ia ingat pertama kali sekaligus terakhir kali masuk ke sana. Mewah. Megah. Dingin.
Kini rumah itu hanya dihuni pembantu. Sedangkan ia… tinggal di rumah kecil.
"Menyebalkan."
Ia meneguk jusnya sekali lagi. Lebih dalam.
Seolah minuman itu bisa menenggelamkan satu fakta pahit:
Di antara para sosialita ini, Lisa adalah satu-satunya yang tidak memiliki apa pun, selain status.
***
Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan.
Elvara menjalani hari-harinya dalam ritme yang sunyi tapi teratur. Ia tetap kuliah, membantu ibunya berjualan, dan perlahan belajar berdamai dengan tubuhnya sendiri.
Ia menjaga pola makan, mengurangi porsi, memilih yang lebih sehat. Bukan demi kurus, tapi demi keselamatan kandungan yang terus tumbuh di dalamnya.
Berat badannya yang sempat menyentuh seratus kilo, kini turun lima belas kilo setelah sembilan bulan. Tubuhnya masih berisi, tapi lebih ringan. Lebih terkontrol.
Sementara itu, di belahan dunia lain—
Raska berubah.
Rambutnya mulai tumbuh sedikit, namun tetap rapi dalam potongan militer. Bahunya semakin bidang, otot-ototnya mengeras oleh latihan tanpa kompromi. Wajahnya tak lagi menyimpan kegamangan anak kaya yang lari dari luka.
Mentalnya stabil. Pandangannya tegak.
Ia sudah memimpin regu. Sering terkena hukuman kolektif karena anak buahnya, tapi menerimanya tanpa banyak bicara.
Namanya mulai dikenal instruktur sebagai taruna yang bisa diandalkan.
Hari ini adalah hari terakhir latihan ekstrem.
Peluit panjang menandai akhir sesi.
“ISTIRAHAT!”
Tubuh-tubuh yang sejak pagi diperas habis langsung runtuh ke tanah. Ada yang terduduk, ada yang telentang, ada yang hanya menunduk dengan napas tersengal.
Raska berdiri beberapa detik lebih lama dari yang lain.
Dada naik turun. Keringat menetes dari dagu ke tanah berdebu.
Hari terakhir latihan ekstrem. Seharusnya ada rasa lega.
Tapi tidak.
Sejak pagi, ada sesuatu yang mengganjal. Bukan nyeri otot. Bukan pusing. Napasnya stabil, tubuhnya patuh, namun pikirannya seperti terseret menjauh setiap kali ia mencoba fokus.
“Ras!”
Seseorang memanggil. Raska menoleh terlambat.
“Lo bengong lagi.”
Raska mengangguk singkat, lalu duduk. Ia menekuk lutut, siku bertumpu di sana. Tatapannya kosong ke tanah.
Tangannya masuk ke saku celana.
Sekali.
Lepas.
Masuk lagi.
Kali ini, jemarinya menemukan logam dingin.
Cincin.
Ia mengepalkannya. Kuat. Terlalu kuat.
"Vara..." gumamnya tanpa sadar.
Raska menarik napas panjang, lalu melepasnya perlahan. Ia menarik kalung itu sedikit keluar dari saku celana. Dua cincin beradu pelan, mengeluarkan bunyi tipis yang hanya ia dengar sendiri.
"Fokus," katanya pada diri sendiri. "Ini hari terakhir."
Ia memasukkan kembali cincin itu ke dalam celana, berdiri, lalu bergabung lagi dengan regunya.
Latihan berjalan. Perintah terdengar. Tubuhnya bergerak otomatis.
Dan tetap saja, rasa itu tidak pergi.
Elvara.
Nama itu terus berputar di kepalanya, seperti gema yang tak mau pergi.
...🔸🔸🔸...
..."Ada yang bertahan karena cinta, ada yang bertahan karena harta,...
...ada yang bertahan karena takut,...
...dan ada yang bertahan karena tak punya pilihan."...
..."Tidak semua yang tersenyum hidupnya utuh....
...Dan tidak semua yang diam sedang menyerah."...
..."Selama namamu masih kupanggil dalam diam,...
...aku belum boleh runtuh."...
..."Nana 17 Oktober "...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Kak Nana, Up Babnya 🙏🙏🙏😁