Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13.Jarak yang Dipilih
Sejak hari itu, Gio belajar satu hal: menjauh ternyata butuh tenaga lebih besar daripada bertahan.
Di kelas, ia datang lebih pagi dari biasanya dan memilih duduk di bangku depan. Bukan karena ingin berubah, tapi karena bangku belakang menyimpan terlalu banyak ingatan. Kursi di sebelahnya masih kosong ketika bel masuk berbunyi, dan untuk pertama kalinya, itu terasa aman.
Sampai Danu masuk.
Gio tidak menoleh, tapi ia tahu. Gerakan langkah itu terlalu familiar di telinganya. Cara tas dijatuhkan ke senderan kursi selalu sama. Ia memaksa dirinya fokus ke ponselnya, meski suara ricuh teman-temannya terdengar seperti gema di kepalanya sendiri.
“Heh, Gio,” suara itu akhirnya menyusul saat istirahat. “Lu kenapa pindah?” Lanjut Danu sambil menggenggam tangan Gio.
Ia sudah menyiapkan jawaban sejak pagi.
“Biar fokus.”Pendek. Netral. Tidak mengundang pertanyaan lanjutan.
Danu mengangguk, tapi Gio bisa merasakan ada sesuatu yang tertahan. Tatapan itu terlalu lama untuk sekadar penasaran. Dan itu alasan kenapa Gio tidak sanggup menatap mata itu balik.
Hari-hari berikutnya ia mengulang pola yang sama. Menolak pulang bareng. Menghindari duduk berdekatan. Mengganti kebiasaan dengan alasan—les, capek, harus cepat pulang ke rumah, urusan keluarga, atau tidak ingin main dulu. Semua terdengar masuk akal. Semua terdengar seperti kebohongan yang rapi. Sangat rapi.
Setiap malam, Gio meyakinkan dirinya bahwa ini keputusan yang benar.
Bahwa jarak akan membuat semuanya kembali normal.
Bahwa waktu akan menghapus pagi itu dari ingatan.
Bahwa perasaan bisa dikubur asal tidak disentuh.
Bahwa hatinya akan kuat menghadapi ini.
Tapi setiap kali Danu tertawa dengan orang lain, ada bagian di dadanya yang menegang. Setiap kali Danu diam lebih lama dari biasanya, Gio ingin berbalik dan meminta maaf—padahal ia sendiri belum tahu harus minta maaf untuk apa.
Ia takut.
Takut kalau yang terjadi bukan sekadar kesalahan.
Takut kalau perasaan yang selama ini ia abaikan ternyata nyata.
Dan lebih takut lagi kalau Danu merasakannya juga.
Karena kalau iya, dunia tidak akan sesederhana sebelumnya.
Siang itu, Gio sengaja keluar kelas lebih dulu. Ia tahu Danu akan menyusul. Selalu begitu. Dan hari itu, ia tidak sanggup menjelaskan apa pun tanpa kehilangan kendali.
“Gio.”
Langkahnya terhenti.
Ia menutup mata sesaat sebelum menoleh.
“Kenapa, Dan?”
“Kalo gw salah, bilang,” ucap Danu pelan. “Jangan ngilang gini.”
Kalimat itu menghantam lebih keras dari dugaan Gio. Ia ingin jujur. Ingin bilang bahwa ia menjauh karena terlalu peduli. Karena setiap kali dekat, ia takut kehilangan segalanya.
Tapi yang keluar justru versi paling aman dari kebenaran.
“Gw cuma butuh jarak.”
Tatapan Danu berubah. Bukan marah. Bukan kecewa.
Lebih ke terluka—dan itu jauh lebih menyakitkan.
“Oke,” kata Danu akhirnya. “Kalo itu yang lu mau.”
Gio mengangguk.
Padahal itu bukan yang ia mau.
Saat Danu pergi, Gio berdiri terlalu lama di koridor yang mulai sepi. Ia baru sadar—menjauh bukan berarti tidak sakit. Kadang justru lebih menyiksa, karena ia kehilangan seseorang sedikit demi sedikit, tanpa benar-benar mengucapkan perpisahan.
Malam itu, sendirian di kamar, Gio menatap langit-langit lama sekali.
Ia menjauh bukan karena tidak peduli.
Ia menjauh karena terlalu peduli.
Dan itu adalah jarak paling sunyi yang pernah ia pilih.
—bersambung—