Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.
Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.
Namun Wijaya bukan lelaki biasa.
Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.
Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisik - Bisik Desa
Natan berdiri di balik tirai, menahan napas.
Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat Asti dan Kevin berbincang di ruang tengah. Wajah mereka tenang, suara mereka rendah, terlalu rendah untuk percakapan orang yang sedang berduka.
Natan mengenal nada itu.
Nada orang yang sedang menghitung untung.
Ia mengepalkan tangan. Krisna belum mati. Ia yakin. Nalurinya, naluri yang selama bertahun-tahun menyelamatkan perusahaan—tidak pernah salah.
Ia teringat percakapan terakhir mereka.
“Natan,” kata Krisna waktu itu, suaranya serius.
“Kalau sesuatu terjadi padaku, jangan percaya siapa pun di rumah ini.”
Natan menatap Kevin yang tersenyum tipis, lalu Asti yang pura-pura mengusap mata.
Aku akan menemukanmu, Bos, batinnya. Sebelum mereka.
.
Desa Tanjung Sari terbangun lebih cepat dari matahari.
Kabut pagi masih menggantung ketika bisik-bisik sudah berjalan. Dari sumur ke warung, dari halaman ke pematang.
Lia merasakannya begitu ia melangkah keluar rumah.
Sapaan hangat menghilang. Senyum berubah singkat. Tatapan lebih lama dari biasanya.
“Kamu dengar?”
“Iya.”
“Katanya bawa laki-laki dari kota.”
“Menginap pula.”
Lia mempercepat langkah. Dadanya sesak, tapi punggungnya tetap tegak.
Ia melihat Wijaya di halaman, sedang menyapu. Tubuhnya terlihat lebih segar, meski gerakannya masih kaku. Saat melihat Lia, ia tersenyum kecil.
“Kamu mau ke mana?”
“Ke warung Bu Sari.”
“Hati-hati.”
Kalimat itu sederhana, tapi membuat langkah Lia terhenti sesaat. Tidak ada nada kepemilikan, hanya perhatian yang tulus dan justru itu yang membuatnya terasa berbahaya di mata desa.
Warung Bu Sari sunyi begitu Lia masuk.
Beberapa orang berhenti bicara.
“Pagi,” sapa Lia.
“Pagi,” jawab mereka serempak, dingin.
Bu Sari menatapnya lama. “Lia… orang asing itu benar tinggal di rumahmu?”
“Iya, Bu. Namanya Wijaya.”
“Namanya?” Bu Sari mengangkat alis. “Asli?”
Lia menelan ludah. “Nama sementara.”
Suasana menegang.
“Kamu tidak takut?” tanya seseorang.
“Aku takut,” jawab Lia jujur. “Tapi aku lebih takut meninggalkan orang yang tidak berdaya.”
Hening jatuh.
Bu Sari menghela napas. “Hati-hati, Lia. Desa ini cepat menilai.”
“Aku tahu.”
.
Di sawah, Pak Wiryo mulai melibatkan Wijaya lebih serius.
“Pegang cangkul yang benar,” katanya.
Wijaya menuruti. Telapak tangannya mulai melepuh. Sekali terpeleset, ia jatuh ke lumpur. Beberapa petani tertawa kecil.
“Orang kota,” celetuk Parman.
“Paling dua hari kapok,” sambung Tulus.
Wijaya mendengar semuanya.
Ia tidak membalas. Ia berdiri. Mengangkat cangkul lagi.
Aku tidak boleh menyusahkan mereka, pikirnya.
Ini satu-satunya tempatku sekarang.
Saat matahari menyengat, Pak Wiryo menyodorkan air. “Cukup.”
Wijaya menggeleng. “Saya mau lanjut.”
Pak Wiryo menatapnya lama. Untuk pertama kalinya, ada sesuatu yang berubah di matanya bukan kasihan, tapi hormat.
.
Menjelang tengah hari, Lia kembali ke rumah dengan langkah lebih lambat dari biasanya. Keranjang belanja terasa lebih berat, bukan karena isinya, tetapi karena tatapan-tatapan yang masih menempel di punggungnya.
Di depan rumah, ia mendapati dua perempuan berdiri tak jauh dari pagar. Mereka berhenti berbincang begitu Lia mendekat.
“Siang,” sapa Lia, mencoba tersenyum.
“Siang,” jawab salah satunya singkat.
Lia membuka pintu. Saat hendak masuk, suara itu kembali terdengar tidak terlalu pelan untuk disebut tak sengaja.
“Kalau bukan apa-apa, kenapa harus dibawa pulang?”
Langkah Lia terhenti sejenak. Tangannya menggenggam daun pintu lebih erat. Ia tidak menoleh. Ia masuk dan menutup pintu perlahan.
Di dalam rumah, Lia menyandarkan punggung ke dinding. Dadanya naik turun. Ia baru menyadari desa tidak hanya mengamati. Desa mulai menuntut penjelasan.
Di sawah, Wijaya merasakan tekanan yang sama, meski dalam bentuk berbeda.
Beberapa petani kini tidak lagi sekadar memperhatikan. Mereka memberi tugas lebih berat, lebih cepat, lebih tanpa jeda.
“Ambil air lagi,” kata seseorang.
“Cepat,” sahut yang lain.
Wijaya menuruti. Ia tidak membantah. Setiap tetes keringat seperti harga yang harus ia bayar untuk keberadaannya.
Namun tubuhnya mulai protes. Tangannya gemetar saat mengangkat ember. Pelipisnya berdenyut keras. Dunia terasa sedikit miring. Ia berhenti sebentar, memegangi kepala.
“Kamu kenapa?” tanya Pak Wiryo.
“Tidak apa-apa,” jawab Wijaya cepat. “Hanya pusing.”
Pak Wiryo menatapnya tajam. “Kalau kamu jatuh sakit, desa tidak akan menyalahkan dirimu. Mereka akan menyalahkan kami.”
Wijaya terdiam. “Aku mengerti, Pak,” katanya akhirnya. “Aku tidak akan merepotkan.”
Kalimat itu bukan janji kosong. Itu tekad.
.
Hujan turun sore itu, tiba-tiba.
Petani berlarian. Wijaya terpeleset, jatuh keras ke lumpur. Tawa kecil terdengar.
Namun ia bangkit. Bajunya kotor, wajahnya penuh lumpur. Ia tetap membantu sampai selesai.
Sore menjelang, Lia membantu ibunya menyiapkan makan malam. Tangannya bergerak otomatis, tapi pikirannya tidak tenang.
“Bu,” ucapnya pelan, “kalau nanti orang desa minta dia pergi…”
Ibu Surti berhenti memotong sayur. “Kamu mau bagaimana?”
Lia menggigit bibir. “Aku tidak tahu.”
Ibu Surti menatap putrinya lama. “Kalau kamu ingin menolong orang, kamu harus siap berdiri sendirian.”
Kalimat itu membuat mata Lia panas.
Saat pulang, Lia terkejut melihat kondisinya.
“Kamu kenapa begini?”
“Tidak apa-apa.”
Saat Lia membersihkan luka kecil di tangannya, jarak mereka dekat. Terlalu dekat untuk dua orang yang sedang diawasi desa.
“Kamu tidak harus memaksakan diri,” kata Lia pelan.
Wijaya menatapnya. “Aku tidak punya apa-apa selain kepercayaan kalian.”
Malam itu, hujan masih turun.
Wijaya duduk di teras. Kepalanya tiba-tiba berdenyut hebat. Kilasan muncul, gedung tinggi, jas rapi, suara klakson, dan seseorang memanggil namanya. Bukan Wijaya. Ia memegangi kepala. Napasnya memburu.
“Kamu kenapa?” Lia menghampiri.
“Aku melihat sesuatu,” katanya bingung. “Seperti… hidup orang lain.”
Lia duduk di sampingnya. “Mungkin ingatanmu kembali.”
Wijaya menatap hujan. “Kalau aku ingat… apakah aku masih punya tempat di sini?”
Lia tidak langsung menjawab.
Di kejauhan, kilat menyambar langit. Dan di kota, seseorang mulai bergerak untuk menemukannya.
.
Natan berdiri di depan papan besar yang dipenuhi peta dan catatan. Foto-foto tercetak seadanya ditempel dengan selotip beberapa lokasi terakhir yang mungkin dilewati Krisna sebelum menghilang.
Ia mengusap wajahnya pelan.
Tiga hari.
Tiga hari tanpa jejak yang jelas.
Telepon di tangannya bergetar. Natan mengangkatnya cepat.
“Ya.”
“Belum ada kabar,” suara di seberang terdengar ragu.
“Mobilnya ditemukan kosong di pinggir jalan. Tidak ada dompet. Tidak ada ponsel.”
Natan memejamkan mata. Itu bukan kabar baru, tapi tetap terasa menghantam.
“Lokasinya?"
“Perbatasan kota. Arah pedesaan.”
Kata terakhir itu membuat Natan membuka mata.
“Pedesaan mana?”
“Beberapa kilometer dari jalur utama. Ada banyak desa kecil di sekitar situ."
Natan menutup telepon tanpa banyak bicara. Ia menatap peta lagi, jarinya berhenti di satu titik kecil yang nyaris tidak dikenal siapa pun. Desa.
Krisna tidak pernah suka desa. Terlalu sunyi, katanya. Terlalu lambat. Kecuali kalau dia tidak punya pilihan.
Natan teringat percakapan terakhir mereka, suara Krisna yang lebih pelan dari biasanya.
“Kalau aku menghilang,” kata Krisna waktu itu,
“mereka akan berpikir aku mati.”
Natan mengepalkan tangan.
“Tidak kali ini, Bos.” Ia mengambil jaket, kunci mobil, dan sebuah foto lama, foto Krisna berdiri di depan gedung perusahaan, tersenyum tipis, penuh kendali.
“Cari desa kecil,” gumam Natan pada dirinya sendiri. “Biasanya orang tidak akan mencarinya di sana.”
Beberapa jam kemudian, mobil Natan melaju meninggalkan kota.
Gedung tinggi perlahan berganti jalan sempit. Asap dan klakson menghilang, digantikan hamparan hijau dan papan nama desa yang tidak pernah ia hafal.
Ia berhenti di sebuah warung kecil di pinggir jalan. “Permisi,” kata Natan pada pemilik warung. “Ada orang asing lewat sini beberapa hari lalu? Pria, usia tiga puluhan. Mungkin terluka.”
Pemilik warung mengernyit. “Orang kota?”
“Mungkin.”
Orang itu berpikir sejenak. “Tidak tahu. Tapi kalau orang asing, biasanya cepat kelihatan.”
Natan mengangguk. Ia kembali ke mobil. Ia tahu satu hal:
kalau Krisna hidup, ia tidak akan jauh dari orang-orang sederhana.
Tempat seperti itu selalu membuat orang kota merasa aman dan terlupakan.
Sore menjelang ketika Natan melihat papan kayu kecil di persimpangan.
DESA TANJUNG SARI
Ia memperlambat laju mobil.
Nama itu tidak berarti apa-apa baginya. Terlalu kecil untuk tercatat di peta bisnis, terlalu sunyi untuk jadi tujuan siapa pun.
Justru karena itulah Natan berhenti. Ia mematikan mesin dan menatap jalan desa yang lengang. Beberapa rumah kayu, sawah membentang, suara burung terdengar jelas.
Natan yakin akan satu hal:
jika Krisna masih hidup,
ia akan bersembunyi di tempat seperti ini, tempat di mana tidak ada yang mencarinya.
Natan membuka pintu mobil.
Dan tanpa tahu apa yang menunggunya, ia melangkah masuk ke desa yang sudah lebih dulu menyimpan rahasia terbesar hidup Krisna.