NovelToon NovelToon
Jadi Simpanan Ceo

Jadi Simpanan Ceo

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Selingkuh / Nikah Kontrak
Popularitas:344
Nilai: 5
Nama Author: Celyzia Putri

Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .

‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Dua minggu setelah penculikan, Nadia berhasil menampilkan kepatuhan sempurna. Ia makan dengan teratur, minum vitamin, dan bahkan sesekali berbincang tenang dengan Bu Rina tentang perkembangan janinnya. Di permukaan, ia adalah tahanan yang ideal.

Pagi itu, ketenangan di rumah pengasingan tiba-tiba pecah. Sebuah helikopter mendarat di helipad darurat, suara baling-balingnya memekakkan telinga.

Bramantyo Dirgantara datang.

Ia masuk ke dalam rumah, masih mengenakan setelan jas mewah yang seolah tak pernah kusut. Udara di ruangan itu seketika terasa membeku. Ia tidak melihat Nadia sebagai tawanan, melainkan sebagai aset yang sedang ia inspeksi.

"Bagaimana kondisinya?" tanya Bramantyo kepada Bu Rina, bahkan tanpa melirik Nadia yang berdiri kaku di sudut ruangan.

"Kondisi fisik stabil, Tuan. Janin berkembang sesuai usia kehamilan. Namun, tekanan darahnya sempat naik saat awal penahanan," lapor Bu Rina dengan profesional.

Barulah Bramantyo menoleh ke Nadia. Tatapannya dingin, sama seperti di hotel, tetapi kini lebih tajam, menilai dirinya sebagai pemilik properti.

"Kau patuh. Itu bagus," kata Bramantyo, nadanya meremehkan. "Kau tahu, aku tidak suka drama, Nadia. Kau hanya perlu melewati sembilan bulan ini dengan tenang. Setelah itu, hidupmu akan kuberikan kompensasi yang layak."

Nadia akhirnya angkat bicara, suaranya tenang, menyalurkan kemarahan yang ia tahan selama dua minggu. "Kompensasi? Setelah menculikku, mengurungku di tengah hutan? Kau pikir harga diriku bisa dibeli dua kali, Bramantyo?"

"Harga diri adalah ilusi, Nadia. Uang adalah kenyataan," jawab Bramantyo sinis. "Kau membawa anakku. Itu sudah mengubah semua aturan main. Sekarang, fokusmu adalah dia. Bukan emosi murahanmu."

"Aku tidak akan pernah patuh padamu," desis Nadia.

Bramantyo hanya tersenyum tipis, langkahnya mendekat. "Oh, kau akan patuh. Atau kau ingin aku menjelaskan pada ibumu bahwa 'proyek kerja luar kota' yang kau ikuti adalah proyek menyembunyikan aib?"

Nadia menunduk. Taktik Bramantyo selalu sama: ancaman pada orang yang ia sayangi.

Namun, di tengah ketegangan itu, ponsel Bramantyo berdering, menampilkan nama istrinya, Larasati. Bramantyo berjalan ke teras untuk menjawab panggilan itu, tetapi suaranya yang marah tidak bisa diredam oleh dinding tebal.

"Aku bilang, aku sedang mengurus proyek rahasia! Berhenti menggangguku, Laras! Ya, ini di luar kota! Kenapa kau harus tahu detailnya?!"

Tiba-tiba, teriakan Larasati terdengar samar dari ponsel: "...Aku tahu kau di mana! Aku melacak ponsel pribadimu! Kau bohong! Itu bukan retret perusahaan! Kau di sana dengan wanita lain, kan?!"

Konflik memuncak. Bramantyo kembali masuk, wajahnya merah padam.

"Sialan!" umpatnya. Larasati ternyata jauh lebih pintar dan curiga dari yang ia duga.

Konflik dengan istrinya memaksa Bramantyo tinggal di rumah terpencil itu selama beberapa hari, mengurus krisis rumah tangganya dari jarak jauh. Nadia menyadari, kehadiran janin dan penolakan Nadia telah memicu keretakan yang Bramantyo berusaha keras untuk tutupi.

Pada malam keempat, Bramantyo masuk ke kamar Nadia. Bukan dengan gairah, melainkan dengan aura kekalahan yang dingin.

"Istriku menuntut cerai. Dia menemukan bukti bahwa aku membeli properti ini secara diam-diam. Dan dia mengancam akan membongkar semua aib Dirgantara Group, termasuk... malam di hotel itu," ucap Bramantyo datar, sambil menunjuk Nadia.

Nadia menatapnya, ada kepuasan pahit di hatinya. "Bagus. Setidaknya aku memberimu karma, Bramantyo."

"Karma?" Bramantyo tertawa sinis. "Tidak ada karma dalam duniaku, Nadia. Hanya kalkulasi."

Bramantyo berjalan mondar-mandir, berpikir cepat. Larasati akan mengambil setengah hartanya dan menghancurkan reputasinya. Anak-anaknya akan terpengaruh. Tidak. Dia tidak bisa membiarkan itu.

Tiba-tiba, Bramantyo berhenti di depan Nadia. Keputusannya telah bulat, sedingin es.

"Kau membawaku ke sini karena kau menolak uangku. Tapi kini, kau memberiku kesempatan untuk memperbaiki kerusakan ini dengan cara yang paling efektif," katanya, menatap perut rata Nadia.

"Aku akan menceraikan Larasati. Dan aku akan menikahimu, Nadia."

Nadia tercekat, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Menikahiku? Kau gila?!"

"Aku tidak gila. Aku pragmatis. Dengan menikahimu, anak ini akan lahir sah. Aku bisa mempertahankan anakku, ahli warisku, tanpa ada skandal kehamilan di luar nikah. Kau akan menjadi istriku, simpanan yang diresmikan," jelas Bramantyo, suaranya mengandung perintah mutlak.

"Kau akan mendapatkan status, keamanan finansial, dan pengakuan. Balas dendam terbaikmu. Aku mendapatkan ahli waris dan stabilitas bisnis. Ini adalah kesepakatan terbaik untuk kita berdua."

Bramantyo mencondongkan tubuhnya, tatapannya menembus Nadia. "Pilihannya sederhana, Nadia. Menjadi istri sahku dan hidup mewah, atau aku akan memastikan kau dan janin itu lenyap tanpa jejak."

Nadia menelan ludah. Ia baru saja bertukar penjara fisik dengan penjara pernikahan, sebuah pernikahan yang didasari penculikan, kebencian, dan keharusan demi status. Ini adalah penawaran iblis yang mustahil ditolak.

akhirnya keduanya pun menikah .

Setelah resmi menikah, Nadia tahu bahwa ia harus mengubah strateginya dari pelarian liar menjadi pelarian terencana. Status istri memberinya izin berada di bawah atap Bramantyo, tetapi kurungan di rumah terpencil itu tetaplah penjara. Ia harus mencari kelemahan dalam sistem yang dibangun dengan kesempurnaan seorang CEO.

Nadia memulai 'inspeksi'nya dengan berpura-pura menikmati kebebasan terbatas yang diberikan status barunya. Ia sering meminta izin Bu Rina untuk berjalan-jalan di sekitar halaman belakang yang berpagar.

"Saya butuh udara segar dan cahaya matahari untuk kesehatan janin," katanya pada Bu Rina, menggunakan argumen yang paling pasti akan diloloskan.

Bu Rina, yang kini harus memperlakukan Nadia sebagai 'Nyonya Muda', harus mengabulkan permintaan itu, meskipun tetap mengawasi dari jarak aman.

Nadia mengamati pagar setinggi tiga meter yang mengelilingi seluruh properti. Pagar itu terbuat dari beton dan baja, dengan kabel listrik yang diduga mengalirkan tegangan tinggi di puncaknya. Tidak ada celah untuk memanjat atau merangkak.

Di luar pagar hanyalah hutan lebat. Nadia tahu, melarikan diri tanpa bekal dan navigasi yang tepat di hutan itu sama saja bunuh diri, apalagi dalam kondisi hamil muda. Ia membutuhkan peta atau, minimal, petunjuk arah jalan setapak yang dilalui helikopter dan mobil.

Satu-satunya orang yang berada di rumah itu adalah Bu Rina dan seorang petugas keamanan pendiam bernama Guntur, yang jarang terlihat tetapi kehadirannya selalu terasa. Guntur adalah penjaga di pintu utama. Bu Rina bertugas mengurus Nadia dan komunikasi internal. Keduanya sangat loyal dan profesional.

Ponsel Nadia sudah disita, dan rumah itu tidak memiliki sambungan internet eksternal—hanya sistem komunikasi internal yang terenkripsi. Namun, Nadia ingat Bramantyo menggunakan ponsel pribadinya untuk menerima telepon dari Larasati saat terjadi konflik.

Jika Bramantyo bisa menerima panggilan dari luar, berarti ada sinyal seluler di titik tertentu di sini.

Nadia mengamati Bramantyo selama beberapa hari berikutnya. Kapan pun Bramantyo harus melakukan panggilan rahasia ke kantor atau pengacara, ia akan membawa ponselnya ke sebuah tempat: Teras atas.

Teras atas adalah area terbuka yang menghadap hutan, tempat pendaratan helikopter, dan merupakan titik tertinggi di rumah itu.

Pada hari ketujuh setelah pernikahan, saat Bramantyo pergi ke ruang kerjanya yang terkunci untuk sesi konferensi video rahasia, Nadia memutuskan untuk bertindak.

Ia menunggu Bu Rina sibuk di dapur. Dengan alasan ingin melihat pemandangan, Nadia naik ke teras atas. Angin pegunungan langsung menerpa wajahnya.

Ia mengambil ponsel cadangan lama Bramantyo (yang ternyata hanya berisi kontak penting) yang ia 'curi' dari saku jas Bramantyo saat Bramantyo meninggalkannya sebentar di sofa.

Nadia menyalakan ponsel itu, hatinya berdebar kencang. Ia mencoba beberapa kali. Nihil. Ia bergerak selangkah demi selangkah, mencari titik tertinggi di teras itu.

Tepat di sudut paling ujung, di bawah peneduh kecil, layar ponsel itu berkedip. Satu bar sinyal, lemah, tetapi ada.

Nadia tidak membuang waktu. Sambil terus memastikan ponsel itu berada di titik sinyal optimal, ia membuka aplikasi peta. Sinyal yang lemah membuat pemuatan sangat lambat, tetapi Nadia berhasil menangkap beberapa informasi penting:

* Koordinat GPS rumah itu.

* Jalan setapak terdekat: Terlihat ada jalan aspal kecil yang berjarak sekitar 5 kilometer dari pagar perimeter rumah, yang kemungkinan besar adalah jalan yang digunakan Bramantyo untuk masuk sebelum membangun helipad.

Informasi ini adalah kunci. Jika ia bisa mencapai jalan itu, ia bisa mencari pertolongan.

Nadia segera mengambil foto kasar dari peta tersebut dengan kamera ponselnya, menyimpan bukti visual jarak terdekat ke peradaban. Ia tidak mencoba menghubungi siapa pun; itu terlalu berisiko.

Saat mendengar suara pintu berderit di lantai bawah, Nadia langsung mematikan ponsel dan meletakkannya kembali di saku jas Bramantyo yang tergeletak di kamar.

Ia kembali ke kamarnya, pura-pura membaca buku, wajahnya tenang.

Nadia kini memiliki peta. Ia tahu di mana ia berada dan ke mana ia harus pergi. Sekarang, masalahnya bukan lagi bagaimana Bramantyo mengurungnya, tetapi bagaimana ia akan melewati Guntur yang mengawasi dan pagar listrik itu.

hai jangan lupa tinggalkan komentar ya

karna suara kalian membuat saya semangat💪❤️‍🔥

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!