NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:262
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tinta Hitam di Paru-Paru

Mobil itu bergoyang. Kriiieeet...

Suara logam bergesekan dengan aspal terdengar menyilu, bikin ngilu gigi. Angin malam di jembatan layang yang putus itu bertiup kencang, menggoyangkan bangkai mobil yang kini bertengger labil di bibir jurang.

Posisi mobil itu miring. Ban belakang sepenuhnya menggantung di udara kosong. Hanya bumper depan dan sebagian sasis bawah yang masih menempel di aspal, menahan beban empat nyawa di dalamnya agar tidak terjun bebas setinggi lima puluh meter.

"Jangan... gerak..." desis Sarah dari kursi belakang. Suaranya sepelan mungkin, seolah getaran suaranya saja bisa bikin mobil ini jatuh.

Bobi di sebelahnya menahan napas, matanya melotot menatap kegelapan di luar jendela pecah. Satu gerakan salah, dan mereka bakal jadi headline berita pagi: "Empat Pemuda Tewas di Jembatan Putus".

Di kursi depan, Elara meringis menahan jeritan. Tangan kirinya masih tertancap pulpen. Darah hangat terus mengalir, menetes ke persneling mobil. Rasa sakitnya tajam, berdenyut selaras dengan detak jantungnya yang menggila.

Elara menoleh pelan ke arah Rian.

Rian terkulai di setir, pingsan. Atau mati? Atau pura-pura?

Kata-kata terakhirnya tadi, "Cek di bawah kursi kalian", masih terngiang di telinga Elara. Itu suara Adrian. Jelas banget itu Adrian. Tapi sekarang, sosok itu diam. Matanya tertutup. Darah mengalir dari pelipisnya akibat benturan airbag.

"Rian..." panggil Elara super pelan.

Nggak ada jawaban.

"Kita harus keluar," bisik Sarah lagi, kali ini lebih mendesak. "Mobilnya makin miring ke belakang. Berat mesin di depan nggak bakal tahan lama."

"Lewat mana?" tanya Bobi gemetar. "Pintu gue di atas jurang, Sar!"

"Lewat pintu depan kiri. Pintu Elara," instruksi Sarah, otaknya bekerja cepat meski panik. "Itu sisi yang paling aman dan nempel tanah. Elara, lo duluan. Pelan-pelan banget. Kayak lo lagi jinakin bom."

Elara mengangguk kaku. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya.

Kriiieeet...

Mobil itu berguncang lagi, moncong depannya terangkat sedikit dari aspal.

"Stop! Stop!" Bobi memekik tertahan.

Mereka membeku. Jantung mereka rasanya mau copot. Setelah mobil stabil lagi, Elara mencoba lagi. Kali ini dia menggeser bobot tubuhnya milimeter demi milimeter. Tangan kanannya yang sehat meraih gagang pintu.

Klik.

Pintu terbuka. Untungnya engselnya nggak macet.

Elara mengulurkan satu kaki ke aspal luar. Begitu sepatunya menyentuh tanah yang kokoh, rasanya pengen nangis. Dia menarik badannya keluar dengan gerakan mengalir, lalu jatuh berguling di aspal jembatan.

"Aman!" bisik Elara. "Sekarang Sarah! Maju pelan-pelan lewat celah kursi depan!"

Sarah merayap ke depan, melewati konsol tengah, dan berhasil keluar. Disusul Bobi yang merangkak kayak bayi raksasa, wajahnya pucat pasi.

Tinggal Rian.

Dia masih pingsan di kursi pengemudi. Sabuk pengamannya masih terpasang.

"Kita harus ambil Rian," kata Elara, bersiap mau masuk lagi.

"Biar gue aja," cegah Bobi, menahan bahu Elara. "Tangan lo bolong gitu, El. Biar gue sama Sarah."

Bobi dan Sarah mendekati pintu penumpang depan lagi. Bobi masuk setengah badan, mencoba meraih gesper sabuk pengaman Rian.

Klik. Sabuk terlepas.

Tubuh Rian merosot ke samping, memberatkan sisi kiri mobil. Mobil berguncang hebat.

"Tarik! Tarik!" teriak Sarah.

Bobi mencengkeram kerah baju Rian dan menariknya sekuat tenaga. Tubuh Rian yang berat terseret melewati jok, melewati persneling, dan akhirnya keluar dari pintu.

Tepat saat kaki Rian menyentuh aspal...

KRAAAK!

Bumper depan mobil itu patah karena tidak kuat menahan beban yang bergeser. Keseimbangan hilang total.

Mobil hitam itu tergelincir mundur.

Elara, Sarah, dan Bobi menyeret tubuh Rian menjauh secepat kilat.

Mereka menyaksikan mobil itu meluncur jatuh ke dalam kegelapan jurang.

Wuuushhh...

Hening selama tiga detik.

BOOOM!

Suara ledakan terdengar dari dasar jurang, diikuti bola api oranye yang membumbung tinggi, menerangi sisi bawah jembatan layang.

Mereka berempat tergeletak di aspal dingin, bermandikan cahaya api dari bawah sana. Napas mereka tersengal-sengal, bercampur uap dingin.

"Gila..." gumam Bobi, menatap langit malam. "Kita idup. Kita beneran idup."

Elara langsung memeriksa Rian. Dia menepuk pipi cowok itu. "Yan? Rian? Bangun!"

Mata Rian terbuka perlahan. Dia mengerjap, silau melihat cahaya api.

"Elara?" panggil Rian. Suaranya serak, tapi... normal. Matanya cokelat, bukan merah. "Kita... kita di mana? Mobil gue mana?"

"Mobil lo udah jadi kembang api di bawah," jawab Sarah, lega setengah mati melihat Rian yang asli sudah kembali.

Rian mencoba duduk, tapi langsung memegangi dadanya. Dia terbatuk hebat.

"Uhuk! Uhuk!"

Batuknya aneh. Basah dan berat.

"Yan, lo oke? Dada lo kena setir tadi?" tanya Elara cemas. Dia melihat tangan Rian yang menutup mulutnya saat batuk.

Saat Rian menjauhkan tangannya, Elara terpekik.

Di telapak tangan Rian, bukan darah merah yang keluar.

Cairan itu hitam pekat, kental, dan berkilau di bawah cahaya bulan.

Tinta.

Rian memuntahkan tinta hitam.

"Ini... apa?" Rian menatap tangannya dengan horor. Dia mencoba meludah, tapi yang keluar lagi-lagi cairan hitam pekat itu, menetes ke aspal. "Rasanya pait... kayak nelen toner printer."

"Mungkin... mungkin pendarahan dalam warnanya gelap?" Bobi mencoba berpikir positif, meski suaranya nggak yakin.

"Nggak, Bob," potong Sarah, mundur selangkah. "Itu tinta. Liat baunya."

Elara mendekatkan wajahnya. Benar. Baunya bukan amis darah. Baunya tajam, kimiawi. Bau tinta India yang biasa dipakai buat kaligrafi atau naskah kuno.

"Rian..." bisik Elara. "Adrian... dia ninggalin sesuatu di dalem badan lo."

Tiba-tiba, Rian mencengkeram lehernya sendiri. "Sesak... El, sesak banget! Kayak ada kertas nyangkut di tenggorokan gue!"

Rian batuk lagi, lebih keras. Kali ini, sebuah gumpalan keluar dari mulutnya bersamaan dengan cipratan tinta.

Gumpalan itu jatuh ke aspal.

Itu bukan gumpalan daging. Itu adalah selembar kertas yang diremas-remas, basah kuyup oleh tinta.

Elara, dengan tangan gemetar, memungut kertas itu dan membukanya pelan-pelan.

Kertas itu bertuliskan teks yang diketik rapi dengan font Courier New :

[BAB 22: REVISI]

"Mereka pikir mereka selamat dari kecelakaan itu. Padahal, kecelakaan itu hanyalah transisi adegan. Mereka tidak pernah keluar dari mobil. Mereka tidak pernah sampai di rumah sakit. Mereka hanya... pindah halaman."

"Maksudnya apa ini?!" teriak Bobi frustrasi. Dia melihat sekeliling. "Kita di jalan tol kan?! Ini aspal kan?!"

Bobi menghentakkan kakinya ke aspal. Keras. Nyata.

Tapi kemudian, Elara melihat ke arah kota. Ke arah gedung-gedung pencakar langit yang berkelap-kelip di kejauhan.

Ada yang salah dengan pemandangannya.

Gedung-gedung itu... bentuknya aneh. Terlalu kotak. Terlalu pipih.

Elara menyipitkan mata.

Bukan gedung.

Itu adalah tumpukan buku raksasa.

Kota di kejauhan itu tersusun dari jutaan buku yang ditumpuk menjulang ke langit. Jendela-jendelanya adalah spasi antar paragraf. Lampu-lampu kotanya adalah titik-titik dan koma yang bercahaya.

Dan langit malam di atas mereka... bukan langit gelap biasa.

Kalau diperhatikan lebih teliti, bintang-bintang itu membentuk pola baris. Langit itu adalah kertas hitam raksasa, dan bintang-bintang itu adalah debu penghapus.

"Liat..." Elara menunjuk horison dengan tangan yang masih tertancap pulpen. "Kita nggak di kota. Kita nggak di Bumi."

Rian, Sarah, dan Bobi mengikuti arah telunjuk Elara. Mulut mereka menganga.

Realitas di sekitar mereka mulai glitch. Aspal jalan tol di bawah kaki mereka perlahan berubah teksturnya. Dari kasar berbatu, menjadi halus dan berserat.

Jalan tol itu berubah menjadi pita kertas putih panjang yang membentang tanpa ujung.

Garis marka jalan yang tadinya putih, kini berubah menjadi deretan huruf kecil-kecil yang berulang:

lari lari lari lari lari lari lari lari...

"Kita kejebak di dalam cerita," bisik Sarah, lututnya lemas. "Adrian nggak ngerasuki kita di dunia nyata. Dia narik kita masuk ke dalam dunianya dia."

"Jadi... kita ini apa sekarang?" tanya Bobi, suaranya pecah. "Karakter fiksi?"

Rian memuntahkan tinta lagi. Napasnya makin berat. "Gue... gue rasa gue jadi tintanya. Dia pake tubuh gue buat nulis dunia ini."

Tiba-tiba, dari langit kertas yang hitam itu, terdengar suara gemuruh yang sangat keras. Lebih keras dari guntur.

KLAK!

Suara itu seperti hantaman raksasa logam.

KLAK! KLAK!

Elara mendongak. Di langit, dia melihat bayangan raksasa berbentuk balok logam sedang turun dengan kecepatan tinggi menuju arah mereka.

Itu adalah Tuas Mesin Tik Raksasa.

Sebuah palu huruf raksasa sedang meluncur turun untuk mencetak kalimat berikutnya di atas jalan kertas tempat mereka berdiri.

Dan huruf yang tercetak di ujung palu itu adalah huruf "T".

Lalu disusul palu lain dengan huruf "A".

Dan "M".

"A".

"T".

"TAMAT!" teriak Elara. "Dia mau ngetik kata TAMAT di atas kepala kita! Lari!"

Mereka berempat berlari pontang-panting di atas jalan kertas itu, sementara palu-palu mesin tik raksasa menghantam tanah di belakang mereka dengan dentuman yang bikin dunia bergetar.

BLAM! BLAM! BLAM!

Setiap hantaman meninggalkan kawah berbentuk huruf yang dalam.

Mereka berlari tanpa arah di dunia yang tersusun dari kata-kata, dikejar oleh ending yang ingin mematikan mereka secara harfiah.

Dan di depan sana, di ujung jalan kertas itu, berdiri sosok Adrian. Kali ini ukurannya raksasa, setinggi gedung. Dia memegang sebuah penghapus karet raksasa di tangannya.

Dia tersenyum, lalu mengangkat penghapus itu tinggi-tinggi.

"Editor datang," gema suaranya. "Saatnya bersih-bersih draf kasar."

Adrian menggosokkan penghapusnya ke jalan di depan Elara.

Jalan itu hilang.

Elara ngerem mendadak tepat di bibir jurang putih hampa. Di belakang ada mesin tik raksasa, di depan ada jurang yang dihapus.

Mereka terkepung di satu paragraf terakhir yang tersisa.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!