Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 13.
Kodasih berjalan keluar ke serambi joglo dan baginya dunia luar terasa sangat berbeda.
Burung burung seakan menatap nya lebih lama.
Angin terasa lebih licin di kulit nya.
Suara bambu yang bergesek terdengar lebih jernih.
Seakan alam mengenal sosok muda ini, tapi bingung mengingat namanya...
Kodasih duduk di kursi serambi. Ia merasakan semilir angin menyentuh kaki telanjangnya, sensasi yang sudah lama tidak ia rasakan. Sensasi dedaunan yang terbang terbawa angin menyentuh kulit muda yang peka.
Ia bisa tersenyum, tapi di balik senyum itu ada sesuatu yang tidak ia pahami.
Sesuatu yang kosong...
Sesuatu yang hilang...
Seperti ada ruang besar dalam ingatan nya yang tidak bisa ia sentuh.
Ia mencoba mengingat wajah Mbok Piyah, tapi wajah itu kabur.
Ia mencoba mengingat suara Sanah dan Pardi, tapi suara itu terdengar seperti gema yang jauh.
Ia mencoba mengingat senyum Warastri ketika pamit pergi.. Namun tak ada gambar yang muncul, hanya bayangan tanpa bentuk.
Kodasih terhuyung... Ia memegang kepala dengan kedua tangannya..
“Aku… lali…?”
(Saya… lupa…?)
Ia semakin erat memegang kepala, panik.
Ingatan tentang masa muda begitu jelas. Sungai dan sawah tempat ia bermain, saat orang tua dan saudara saudara nya yang mati kelaparan, Kang Pono yang dulu pernah menyatakan cintanya dan mencoba melamar, saat dia dengan baju lurik lusuh mendatangi Mbah Jati, saat Tuan Menir menyatakan cintanya dan memberikan liontin berlian di malam bulan purnama....
Tapi semua ingatan setelah usia tiga puluh tahun... seperti hilang ditelan kabut. Ia tahu ia pernah menjadi dukun … tapi ia tak ingat siapa saja yang pernah ia tolong.
Ia tahu ia pernah tinggal bersama orang orang… tapi wajahnya samar.
Ia tahu ia pernah mencoba mencintai seseorang… tapi namanya hilang.
Seperti Mbah Ranti telah mengambil separuh hidupnya sebagai harga untuk mengembalikan muda dan cantiknya.
“Mbah Ranti telah minta bayaran dengan segala kenangan dan ingatanku...” gumam Kodasih di dalam hati.. Ia langsung bangkit berdiri, melangkah kembali ke dalam joglo.. untuk mencoba mengingat ingat memori di dalam otaknya. Dengan benda benda yang ada di dalam joglo..
☀️☀️☀️
Ketika matahari mulai naik, terdengar langkah langkah kecil mendekati joglo.
Kodasih tersentak, berdiri dengan tubuh baru yang masih asing baginya. Dengan sangat hati hati dia melangkah ke arah jendela joglo yang berdebu.
Dari balik sela sela papan kayu jendela yang telah rapuh, Kodasih melihat satu sosok nenek nenek berjalan ke arah serambi joglo..
Tok...
Tok...
Tok...
Suara pintu joglo diketuk ketuk oleh nenek nenek itu.
“Nyi.. tolong saya.. saya sudah ke puskesmas tapi belum sembuh juga..” Suara serak nenek nenek itu.
Kodasih yang masih berdiri bingung akhirnya melangkah dan membuka pintu depan..
Nenek nenek itu tertegun, matanya melebar.
“Assalamu’alaikum… Ini… siapa…? Kok ada perempuan muda di rumah Nyi Kodasih…? Mana Nyi Kodasih?” ucap Nenek nenek itu selanjutnya sambil mengamat amati wajah Kodasih..
Nenek nenek itu lalu mengucek ucek kedua matanya, untuk memastikan apa yang dia lihat di depannya.
Kodasih membuka mulut, namun suaranya tercekat. Ia sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Karena yang paling menakutkan dari semua itu adalah:
Ia bahkan tidak ingat siapa “Nyi Kodasih”.
Seakan nama itu milik seseorang lain.
Seseorang yang dulu ia kenal, tapi kini sudah hilang dari dalam dirinya.
“Nduk.. di mana Nyi Kodasih.. aku mau minta ramuan boreh pinggang..” ucap Nenek itu lagi sambil memegang pinggangnya yang sakit.
Nenek nenek itu dari dusun bawah, ia adalah Mbah Parsini, yang dulu sering meminta obat sakit pinggang pada Kodasih.
Mbah Parsini masih berdiri terpaku di depan Kodasih, matanya tak berkedip menatap Kodasih yang kini berubah menjadi sosok muda.
Angin pagi membawa suara bambu berderik, seperti bisikan yang menambah tegang suasana.
“Anu, Nduk…” suara Nyi Parsini bergetar.
“Sampeyan… siapa? Nyi Kodasih ke mana?” tanya Mbah Parsini lagi.. karena Kodasih belum menjawab pertanyaan nya..
Kodasih membuka mulut, tapi tidak ada kata yang keluar. Ia gentar menghadapi pertanyaannya sendiri. Pertanyaan yang sebenarnya ingin ia ajukan pada diri nya:
“Siapa aku sekarang?”
Akan tetapi , sebelum Kodaih menjawab, terdengar lagi suara langkah kaki kaki dari bawah.
Dua lelaki dusun muncul, mereka adalah Sardi dan Giman, yang merupakan keluarga Mbah Parsini. Datang untuk menyusul orang tua itu..
Mereka berhenti begitu melihat sosok muda berdiri di serambi joglo.
Giman mengerutkan dahi.
“Lho… itu siapa? Ada perempuan muda dan cantik kok di rumah Nyi Kodasih? Teman Warastri? Tapi...”
Sardi menyipitkan mata, curiga.
“Jangan jangan… maling? Atau……”
Mereka mendekat dengan sikap siap menghadapi bahaya.
Kodasih melangkah mundur, bingung.
Matanya memandang sekeliling joglo yang sepi, dingin, dan asing meski ia telah tinggal di dalamnya puluhan tahun .
“A.. aaku…” suaranya lirih terbata bata
“Aku yang tinggal di sini…”
“Bohong!” bentak Giman.
“Seminggu lalu aku masih lihat Nyi Kodasih duduk di serambi! Dia perempuan sepuh. Rambutnya sudah ada yang putih, dan wajah nya rusak!
Bukan seperti sampeyan!”
Suara mereka makin keras.
Mbah Parsini memegang dadanya, takut.
“Ojo ojo… sing sepuh iku diguna guna wong iki…?”
(Apa jangan jangan yang tua itu diguna guna perempuan ini?)
Sardi langsung menoleh ke jendela joglo yang terbuka setengah.
“Mbah, sampeyan ngerti ora? Nyi Kodasih wong tuwa sakti kok ilang mengkono wae… terus ono cah ayu neng joglo kene…”
Kecurigaan dan ketakutan tiga orang dusun itu menjadi satu..
Kodasih mencoba memberi penjelasan.
“Aku… aku ini Nyi Kodasih…”
Ketiga orang dusun itu langsung mematung.
Lalu tertawa getir, tidak percaya.
Giman menunjuknya.
“Nyi Kodasih itu sudah tua, jelek.. Masa’ bisa jadi kayak kowe? Kecuali kowe… dukun sing luwih sakti saka Nyi Kodasih!”
Sardi mulai melangkah mundur.
“Wah… iki ora bener. Iki pasti ilmu hitam… kita harus panggil Pak Bayan!”
Pandangan mereka terhadap Kodasih berubah total.. dari curiga, menjadi takut. Dari takut, menjadi jijik.
Seolah ia adalah makhluk asing yang tidak seharusnya ada di tengah dusun.
Kodasih menggeleng cepat, hatinya pecah.
“Aku bukan… bukan orang jahat.
Aku hanya.. ”
Tiba-tiba ia kehilangan kata. Karena ia tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi bahkan kepada dirinya sendiri.
Mbah Parsini mencengkram selendangnya erat.
“Mbuh opo sing kedadeyan… tapi aku merinding lihat neng awakmu. Wong Nyi Kodasih ilang, tiba tiba kowe muncul. Iki ora lumrah…”
(Entah apa yang sudah terjadi.. tetapi aku merinding melihat dirimu. Nyi Kodasih hilang tiba tiba kamu muncul. Ini tidak lumrah..)
Mbah Parsini mundur dengan langkah goyah.
“Joglo iki… ora aman maneh.”
(Rumah ini… tidak aman lagi.)
Ketiga orang dusun itu tergopoh gopoh pergi meninggalkan Joglo Kodasih. Bahkan Giman langsung menggendong belakang tubuh Mbah Parsini...
...
Menjelang sore, kabar tentang “perempuan muda misterius” di rumah Kodasih menyebar cepat.
Orang-orang mulai bisik-bisik di warung.
Anak anak dilarang main ke luar rumah.
Beberapa orang penasaran dan melihat joglo dari jauh, mereka menatap dengan waspada.
Pak Bayan, yang biasanya tenang, tampak gelisah ketika mendengar kabar itu.
“Kalau benar Kodasih hilang… ini masalah besar,” ucapnya.
“Kalau tidak hilang… dan perempuan itu mengaku Kodasih… ini lebih besar lagi masalah nya..”
.....
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣