Satu kesalahan di lantai lima puluh memaksa Kirana menyerahkan kebebasannya. Demi menyelamatkan pekerjaan ayahnya, gadis berseragam putih-abu-abu itu harus tunduk pada perintah Arkan, sang pemimpin perusahaan yang sangat angkuh.
"Mulai malam ini, kamu adalah milik saya," bisik Arkan dengan nada yang dingin.
Terjebak dalam kontrak pelayan pribadi, Kirana perlahan menemukan rahasia gelap tentang utang nyawa yang mengikat keluarga mereka. Di balik kemewahan menara tinggi, sebuah permainan takdir yang berbahaya baru saja dimulai. Antara benci yang mendalam dan getaran yang tak terduga, Kirana harus memilih antara harga diri atau mengikuti kata hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Kotak Makan Siang yang Tertukar
Pintu lift terbuka dengan denting nyaring yang mengejutkan Kirana dari lamunannya yang sangat panjang. Langkah kakinya terasa sangat berat saat ia berjalan menyusuri lorong parkir bawah tanah yang pengap dan temaram. Matanya seketika membelalak sempurna saat melihat kerumunan orang mengelilingi mobil hitam milik ayahnya yang terparkir di pojok ruangan.
"Ayah! Apa yang terjadi dengan ayah saya?" teriak Kirana sambil berlari sekuat-tenaga menembus kerumunan tersebut.
Seorang pria berseragam satuan pengamanan menahan bahu Kirana dengan tatapan yang sangat prihatin. Di atas lantai semen yang dingin, ayah Kirana tampak terbaring lemah dengan wajah yang pucat pasi dan keringat dingin yang membasahi keningnya. Sebuah kotak makan siang plastik berwarna merah muda tergeletak terbuka di samping tubuh pria tua tersebut.
"Beliau tiba-tiba pingsan setelah memakan sedikit bekalnya, kami sudah memanggil bantuan medis," ucap petugas itu dengan suara yang sangat rendah.
Kirana jatuh berlutut dan menggenggam tangan ayahnya yang terasa sangat dingin dan kaku seperti es. Isak tangisnya pecah seketika, memenuhi sudut ruang parkir yang sangat sepi dan mencekam tersebut. Tanpa ia sadari, sebuah mobil mewah berwarna perak berhenti tepat di belakang kerumunan itu dengan suara derit ban yang tajam.
"Minggir semuanya! Biarkan petugas medis lewat sekarang juga!" perintah sebuah suara yang sangat berat dan penuh otoritas.
Arkananta melangkah keluar dari mobilnya dengan rahang yang mengeras dan sepasang mata tajam yang memancarkan kegelisahan yang sangat langka. Ia melihat Kirana yang sedang meraung memeluk tubuh ayahnya di tengah keputusasaan yang luar biasa dalam. Arkananta segera menghampiri Kirana dan menarik bahu gadis itu agar berdiri dengan gerakan yang cukup paksa.
"Jangan menangis seperti orang lemah di sini, ikut saya sekarang juga," bisik Arkananta tepat di telinga Kirana yang masih memerah.
Kirana menatap Arkananta dengan pandangan yang penuh dengan rasa benci sekaligus ketidakberdayaan yang mendalam. Ia merasa pria di depannya ini adalah pembawa sial yang menghancurkan seluruh kebahagiaan keluarganya dalam waktu sekejap saja. Petugas medis segera mengangkat tubuh ayahnya ke dalam tandu dengan gerakan yang sangat cepat dan profesional.
"Anda yang melakukan ini, bukan? Anda sengaja membuat ayah saya menderita!" tuduh Kirana dengan sapaan yang berapi-api di tengah isak tangisnya.
Arkananta tidak memberikan jawaban apa pun dan justru menyeret Kirana masuk ke dalam mobil peraknya yang sangat mewah. Ia menyambar kotak makan siang plastik yang tergeletak di lantai sebelum menutup pintu mobil dengan dentuman yang sangat keras. Mobil itu melesat keluar dari gedung perkantoran tersebut, mengikuti laju mobil ambulans yang meraung-raung di jalanan kota.
Di dalam mobil yang sangat dingin karena penyejuk ruangan, Arkananta membuka kotak makan siang milik ayah Kirana dengan perlahan. Ia mencium aroma masakan yang sangat aneh dan tidak lazim untuk sebuah hidangan sederhana buatan rumah tangga. Alisnya bertaut rapat saat ia melihat sepotong daging yang tampak sudah berubah warna menjadi sangat gelap.
"Ini bukan masakan ibumu, bukan?" tanya Arkananta sambil menatap Kirana yang masih terisak di kursi samping pengemudi.
Kirana menoleh sekilas ke arah kotak makan tersebut dengan tatapan yang sangat bingung dan linglung. Ia sangat mengenali kotak merah muda itu, namun isinya tampak sangat berbeda dengan apa yang ia siapkan tadi pagi di dapur. Jantungnya berdegup kencang saat ia menyadari bahwa bekal ayahnya telah ditukar oleh seseorang yang sangat jahat.
"Tadi pagi saya menyiapkan tumis sayur dan telur, tapi itu... itu tampak seperti daging busuk," jawab Kirana dengan suara yang sangat bergetar hebat.
Arkananta menutup kembali kotak plastik tersebut dan melemparnya ke kursi belakang dengan ekspresi wajah yang sangat menyeramkan. Ia mencengkeram kemudi mobilnya hingga buku-buku jarinya memutih pasi karena menahan amarah yang sangat besar. Ia menyadari bahwa serangan ini bukan ditujukan untuk ayah Kirana, melainkan untuk dirinya sendiri yang seharusnya memakan bekal tersebut.
"Seseorang sedang berusaha meracuni saya melalui tangan keluargamu, Kirana," ucap Arkananta dengan nada suara yang sangat dingin dan menusuk.
Kirana terpaku dengan mata membelalak sempurna, menyadari bahwa ia dan ayahnya baru saja terseret ke dalam perang bisnis yang sangat mematikan. Ia membayangkan apa yang akan terjadi jika ayahnya tidak memakan bekal itu terlebih dahulu sebagai bentuk rasa syukurnya. Rasa takut yang jauh lebih besar kini menghantui pikiran Kirana melebihi rasa takutnya pada kontrak kerja sebelumnya.
"Lalu siapa yang berani melakukan hal sekejam ini kepada kami?" tanya Kirana dengan sapaan yang nyaris tidak terdengar karena rasa lemas.
Arkananta tidak menjawab dan justru memacu mobilnya semakin kencang menembus kemacetan jalanan di sore hari yang mulai gelap. Ia segera mengambil telepon genggamnya dan menghubungi seseorang dengan nada perintah yang sangat tegas dan tidak terbantahkan. Ia memerintahkan untuk mengunci seluruh akses rekaman layar pemantau di dapur kantor dan rumah pribadinya segera.
"Periksa semua orang yang menyentuh kotak makan itu, jangan biarkan satu pun dari mereka lolos dari tangan saya!" perintah Arkananta kepada orang di seberang telepon.
Mobil mereka sampai di depan pintu darurat rumah sakit dengan suara derit ban yang sangat memekakkan telinga siapa pun. Kirana segera berlari keluar tanpa menunggu Arkananta, mengejar tandu ayahnya yang sedang didorong masuk ke dalam ruang tindakan. Ia merasa dunianya seolah sedang runtuh berkeping-keping di bawah kaki-kaki kokoh gedung rumah sakit yang putih.
Arkananta berdiri di samping Kirana yang sedang menunggu di depan pintu ruang tindakan dengan perasaan yang sangat kacau-balau. Ia melihat tangan Kirana yang masih memegang erat tali tas sekolahnya yang sudah sedikit robek di bagian samping. Tanpa sadar, Arkananta mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Kirana yang sangat dingin untuk memberikan sedikit kekuatan.
"Ayahmu akan selamat, saya tidak akan membiarkan siapa pun mati di tangan saya saat ini," bisik Arkananta dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.
Kirana tidak menolak genggaman tangan pria itu, karena saat ini ia benar-benar membutuhkan pegangan agar tidak jatuh pingsan. Namun, keheningan itu pecah saat seorang pria asing berpakaian serba hitam muncul di ujung lorong sambil menatap mereka dengan tajam. Pria itu memegang sebuah amplop cokelat yang tampak sangat tebal dan mencurigakan di tangan kanannya.
Arkananta menyadari kehadiran pria itu dan segera menarik Kirana ke belakang punggungnya yang sangat lebar dan kokoh. Ia merasakan firasat buruk yang sangat kuat sedang merayapi tengkuknya di tengah suasana rumah sakit yang sangat sunyi. Pria asing itu mulai melangkah mendekat dengan senyum tipis yang tampak sangat merendahkan dan penuh dengan tantangan.
"Selamat sore, Tuan Arkananta, tampaknya Anda baru saja kehilangan salah satu pengemudi terbaik Anda karena kecerobohan kecil," ucap pria asing itu dengan nada bicara yang sangat menyebalkan.
Kirana mengintip dari balik bahu Arkananta, menatap pria asing itu dengan rasa penasaran sekaligus ketakutan yang sangat besar. Ia merasa pria ini memiliki hubungan dengan kotak makan siang yang telah ditukar secara diam-diam di kantor tadi siang. Arkananta mengepalkan tangannya dengan sangat kuat, siap untuk menerjang siapa pun yang berani mengancam miliknya.
"Siapa yang mengirimmu ke sini untuk mengganggu ketenangan saya?" tanya Arkananta dengan suara rendah yang menggelegar di sepanjang koridor rumah sakit.
Pria asing itu tidak menjawab dan justru melemparkan amplop cokelat itu ke arah kaki Arkananta dengan gerakan yang sangat santai. Di dalam amplop yang terbuka sedikit, terlihat lembaran-lembaran foto yang menunjukkan Kirana sedang berada di dalam ruang kerja Arkananta tadi siang. Foto-foto itu diambil dari sudut yang membuat hubungan mereka tampak sangat tidak senonoh bagi siapa pun yang melihatnya.
"Satu langkah salah lagi, dan foto-foto ini akan tersebar di seluruh mading sekolah gadis kecil ini besok pagi," ancam pria asing itu sebelum berbalik pergi dengan sangat cepat.
Kirana jatuh terduduk di lantai rumah sakit dengan wajah yang sangat pucat seolah seluruh darah di tubuhnya telah menghilang. Ia menyadari bahwa kehancuran hidupnya baru saja dimulai melalui sebuah kotak makan siang yang seharusnya membawa kebahagiaan. Arkananta menatap kepergian pria itu dengan amarah yang meledak-ledak di dalam dadanya yang terasa sangat sesak.