Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta yang Menembus Waktu
Hujan tidak berhenti tiga hari berturut-turut setelah kepergian Riku.
Langit seperti tidak rela menutup luka yang baru saja terbuka.
Dan aku… aku mulai merasa sesuatu di dalam tubuhku berubah.
Seolah waktu sendiri berdenyut di nadiku, menunggu saat untuk meledak.
Pagi itu, Akira belum tidur.
Dia duduk di ruang menara, menatap peta yang sudah basah oleh titik-titik air dari tangannya sendiri.
Matanya merah, bukan karena marah — tapi karena kehilangan.
Aku menghampirinya pelan. “Kau belum istirahat?”
Dia menggeleng. “Setiap kali aku menutup mata, aku melihat Riku.”
Aku diam. Tidak tahu apa yang bisa kukatakan.
“Dia mengkhianatiku,” lanjutnya, suaranya berat. “Tapi anehnya… aku tidak bisa membencinya.”
“Karena dia melakukannya untuk melindungimu,” jawabku pelan.
“Ya. Tapi aku tak ingin perlindungan seperti itu. Aku ingin dia hidup.”
Dia menatapku, lalu tiba-tiba memelukku erat.
Pelukannya kaku, tapi penuh ketakutan.
“Mika, kalau sesuatu terjadi padaku… jangan buka gerbang itu.”
Aku menatapnya dari dada yang basah oleh hujan. “Kenapa?”
“Karena kalau kau melakukannya, kau mungkin tak bisa kembali.”
Aku menggenggam bajunya. “Kalau waktu memanggilku, aku akan menjawab. Tapi bukan untuk pergi darimu.”
Dia tersenyum lemah. “Waktu tidak bisa dimenangkan, Mika.”
“Aku tidak ingin menang. Aku hanya ingin bertahan.”
Kami diam lama, mendengarkan suara hujan yang tak pernah lelah.
Sore hari, aku sedang berjalan di taman istana ketika tanah di bawah kakiku tiba-tiba bergetar.
Suara gemuruh datang dari arah timur — kuil waktu.
Aku berlari secepat mungkin.
Begitu sampai, aku melihat sesuatu yang membuat darahku membeku.
Kuil yang sebelumnya ditutup kini terbuka lebar.
Simbol spiral di lantai bersinar biru terang, membentuk pusaran seperti air yang berputar cepat.
Udara bergetar, dan cahaya menelan pandangan mataku.
“Mika!”
Suara Akira terdengar dari belakang, tapi terlalu terlambat.
Angin menyedotku ke dalam pusaran itu.
Tubuhku terangkat, dan dunia seolah runtuh di sekitarku.
Lalu, gelap.
Ketika aku membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah langit jingga.
Tidak ada istana. Tidak ada hujan.
Hanya padang rumput luas dengan pepohonan sakura yang sedang gugur.
Aku bangkit pelan, tubuhku masih gemetar.
“Aku… di mana?”
Suaraku serak.
Udara di sini terasa berbeda — lebih bersih, lebih hangat.
Lalu aku melihatnya: menara batu tinggi di kejauhan, dengan bendera yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Aku berjalan ke sana, dan saat matahari mulai turun, aku mendengar suara kuda dan teriakan.
“Lindungi Kaisar Ryou!”
Aku bersembunyi di balik batu besar.
Di depan, sekelompok prajurit sedang bertarung melawan pasukan pemberontak.
Dan di tengah mereka — seseorang dengan wajah yang sangat kukenal.
Akira.
Tapi bukan Akira yang kukenal.
Wajahnya lebih muda, sorot matanya liar, tapi keberaniannya sama.
Darah menetes di pelipisnya, tapi dia tetap berdiri tegak.
“Jangan biarkan mereka menembus gerbang istana!” teriaknya.
Aku terpaku.
Dia mirip sekali, bahkan suaranya… sama.
Apakah ini mimpi? Atau… aku benar-benar kembali ke masa lalu?
Seorang prajurit melihatku. “Siapa kau!?”
Aku panik, berlari, tapi tersandung batu.
Lalu seseorang menangkap tanganku dan menarikku ke balik tenda.
Aku hampir menjerit, tapi saat melihat wajahnya, suaraku hilang.
Dia — lelaki yang memanggilku “Mika” di mimpiku.
Kaisar Ryou.
“Tenang,” katanya lembut. “Kau terluka?”
Aku menggeleng cepat.
Dia menatapku lama, seolah mencoba mengenali sesuatu di wajahku.
“Tidak mungkin…” gumamnya. “Kau… kembali?”
Aku mundur satu langkah. “Aku tidak mengerti.”
Dia tersenyum samar, tapi matanya basah.
“Waktu mengembalikanku pada hari ini. Aku tahu aku akan melihatmu lagi.”
“Apa… maksudmu?”
Dia mendekat, memegang tanganku. “Aku Ryou. Kaisar pertama dari Hayashida. Dan kau… adalah wanita dari langit yang datang bersama hujan tujuh tahun lalu.”
Aku menatapnya, napasku tercekat.
“Tujuh tahun lalu…?”
“Ya. Kau menyelamatkanku dari kematian. Tapi setelah itu, kau menghilang di tengah badai. Aku pikir waktu sudah menelanku. Tapi sekarang… kau di sini lagi.”
Aku menatapnya lama. “Jadi aku memang pernah ada di masa ini?”
“Tidak hanya pernah,” katanya lembut. “Kau meninggalkan jejak di setiap bagian hidupku.”
Aku menarik tanganku pelan. “Tapi aku bukan dia.”
Dia menatapku dalam. “Mungkin tidak. Tapi waktu tidak pernah mengirim orang yang salah.”
Hari-hari berikutnya, aku tinggal di istana kecil yang dipimpin Ryou.
Dia memperlakukanku seolah aku adalah Mika yang dulu — seseorang yang ia cintai dan kehilangan.
Dan anehnya, setiap kali dia menatapku, aku merasakan sesuatu di dada yang hangat tapi menyakitkan.
Seolah tubuhku mengenali sentuhan yang pikiranku tolak.
Setiap malam, aku bermimpi tentang dua dunia: masa depan dan masa lalu.
Tentang Akira yang mencariku di hujan, dan Ryou yang memanggil namaku di masa lampau.
Keduanya terasa nyata.
Keduanya mencintaiku.
Dan aku mulai takut, karena waktu tidak akan membiarkan dua cinta hidup berdampingan.
Suatu malam, Ryou memanggilku ke ruang doa.
Cahaya lilin bergetar lembut, dan hujan turun pelan di luar.
“Dulu,” katanya pelan, “aku membuat kesalahan. Aku mencoba membuka gerbang waktu untuk menahanmu di sisiku. Tapi yang kulakukan malah menghancurkan segalanya.”
Aku menatapnya. “Jadi, perang itu… karena sihir waktu?”
Dia mengangguk. “Ya. Dan aku membayar mahal. Aku kehilanganmu.”
Dia menatapku lama. “Sekarang waktu memberiku satu kesempatan lagi. Tapi aku takut kalau aku memegangmu lagi, dunia akan runtuh untuk kedua kalinya.”
Aku menatap matanya. “Mungkin memang begitu. Tapi cinta tidak pernah butuh izin dari waktu.”
Dia tersenyum tipis. “Kau masih sama.”
“Aku bukan dia,” kataku lembut. “Aku Mika yang lain. Tapi perasaanku… mungkin sama.”
Dia mengangkat tanganku dan menciumnya perlahan.
“Aku tidak tahu berapa lama waktu memberiku kesempatan ini,” katanya, “tapi kalau dunia harus berakhir, biarlah berakhir denganmu di sisiku.”
Air mata menetes di pipiku.
“Aku tidak ingin kehilangan siapa pun lagi, Ryou.”
“Kadang kehilangan adalah cara waktu untuk memastikan cinta tidak hilang,” balasnya pelan.
Tapi sebelum aku bisa menjawab, langit di luar memekik.
Suara petir mengguncang bumi.
Cahaya biru menyala di altar kuil, memecah langit menjadi dua.
Ryou menatap ke luar. “Gerbangnya terbuka lagi…”
Dia menatapku cepat. “Mika, dengar aku. Kalau kau melewatinya sekarang, kau akan kembali ke masa depan. Tapi kalau kau tetap di sini, dunia ini akan runtuh lagi seperti dulu.”
Aku menatap pusaran cahaya itu — gerbang waktu.
Di dalamnya, aku melihat bayangan Akira, berteriak memanggilku.
“Mika! Kembali padaku!”
Tubuhku gemetar.
Air mata memburamkan pandanganku.
Ryou menggenggam tanganku erat. “Pergilah. Kau harus menutup lingkaran ini.”
“Tapi—”
“Cinta kita sudah menembus waktu sekali. Tidak perlu dua kali untuk membuktikan bahwa itu nyata.”
Dia tersenyum — senyum terakhir yang penuh damai.
“Aku akan menunggumu di hujan berikutnya.”
Aku menjerit namanya, tapi angin menarik tubuhku ke arah gerbang.
Segalanya berputar cepat.
Cahaya menelan semuanya.
Dan saat aku membuka mata, aku sudah kembali — di istana Akira, di tengah malam hujan.
Aku terjatuh di lantai kuil yang sama.
Akira berlari menghampiri, memelukku erat. “Kau kembali…”
Aku menatapnya, air mata mengalir tanpa bisa ditahan.
“Ryou… dia membantuku kembali.”
Akira terdiam.
Aku menatapnya dalam. “Dia bilang… cinta kita tidak perlu menembus waktu dua kali.”
Akira tersenyum kecil. “Maka biar kali ini jadi yang terakhir.”
Hujan turun lebih lembut malam itu.
Kami berdiri di bawahnya, dua jiwa yang pernah terpisah oleh zaman, kini kembali bersatu.
Dan di antara suara hujan, aku berbisik pelan:
“Cinta tidak menembus waktu untuk membuktikan dirinya…
tapi untuk mengingatkan bahwa bahkan waktu pun tak berdaya melawannya.”