NovelToon NovelToon
Langit Jingga Setelah Hujan

Langit Jingga Setelah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kelahiran kembali menjadi kuat / Keluarga / Romansa Fantasi / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Chicklit / Fantasi Wanita
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: R²_Chair

Jingga seorang gadis cantik yang hidupnya berubah drastis ketika keluarga yang seharusnya menjadi tempat pulang justru menjadi orang pertama yang melemparkannya keluar dari hidup mereoka. Dibuang oleh ayah kandungnya sendiri karena fitnah ibu tiri dan adik tirinya, Jingga harus belajar bertahan di dunia yang tiba-tiba terasa begitu dingin.

Awalnya, hidup Jingga penuh warna. Ia tumbuh di rumah yang hangat bersama ibu dan ayah yang penuh kasih. Namun setelah sang ibu meninggal, Ayah menikahi Ratna, wanita yang perlahan menghapus keberadaan Jingga dari kehidupan keluarga. Davin, adik tirinya, turut memperkeruh keadaan dengan sikap kasar dan iri.

Bagaimanakan kehidupan Jingga kedepannya?
Akankan badai dan hujannya reda ??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R²_Chair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Setitik rindu dari sang Arjuna

Di kota besar yang padat dan tak pernah benar-benar tidur, Arjuna melangkah cepat melewati koridor kampus tempat ia mengajar. Gedung-gedung tinggi menjulang, mahasiswa hilir mudik membawa buku dan laptop, dan suara kendaraan tak pernah berhenti terdengar dari kejauhan. Hari-hari Arjuna selalu penuh mengajar kelas fotografi media, memberi bimbingan skripsi, melakukan penelitian, hingga mengurus proposal pameran.

Namun di tengah kesibukan yang menumpuk seperti berlapis-lapis awan mendung, ada satu hal yang terus mengisi benaknya.

Seseorang bernama Jingga.

Seseorang yang ia temui secara tidak sengaja pada malam hujan, yang senyumnya ia lihat hanya beberapa kali, namun cukup untuk menetap lama di pikirannya. Seseorang yang datang dalam bentuk ingatan hangat setiap kali ia merasa letih.

Saat bertemu di desa itu,bukanlah pertama kali bertemu karena sejujurnya saat malam hujan itu dari jauh ia melihat seorang gadis yang berjalan dengan tangisnya dan tak lama datang mobil kake Arga dan membawanya pergi.

Dan kini, seseorang yang memenuhi meja kerjanya.

Di sudut meja kantor Arjuna, tepat di samping tumpukan jurnal, berdiri sebuah bingkai kayu kecil berisi foto Jingga. Foto itu ia ambil diam-diam saat bertemu di ladang dekat rumah Kake Arga Jingga sedang menatap ke samping dengan rambut basah oleh hujan, mata terlihat fokus pada sesuatu yang jauh, dan cahaya sore menempel lembut di wajahnya.

Bukan foto potret resmi. Bukan foto yang sempurna secara teknis hanya sebuah candid yang bahkan Jingga pun tak tau. Namun bagi Arjuna, foto itu punya cerita. Cerita tentang seseorang yang datang ke hidupnya tiba-tiba, lalu menetap di pikirannya, entah untuk alasan apa.

Setiap pagi sebelum mulai bekerja, ia selalu melihat foto itu selama beberapa detik.

Bukan untuk melamun.

Hanya untuk mengingat bahwa di suatu tempat, di desa yang jauh dari kebisingan kota, ada seseorang yang membuatnya merasa ingin kembali.

“Pak Arjuna, ini revisi proposal pameran yang Bapak minta.”

Arjuna mengangkat wajahnya. Seorang mahasiswa tingkat akhir menyerahkan map revisi. Ia tersenyum singkat dan mengangguk.

“Letakkan saja di meja saya. Nanti saya cek sore.”

Mahasiswa itu pamit dengan sopan.Arjuna kembali menatap komputer, namun pikirannya tidak benar-benar fokus. Jadwal hari ini penuh kelas pagi, rapat siang, presentasi sore tapi sesekali ia berhenti dan memandangi bingkai itu lagi.

Ia mencoba kembali bekerja. Namun sebuah bayangan terus menghampirinya. Jingga yang tersenyum kecil saat memegang kamera kecil pemberiannya. Jingga yang tampak ragu-ragu, namun penuh semangat belajar. Jingga yang seakan selalu membawa nuansa lembut ke mana pun ia melangkah.

Arjuna menutup laptop sebentar. Menarik napas. Menyadari betapa rindunya ia pada sosok itu.

Namun ia tidak bisa sekadar pulang ke desa itu begitu saja. Ia sedang berada di masa paling padat dalam satu semester. Ada deadline penelitian yang menuntut. Ada mahasiswa yang harus lulus tepat waktu. Ada jadwal kuliah yang tidak bisa ditinggalkan.

Lagipula, ia tidak tahu apakah Jingga masih ada di desa itu. Atau apakah ia baik-baik saja.

Dan itulah hal yang paling mengganggunya.

Arjuna meraih ponselnya. Ia membuka aplikasi pesan, menatap layar kosong tanpa nama yang bisa ia hubungi. Ia tidak memiliki nomor Jingga. Tidak pernah bertanya. Tidak pernah meminta. Pertemuan mereka terlalu singkat, terlalu mendadak, terlalu tidak direncanakan.

Ia tersenyum kecil.

“Harusnya waktu itu aku tanya nomor dan nama jelasnya lebih dulu,” gumamnya tanpa suara.

Sore hari, setelah kelas terakhir selesai,Arjuna kembali ke ruang kerjanya. Ruangan itu mulai dipenuhi cahaya oranye yang masuk dari jendela kaca besar. Kota tampak sibuk di bawah sana, tapi ruangan itu tenang hanya ada suara AC dan halaman majalah foto yang ia buka.

Namun belum sempat ia mulai membaca, matanya kembali tertarik pada bingkai foto itu.

Untuk pertama kalinya sejak pagi, ia menghampiri meja kerja dan mengambil bingkai itu dengan kedua tangan. Ia menatap foto Jingga lama sekali lebih lama dari biasanya.

Mungkin karena lelah.

Mungkin karena rindu semakin terasa jelas.

Atau mungkin karena sudah terlalu lama ia memendam sesuatu yang tidak ia pahami.

Ia menaruh bingkai itu kembali.

Lalu ia berdiri dan pergi ke rak buku. Di rak itu terdapat beberapa album foto yang ia simpan selama bertahun-tahun. Ia memilih satu album besar dengan sampul hitam, membawanya ke meja, dan mulai membukanya.

Album itu berisi potret dokumentasi berbagai lokasi yang pernah ia kunjungi seperti pantai, gunung, kota asing, desa terpencil. Foto-foto yang ia ambil saat ia masih aktif memotret untuk jurnal perjalanan dan pameran seni.

Namun ketika sampai di halaman keempat puluh, ia berhenti.

Di sana, di halaman itu, ada foto-foto desa tempat Jingga kini tinggal. Sungai kecil, ladang hijau, pasar pagi, dan potret rumah-rumah dengan tiang bambu.

Foto-foto itu ia ambil beberapa tahun lalu, ketika ia masih menjadi asisten peneliti dan mengunjungi desa untuk keperluan laporan. Saat ia melihat foto-foto itu, hatinya tercengang.

Ternyata desa itu selalu menjadi bagian dari hidupnya jauh sebelum ia bertemu Jingga.

Ia tidak pernah menyangka bahwa suatu hari ia akan bertemu seseorang yang membuatnya ingin kembali ke tempat itu.

Arjuna menutup album pelan.

Ada sesuatu di dalam dirinya yang berubah pelan-pelan, seperti daun yang bergeser tertiup angin.

Malam itu, setelah pulang dan membersihkan diri, Arjuna duduk di kamarnya. Ruangan itu sederhana namun rapi meja kerja, rak buku, lukisan-lukisan kecil, dan foto Jingga yang juga ia pajang di samping ranjang.

Kini, ia menatap foto itu dalam suasana berbeda—lebih tenang, lebih jujur, lebih penuh renungan.

“Bagaimana kabarmu, Jingga?”

Pertanyaan itu muncul dalam hati,sebuah keinginan sederhana dari seseorang yang peduli namun tanpa sadar itu adalah sebuah kerinduan.

Ada kerinduan yang tumbuh natural. Bukan karena kedekatan yang intens, bukan karena interaksi panjang, namun karena kesan yang kuat dan keinginan untuk memastikan seseorang baik-baik saja.

Ia teringat pertama kali melihat Jingga. Malam hujan. Gadis itu berjalan sendiri dengan pakaian basah dan wajah pucat. Lalu pingsan ketika hampir tertabrak mobil. Saat itu, Arjuna hanya bisa melihat dari jauh karena saat akan menolong,mobil Kake Arga sudah datang duluan.

Ia tidak menyangka bahwa keputusan itu akan membuat nama “Jingga” terus menghampiri pikirannya setiap hari.

Arjuna membuka jendela kamarnya. Angin malam masuk membawa aroma hujan yang masih tersisa dari sore tadi. Suara kota mereda perlahan.

Di luar sana, lampu-lampu gedung berkedip pelan. Namun tidak ada satu pun yang bisa menghilangkan rasa merindukan desa yang tenang dan seseorang yang kini memenuhi pikirannya.

Besoknya, di kampus, seorang rekan dosen menyenggol bahu Arjuna.

“Kamu kelihatan sering melamun akhir-akhir ini,” kata rekannya sambil bercanda. “Ada yang dipikirkan?”

Arjuna tersenyum kecil, mencoba menahan agar ekspresinya tidak terlalu kentara.

“Banyak kerjaan,” jawabnya singkat.

Rekannya tertawa, tidak menyadari betapa jujur tapi juga tidak lengkap jawaban itu.

Arjuna melanjutkan harinya seperti biasa. Mengajar. Membalas email. Mempersiapkan materi. Mengoreksi tugas. Namun setiap jeda kecil tetap diisi oleh bayangan yang sama: sosok Jingga yang memegang kamera kecil itu dengan wajah penuh antusias.

Ia seperti bisa mendengar Jingga bertanya dengan polos, “Apa aku boleh belajar lagi, Kak?”

Pertanyaan sederhana, tapi selalu membuatnya tersenyum.

Apakah ia akan kembali ke desa itu?

Apakah ia akan menemui Jingga lagi?

Apakah perasaan ini hanya imajinasi sesaat atau sesuatu yang lebih dalam?

Arjuna tidak tahu.

Yang ia tahu hanyalah satu,Ia ingin melihat Jingga lagi.Sekali saja pun tidak apa-apa untuk meredam rasa rindunya.

......🍀🍀🍀......

...🍃Langit Senja Setelah Hujan🍃...

1
Danny Muliawati
hingga gmn dg kuliah nya yah
Puji Hastuti
Aq suka ceritanya kk 💪💪💪
𝐈𝐬𝐭𝐲
lanjut thor
𝐈𝐬𝐭𝐲
punya bapak kok bego bgt, gak percaya ma anak sendiri, suatu saat dia akan menyesal...
𝐈𝐬𝐭𝐲
baru baca bab awal udah bikin nyesek ma emosi thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!