Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13: Makan malam
“Apa aku terlalu niat…?” lirih nya namun ia tetap melangkah.
...
Dan benar saja... Begitu taksi berhenti di depan rumah yang dimaksud, Areum terdiam sesaat. Sebuah rumah besar bergaya modern-minimalis berdiri di tengah area perumahan elite—mencolok, namun tetap elegan. Lampu taman yang temaram, pagar otomatis yang terbuka perlahan, serta jalan masuk berlapis batu alam menyambut kedatangannya.
“Ini... rumah mereka?” gumam Areum pelan, nyaris tak percaya. Ada kesan hangat, tapi juga menakutkan. Ia menarik napas panjang, membayar taksi, lalu melangkah masuk perlahan melewati gerbang utama.
Di dalam, Ji-Sung dan Taeyoon yang sedang menyiapkan beberapa hal di ruang makan sempat menoleh saat mendengar suara pintu depan dibuka oleh pelayan. Saat Areum melangkah masuk dengan ragu dan menyapa pelan, keduanya terdiam beberapa detik. Mata Ji-Sung sedikit melebar; Taeyoon bahkan menjatuhkan tisu dapur dari tangannya.
“Areum...?” Ji-Sung akhirnya bersuara duluan, nadanya heran, tapi juga mengandung sedikit kekaguman.
“Selamat malam, sajangnim. Maaf jika saya terlambat,” ujar Areum sambil menatap mereka dengan malu-malu. Tangannya meremas tali tas, jantungnya berdegup tak karuan. Hal itu membuat Taeyoon cepat-cepat menggeleng sambil tersenyum lebar.
“Aniya, kami belum mulai. Masih menunggu beberapa orang lagi. Ayo, mari duduk. Apa kamu sedikit bingung mencari rumahnya?” ujar Taeyoon ramah, mengajak Areum duduk di sofa di mana sudah ada beberapa orang yang lebih dulu datang.
“Iya, sedikit, sajangnim. Saya tidak sangka ada rumah sebesar ini di tengah padatnya Seoul,” ujar Areum sembari tersenyum lembut. Sedangkan Ji-Sung yang sedari tadi menahan senyum kecil akhirnya memilih mengalihkan pandangan, berusaha menyembunyikan ekspresi canggungnya.
“Ya... ini rumah keluarga kami. Orang tua kami meninggalkan ini untuk kami semua,” ujar Taeyoon sembari tersenyum kecil, matanya hangat tapi teduh.
“Akh, begitu...” ujar Areum sambil mengangguk sopan.
“Kalian mengobrol saja sembari menunggu, silakan nikmati makanan yang ada,” ujar Taeyoon lembut, membuat semuanya mengangguk.
Pandangan Areum langsung tertuju pada dua wanita dan satu pria lain yang sedang duduk di ruang tamu itu juga. Mereka adalah staf café lain yang juga tampak berpakaian rapi. Wajah mereka sama-sama menunjukkan kebingungan dan rasa gugup yang terselubung.
“Kira-kira ada berapa orang lagi yang belum datang?” tanya salah satu wanita yang menyapa Areum dengan ramah. Namanya Sumin—staf dapur yang dikenal cekatan dan rajin. Ia tersenyum kecil sambil meneguk minumannya, mencoba mencairkan suasana yang terasa formal.
“Aku tidak tahu... mungkin lebih banyak dari perkiraan,” ujar Areum tersenyum sopan.
“Siapa namamu?” tanya Sumin sembari tersenyum dan mengulurkan tangannya pada Areum.
“Aku Min Areum,” jawab Areum, menjabat tangan tersebut sopan. Jika dilihat, Sumin tampak sedikit lebih tua darinya.
“Aku Shin Sumin. Sepertinya kamu masih muda, ya,” ujarnya sambil tersenyum lembut.
“Ne... aku kelahiran 2003,” ujar Areum, yang membuat Sumin mengangguk pelan.
“Sudah kuduga. Aku lahir tahun 1994,” balasnya sambil tertawa kecil, membuat Areum ikut tersenyum ramah pada wanita yang lebih tua darinya itu.
Selain berkenalan dengan Sumin, Areum juga berkenalan dengan seorang pria bernama Hyunwoo—seorang barista senior di cabang café lain yang berusia sekitar 25 tahun, serta Ji-won, wanita yang juga seorang kasir di cabang berbeda, berusia sekitar 24 tahun. Mereka sempat asyik mengobrol ke sana kemari tentang banyak hal, mulai dari pekerjaan, pelanggan, hingga gosip ringan antar-cabang. Sumin sempat menatap Areum dengan tatapan kagum.
“Aigoo... kau tahu tidak? Nama kamu sedang ramai dibicarakan di forum staf. Semua orang memuji keberanianmu waktu kejadian itu.” ujar nya yang membuat Areum terkekeh pelan, pipinya memanas tanpa bisa dicegah.
“Aniya, aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan,” ujarnya merendah.
“Jinjja, kau hebat sekali, Areum-ssi. Pantas saja sajangnim terlihat begitu bangga padamu,” ujar Hyunwoo sambil tersenyum ramah, matanya tampak tulus.
“Aku hanya melakukan sebisaku, sunbaenim,” balas Areum sopan, sedikit tersipu. Tangannya sempat menyentuh poni yang jatuh ke keningnya, berusaha menyembunyikan rasa malu.
Suasana perlahan menjadi lebih ringan. Tawa kecil terdengar di antara percakapan mereka, namun seketika suasana itu berubah saat langkah kaki terdengar dari arah tangga marmer. Ji-Sung muncul tak lama kemudian, mengenakan pakaian kasual namun tetap rapi seperti sebelumnya. Aura tenangnya langsung menarik perhatian semua orang di ruangan.
Seketika percakapan berhenti. Semua pandangan tertuju padanya—termasuk Areum, yang tiba-tiba merasakan jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
“Sepertinya staff terakhir tidak akan datang, mari kita makan malam terlebih dahulu lalu kita bahas tentang tujuan kami mengundang kalian semua," ujar Ji-Sung mencairkan suasana. Mereka semua akhirnya mengikuti langkah Ji-Sung menuju ruang makan dan melihat Taeyeon sudah duduk dengan tenang di sana hingga akhirnya mereka berenam duduk mengelilingi meja makan yang panjang dengan desain modern, hidangan khas Korea terhidang lengkap: bulgogi, japchae, kimchi, dan sup rumput laut hangat.
Namun suasana tetap agak canggung di awal. Para staf terlihat kaku, tak enak hati mau bicara terlalu bebas. Areum pun merasa tak bisa bersikap seperti biasanya—terutama karena ia sadar mata Ji-Sung beberapa kali terarah padanya diam-diam. Taeyoon berusaha cerewet agar suasana lebih cair, tapi beberapa jeda canggung tetap terasa, di tengah acara itu tiba-tiba Sumin berbisik pada Areum.
“Rasanya seperti sedang makan di rumah chaebol...”ujar nya pelan tapi cukup untuk membuat Areum menahan tawa, mengangguk setuju. Benar-benar jauh dari yang ia bayangkan. Bukan suasana keluarga biasa.
Namun perlahan suasana mencair—terutama ketika Ji-Sung mulai membuka obrolan ringan, bertanya tentang pengalaman mereka selama dua minggu pertama bekerja. Tawa pelan mulai terdengar, dan sedikit demi sedikit, dinding kecanggungan mulai runtuh. Tapi di tengah kehangatan itu, entah kenapa... Ji-Sung tetap saja beberapa kali mencuri pandang ke arah Areum. Bukan pandangan atasan ke staf. Tapi pandangan yang penuh rasa ingin tahu, seolah dia berusaha mengingat... atau mengenali sesuatu. Mereka melanjutkan makan nya dengan tenang sesekali Hyunwoo menjawab pertanyaan Ji-Sung dan mereka tertawa pelan untuk menanggapi candaan Taeyoon, sedangkan areum hanya sesekali tersenyum tipis dia memang bukan tipe wanita yang mudah tertawa karena humor remeh, tapi di tengah keheningan itu Ji-Sung kembali membuka pembicaraan.
“Sebenarnya saya sedang menunggu seseorang,” ucap Ji-Sung, meletakkan gelas airnya dan menatap para staf yang kini mulai penasaran.
"Ini tamu utama nya sajangnim?" Ujar sumin dengan nada penasaran yang tak bisa dia sembunyikan.
“Iya... beliau adalah partner bisnis kami. Tujuan saya mengundang kalian malam ini bukan cuma untuk makan bersama. Saya ingin mempromosikan kalian... pada beliau.” ujar Ji-Sung yang membuat Hyunwoo dan Areum serta tentunya Sumin sedikit terkejut, karena yang mereka pikir promosi adalah membahas tentang promosi kafe bukan promosi jabatan.
“Promosi?” gumam Sumin, bingung.
“Maksud Sajangnim, ada di antara kami yang akan pindah bekerja?” tanya Hyunwoo, agak hati-hati tapi jelas penasaran, hal itu langsung membuat Ji-Sung mengangguk pelan.
“Tepat. Ini sudah menjadi kebiasaan kami, bertukar staf antar cabang atau bahkan antar brand. Dengan begitu, staf bisa berkembang, dan kami bisa menilai potensi kalian di tempat berbeda.” ujar Ji-Sung kembali menjelaskan tapi sebelum ada yang sempat menanggapi, bel pintu rumah berbunyi. Ji-Sung dan Taeyoon otomatis berdiri.
“Sepertinya beliau sudah datang,” ujar Taeyoon sambil berjalan menuju pintu. Hingga beberapa detik kemudian dia kembali bersama seorang pria berpenampilan rapi dengan setelan semi-formal memasuki ruang makan dengan langkah santai. Senyum ramahnya langsung menghangatkan suasana. Wajahnya yang familiar bagi dua bersaudara Park itu menambah kesan hangat dalam pertemuan malam itu.
“Maaf aku telat. Jalanan benar-benar parah malam ini, aku sempat khawatir acara makan malamnya selesai duluan.” katanya sambil menjabat tangan Ji-Sung namun tidak dengan Taeyoon karena sebelumnya sudah saat Taeyoon menjemput nya masuk.
“Kau datang tepat waktu, Hyung, kami baru saja memulai pembicaraan serius.” sahut Ji-Sung yang membuat Minjoon tersenyum dan melirik ke arah para staf yang duduk rapi di sisi meja. Ia mengangguk sopan lalu berkata.
“Senang bertemu dengan kalian. Aku Kim Minjoon. Terima kasih sudah meluangkan waktu malam ini.” ujar Minjoon menatap satu persatu orang yang ada di sana. Begitu juga dengan para staf yang membungkuk hormat dan memperkenalkan diri satu per- satu.
Minjoon mengambil kursi kosong di dekat Ji-Sung dan mulai terlibat dalam obrolan ringan. Mereka bertukar kabar soal cabang-cabang café, strategi promosi, hingga tren pelanggan yang mulai berubah sejak musim berganti. Areum sesekali mencuri pandang ke arah pria itu—dia terlihat berbeda, hangat, tapi tetap berwibawa. Suaranya dalam, tenang, dan setiap ucapan terasa seperti memperhatikan detail kecil dari setiap staf yang ia pandang.
"Jadi... siapa yang akan kau bawa ke tempatmu, Hyung?” tanya Taeyoon sambil menuangkan minuman ke gelas Minjoon dia menyandarkan punggungnya ke kursi dan tersenyum simpul, dia kembali menatap semua staf yang ada di sana lalu lanjut berkata.
“Sebenarnya, aku sedang butuh orang untuk bantu handle salah satu cabang yang baru direnovasi di daerah Gangnam. Café itu cukup ramai, dan aku butuh seseorang yang cepat belajar, teliti, dan bisa kerja dalam tekanan.” ujar minjoon kembali menoleh ke arah staf satu per satu. Tapi tatapannya berhenti agak lama pada Areum. Sejenak ia menatap seperti sedang mencoba memastikan sesuatu.
“Boleh aku tahu... siapa yang selama ini handle kasir dan sempat menstabilkan situasi saat sistem error?” tanyanya.
“Areum,” sahut Ji-Sung singkat.
“Oh? Menarik, kalau tidak keberatan, boleh aku bicara sedikit lebih banyak dengannya setelah makan malam ini?” ucap Minjoon pelan.
"Sebaiknya Hyung tanyakan pada Areum.. bagaimana Areum-ssi?" Tanya Taeyeon menatap Areum yang tiba-tiba menegakan posisi duduk nya
“Ah… ya, tentu.” ujar Areum gugup, jawaban Areum sempat membuat Ji-Sung sempat memalingkan wajah. Wajahnya masih datar, tapi sorot matanya tampak mengeras sesaat. Taeyoon melirik kakaknya, seolah ingin membaca reaksi itu... tapi memilih diam seolah tidak mengerti kenapa Ji-Sung bereaksi seperti itu.
Mereka akhirnya melanjutkan pembicaraan mereka sesekali menikmati makanan penutup yang di sajikan oleh Taeyoon, bahkan Minjoon dan Areum sudah berbicara untuk membahas tentang pemindahan ini. Acara makan malam akhirnya mulai mereda. Para tamu satu per-satu pamit, meninggalkan suasana rumah yang perlahan menjadi lebih sepi. Areum melirik jam di pergelangan tangannya—sudah lewat pukul sepuluh malam. Ia merasa tidak enak hati kalau harus tinggal lebih lama, dan tubuhnya pun mulai terasa lelah. Ia menghampiri Ji-Sung dan Taeyoon yang tengah berdiri di dekat meja snack kecil.
“Terima kasih banyak untuk undangannya… Saya rasa saya harus pulang sekarang. Sudah cukup malam,” ucap Areum sopan, hal itu sempat membuat Ji-Sung membuka mulut, berniat menawarkan diri.
“Kalau begitu, biar saya...” ujar nya namun belum sempat kalimat itu selesai, Minjoon menyela.
“Malam begini, tidak aman untuk pulang sendiri. Biar saya antar, sekalian ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan lebih lanjut denganmu.” ujar Minjoon yang membuat Areum buru-buru menggeleng dan mengangkat tangan kecilnya.
“Ah tidak perlu, sajangnim. Saya bisa naik taksi. Saya sudah biasa.” ujar Areum jelas merasa tidak nyaman, melihat itu Ji-Sung ikut menimpali.
“Ya, saya juga bisa...” ujar Ji-Sung yang langsung di potong cepat oleh minjoon sembari menoleh dengan tenang.
“Kamu sudah terlalu sibuk malam ini, Ji-Sung. Lagipula, aku yang minta bicara tadi, bukan? Sekalian.” ujar Minjoon yang membuat Areum bingung menatap keduanya, tapi tetap mencoba menolak secara halus.
“Saya tidak mau merepotkan, sungguh. Taxi juga cepat.” Ujar Areum yang membuat Minjoon tersenyum kecil, tapi nada bicaranya mantap.
“Kamu tidak merepotkan. Anggap saja ini bentuk apresiasi pribadi dari saya.” ujar Minjoon yang membuat Ji-Sung yang tampak ingin membalas, namun akhirnya hanya menghela napas pelan dan memalingkan wajah.
Ji-Sung tidak berkata apa-apa lagi, tapi jelas gurat kesal tergambar samar di matanya. Taeyoon melihat itu, tapi ia hanya pura-pura sibuk dengan gelasnya. Akhirnya, dengan rasa sungkan dan campur aduk, Areum pun mengangguk pelan meskipun dia ragu tapi yasudah lah pikir nya.
“Kalau begitu… saya terima saja, sajangnim. Terima kasih banyak.” ujar Areum menunduk sopan.
Mobil hitam elegan itu melaju mulus membelah jalanan malam Seoul. Cahaya lampu jalan memantul di kaca jendela, menambah kesan temaram dan tenang. Di dalam kabin, hening menggantung. Hanya terdengar suara pelan dari AC dan denting samar musik instrumental klasik yang mengalun lembut dari speaker.
Areum duduk tegak di kursi penumpang, kedua tangannya terlipat rapi di atas pangkuan. Matanya menatap lurus ke depan, namun sorotnya sesekali mencuri pandang pada pria di balik kemudi. Kim Minjoon terlihat tenang. Sikapnya kalem, profesional, dan sulit ditebak. Ia melirik Areum sekilas sebelum akhirnya membuka percakapan dengan nada tenang namun tegas.
“Areum-ssi, saya tahu kita baru bertemu hari ini… tapi saya tidak suka membuang waktu dengan basa-basi yang tidak perlu.” ucapnya, nada suaranya dalam dan terkontrol. Hal itu jelas membuat Areum langsung menoleh, sedikit gugup.
“Y-ya, Sajangnim?”ujar Areum makim gugup.
“Saya mengamati cara kamu bekerja di café Park Brew & Soul. Saya mendapat laporan langsung dari Ji-Sung dan juga melihat rekaman sistem waktu insiden kasir itu terjadi.” Ia berhenti sejenak, menatap jalan dengan fokus. “kamu tanggap, tenang, dan efisien. Itu bukan kualitas yang mudah ditemukan.” lanjut nya yang yang membuat Areum menunduk sedikit, merasa canggung.
“Terima kasih atas penilaiannya, Sajangnim,” ucap Areum dengan sopan, sambil sedikit menundukkan kepala.
Minjoon menoleh pelan ke arahnya, dan senyum tipis pun mengembang di bibirnya. Tatapan matanya yang tadi serius kini melunak, seolah penilaannya barusan benar-benar tulus. Lesung pipi yang muncul di sisi wajahnya memberikan kontras yang menarik dengan garis rahangnya yang tegas dan kokoh — menciptakan kesan manis yang tak terduga dari sosok pria yang tampak begitu berwibawa di balik kemudi.
“Langsung saja… saya ingin menawarkan kamu posisi yang lebih strategis di cabang café kami yang berada di Gangnam.” ujar minjoon yang membuat Areum sontak menoleh karena terkejut.
“Gangnam…?”ulang Areum yang membuat Minjoon mengangguk tenang.
“Ya,” jawab Minjoon, masih tenang. “Cabang itu baru akan saya tangani langsung. Saya butuh orang yang bisa saya percayai. Dan saya melihat potensi itu pada kamu.” lanjut nya yang membuat suasana di dalam mobil mendadak terasa lebih berat. Areum menggigit bibir bawahnya pelan, matanya menatap keluar jendela.
“Tapi… itu berarti saya harus pindah kerja… dan tinggal, ya?” ujar areum yang membuat Minjoon mengangguk perlahan.
“Benar. Saya tidak memaksa. Tapi jika kamu bersedia, semua kebutuhan administratif akan saya urus. Tempat tinggal sementara, tunjangan, bahkan pelatihan tambahan jika diperlukan—akan menjadi tanggung jawab saya. Tidak hanya untuk kamu, tapi untuk semua staf yang bergabung dalam tim saya. Saya percaya lingkungan kerja yang stabil dimulai dari rasa aman para pekerjanya.” ujar minjoon yang mana hal itu membuat Areum terdiam. Dadanya sedikit sesak, bukan karena tekanan... tapi karena bingung harus menjawab apa. Ia belum pernah diajak bicara seformal ini, apalagi oleh seseorang yang begitu berwibawa dan lugas seperti Kim Minjoon.
“Ini bukan keputusan yang harus kamu ambil malam ini, pikirkan baik-baik. Dan sampaikan jawabannya melalui Ji-Sung atau langsung ke saya. Kapan pun kamu siap.” lanjut Minjoon.
“Baik, Sajangnim. Terima kasih atas kepercayaannya.” ujar areum yang tanpa sadar perjalanan jauh itu berakhir mobil pun mulai melambat saat mereka sampai di depan bangunan tempat tinggal Areum. Minjoon memarkirkan kendaraan dengan rapi, lalu menoleh sebentar.
“Sampai rumah dengan selamat, Areum-ssi.” ujar nya yang membuat Areum menunduk dalam.
“Terima kasih telah mengantar saya malam ini sajangnim.” ujar Areum yang membuat minjoon mengangguk. Saat ia turun dan menutup pintu, Minjoon menatap punggungnya yang menjauh… dan tersenyum samar, seperti seseorang yang baru saja meletakkan bidak pertama di papan catur permainan besar.
"Cantik sekali... kenapa senyuman nya seperti aku kenal," ujar Minjoon masih di sana menatap Areum hingga benar benar menghilang dari pandangannya, setelah puas dia kembali menyalakan mobil nya dan pergi meninggalkan kawasan tersebut.
Tujuan nya malam ini adalah ke apartemen jihoon karena sudah hampir satu bulan lebih kakak nya itu tidak pulang ke rumah begitu juga dengan yoonjae setelah pertengkaran keduanya terakhir mereka sangat susah di temui terutama jihoon kakak pertama nya.