Bagaimana rasanya menjadi istri yang selalu kalah oleh masa lalu suami sendiri?
Raisha tak pernah menyangka, perempuan yang dulu diceritakan Rezky sebagai "teman lama”itu ternyata cinta pertamanya.
Awalnya, ia mencoba percaya. Tapi rasa percaya itu mulai rapuh saat Rezky mulai sering diam setiap kali nama Nadia disebut.
Lalu tatapan itu—hangat tapi salah arah—muncul lagi di antara mereka. Parahnya, ibu mertua malah mendukung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Barra Ayazzio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Makan Siang
"Waduh dunia sempit ya, ternyata kalian sudah kenal duluan.” Rizal menepuk bahu kakaknya, ekspresinya riang, benar-benar tak menyadari ada ketegangan halus di udara.
"Untung Kak Rezky nggak jatuh cinta sama Nadia waktu itu, kalau iya bisa runyam ceritanya sekarang." Dia tertawa lagi, disusul dengan tawa ringan Bu Aina yang merasa candaan anak bungsunya itu menghangatkan suasana.
Suara langkah terdengar mendekat dari arah ruang keluarga, semua kepala di ruang tamu menoleh hampir bersamaan. Rezky yang duduk di sebelah ibunya segera berdiri, tersenyum tipis, dan menatap ke arah sumber suara.
Dari balik ambang pintu, muncullah Raisha_istrinya. Dia tampil anggun dengan gaun berwarna pastel yang jatuh lembut di tubuhnya. Hijabnya bunga-bunga kecil warna senada, dan di wajahnya terlukis senyum sopan khas seorang istri yang tahu bagaimana bersikap di hadapan keluarga besar. Aura tenangnya membuat suasana ruang tamu yang sempat canggung mendadak lebih teratur.
"Sayang, sini sebentar. Nad, ini istriku, Raisha.”Ucap Rezky dengan nada lembut namun terdengar jelas. Ada nada bangga di suaranya, meski dibalik sorot matanya seolah ada sesuatu yang ditahan.
Raisha melangkah maju dengan sopan, menyapa Rizal, hingga pandangannya akhirnya bertemu dengan sosok perempuan yang duduk di ujung sofa_Nadia, calon istri adik iparnya.
Waktu seakan berhenti sesaat. mata mereka bertemu, ada sesuatu yang bergetar halus di udara — semacam keheningan yang berat namun tak kasat mata. Raisha menyadari, kalau Nadia itu memesona.
Rezky sempat menelan ludah. Ia tahu benar tatapan itu — tatapan yang dulu pernah membuatnya sulit tidur berhari-hari. Tapi kini, di hadapannya, Nadia bukan lagi gadis SMA yang pernah ia cintai. Ia adalah calon istri adiknya sendiri.
Raisha tersenyum ramah, tanpa sedikit pun curiga pada ketegangan halus yang melintas.
"Halo Nadia, saya Raisha kakak ipar Rizal.”Ucapnya hangat sambil mengulurkan tangan.
Nadia pun membalas dengan senyum sopan, meski jantungnya berdetak tak karuan.
"Iya, Mbak, saya Nadia, senang bisa bertemu.”
Keduanya berjabat tangan — dua perempuan dengan nasib yang kini bertaut di lingkar keluarga yang sama. Dan di antara genggaman hangat itu, hanya Rezky yang tahu betapa rumit rasa yang tiba-tiba menyeruak di dadanya.
"Kalau Mbak Lintang mana? Mobilnya ada, kok orangnya gak ada?" Rizal bertanya sambil celingak-celinguk.
"Biasa, ngajak Si Kembar jalan-jalan." Bu Aina yang menjawab.
*****
Begitu jam dinding menunjukkan pukul dua belas lewat sedikit, Bu Aina berdiri dari sofa dengan senyum lebar yang ramah namun berwibawa.
"Ayo, Nad, makan siang dulu. Udah disiapin semuanya di ruang makan.” Ajaknya dengan nada lembut, tapi caranya berbicara menunjukkan bahwa ia terbiasa memimpin rumah besar dengan teratur.
Pemandangan ruang makan keluarga Bu Aina luas dan elegan — langit-langit tinggi dengan lampu kristal yang menggantung anggun di atas meja makan marmer panjang. Di atas meja, deretan hidangan tersusun rapi dalam peralatan makan porselen bergaris emas. Ada beef wellington yang masih mengepul, udang bakar madu, salmon panggang dengan saus lemon butter, ayam kodok, serta beberapa hidangan nusantara yang ditata seperti hotel bintang lima: rendang daging wagyu, sate lilit udang, dan nasi gurih pandan.
Rizal tampak santai, seolah sudah terbiasa dengan semua kemewahan itu. Ia menarik kursi untuk Nadia dengan lembut.
"Silakan, Sayang. Ini favorit Ibu — katanya kalau ada tamu, nggak boleh cuma masak yang biasa.”
"Waaah, ini semua Tante yang masak?" Nadia terlihat kagum.
"Nggak Nad, sebagian order, sebagian ya Tante yang masak dibantu Bi Murni." Bu Aina bangga.
"Nanti ajarin Nadia masak ya, Tan. Soalnya Nadia gak bisa masak. Waktu di Canada juga, selalu beli."
"Gampang."
"Yang jago masak itu Kak Icha, masaknnya enak banget. Makanya Kak Rezky sekarang agak gemukan, gak cungkring kayak SMA dulu ya?" Rizal menoleh ke kakak iparnya itu, Raisha hanya tersenyum.
"Dulu gak cungkring juga ah, Sayang. Standar anak SMA lah." Nadia menjawab diiringi lirikan kepada Rezky. Rezky hanya bisa menahan nafas. Ternyata Nadia masih ingat perawakannya dulu.
"Oh jadi Mas Rezky dan Nadia sudah kenal sebelumnya ya?" Raisha yang memang belum tahu ceritanya, bertanya heran.
"Iya Sayang, kita teman lama." Rezky yang menjawab.
"Ooohhh." Raisha hanya ber-ooohh.
"Untung dulu Mas Rezky gak tertarik sama Nadia ya, kalau tertarik pasti gak mau deh nikah sama aku, pasti lebih milih Kak Rezky." Sekali lagi Rizal menyinggung hal tersebut. Celetukan Rizal hanya ditanggapi tawa mereka.
"Biar sekalian kenal, Nad. Lihat tuh, siapa yang baru datang. Dia tinggal di Bogor,tapi demi menyambut calon adik iparnya, dia sengaja datang ke Bandung."
Dari arah belakang muncul Lintang, kakak perempuan Rezky dan Rizal, dengan penampilan elegan, blouse sutra berwarna krem dan celana panjang putih. Di belakangnya, suaminya Bimo melangkah santai sambil menuntun salah satu anak kembarnya_Kenzo, sementara Kenzie sudah berlari duluan ke arah meja makan.
"Wah, ini Nadia?” Sapa Lintang ramah, suaranya lembut tapi berwibawa seperti Bu Aina. "Selamat datang di keluarga kami. Duh, cantik banget, pantas aja Rizal jatuh hati.”
"Terima kasih, Kak Lintang. Saya juga senang sekali bisa kenal semuanya.”
Diam-diam Raisha melirik Nadia. Hatinya bergolak, karena dia tahu, seandainya Rizal tidak jadi calon suaminya, maka Rezkylah yang akan dikenalkan dengan Nadia. Dia gak yakin Rezky akan menolak, melihat penampilan Nadia yang cantik dan elegan gitu. Apalagi ternyata Rezky sudah kenal dengan Nadia.
"Duduk, duduk,” kata Bimo sopan, sambil membantu menyusun piring makan anak-anak.
Bu Aina dengan gaya anggun duduk di ujung meja, tempat kepala keluarga biasa berada. Ia menatap semua orang. “Alhamdulillah, hari ini lengkap. Semoga ke depan, keluarga kita tambah besar lagi ya, kalau Rizal dan Nadia sudah resmi.”
Semua tertawa kecil mendengar itu. Nadia merasa hangat, meski tetap gugup. Kenzie dan Kenzo sudah duduk rapi di kursi anak, memegang sendok kecil mereka.
Suasana makan siang pun terasa begitu nyaman dan elegan. Tawa kecil, bunyi lembut alat makan beradu dengan piring porselen, dan cahaya hangat lampu kristal menciptakan kesan keluarga mapan yang harmonis.
Bu Aina pintar menjaga image-nya sebagai ibu mertua yang baik. Dia bisa menjaga diri untuk tidak berbicara ketus kepada Raisha. Terlebih lagi sebelumnya Rezky sudah bilang agar tidak terlalu keras kepada istrinya. Jadi, makan siang saat itu benar-benar terasa hangat.
Namun di antara kehangatan itu, Rezky yang duduk agak di ujung meja hanya sesekali bicara, sibuk menahan pikirannya sendiri. Sekali waktu matanya tanpa sengaja bertemu dengan Nadia — sekilas saja — tapi cukup untuk mengingatkan keduanya bahwa di balik kemewahan dan tawa ini, ada rahasia kecil yang belum benar-benar padam.