Cerita ini tidak melibatkan sejarah manapun karena ini hanya cerita fiktif belaka.
Di sebuah kerajaan Tiongkok kuno yang megah namun diliputi tirani, hidup seorang gadis berusia enam belas tahun bernama Hua Mulan, putri dari Jenderal Besar Hua Ren, pangeran ketiga yang memilih pedang daripada mahkota. Mulan tumbuh dengan darah campuran bangsawan dan suku nomaden, membuatnya cerdas, kuat, sekaligus liar.
Saat sang kaisar pamannya sendiri menindas rakyat dan berusaha menghancurkan pengaruh ayahnya, Mulan tak lagi bisa diam. Ia memutuskan melawan kekuasaan kejam itu dengan membentuk pasukan rahasia peninggalan ayahnya. Bersama para sahabat barunya — Zhuge sang ahli strategi, Zhao sang pendekar pedang, Luan sang tabib, dan Ling sang pencuri licik — Mulan menyalakan api pemberontakan.
Namun takdir membawanya bertemu Kaisar Han Xin dari negeri tetangga, yang awalnya adalah musuhnya. Bersama, mereka melawan tirani dan menemukan cinta di tengah peperangan.
Dari seorang gadis terbuang menja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 - “Bayangan di Balik Takhta”
Langit Han tampak muram pagi itu. Bukan karena badai, tapi karena kabar yang menyebar lebih cepat dari angin: Putri Hua Mulan terluka parah di medan utara, dan bangsa Xianbei telah mundur tanpa meninggalkan mayat.
Rakyat bersorak karena kemenangan, tapi para jenderal tahu kebenaran pahitnya—itu bukan kemenangan, melainkan perdamaian sementara yang dibeli dengan darah.
Di ruang penyembuhan istana, Mulan berbaring lemah di atas ranjang berhias kayu cendana. Bahunya dibalut kain putih, napasnya teratur tapi berat. Han Xin duduk di kursi di sampingnya, masih mengenakan baju perangnya yang penuh debu.
Tangannya menggenggam tangan Mulan tanpa suara.
Beberapa kali ia ingin berkata sesuatu, tapi lidahnya terasa kelu.
“Kalau kau terus menatapku begitu,” suara Mulan terdengar lirih, “aku akan berpikir aku sudah mati.”
Han Xin terkejut—lalu tertawa kecil, lega bercampur marah. “Kau ini… bahkan sekarat pun masih sempat bercanda.”
Mulan tersenyum samar. “Barbar memang susah mati.”
Han Xin menatapnya lama, lalu menunduk, suaranya nyaris berbisik. “Aku pikir aku kehilanganmu.”
“Belum semudah itu, Kaisar.”
Ia mengerling, walau wajahnya masih pucat. “Aku masih harus menagih janjimu.”
“Janji?”
“Untuk tidak membiarkanku mati sebelum kau datang.”
Tatapannya lembut tapi menusuk. “Dan kau menepatinya.”
Han Xin menunduk dalam, merasakan beban aneh di dadanya. Ia memegang jemarinya lebih erat dan saat itu pintu terbuka pelan.
Lord Yuan masuk dengan langkah berat. “Yang Mulia.”
Suara itu membuat suasana langsung berubah dingin. Han Xin berdiri, menatap tajam. “Aku tidak memanggilmu.”
Lord Yuan menunduk, tapi matanya menatap cepat ke arah Mulan. “Saya datang untuk menyampaikan laporan resmi Dewan Agung. Mengenai kondisi perbatasan dan… isu darah campuran di istana.”
Han Xin mengepalkan tangan. “Kau berani membicarakan itu di hadapanku?”
Lord Yuan tidak gentar. “Saya hanya menjalankan tugas. Jika benar Putri Hua memiliki hubungan darah dengan bangsa Xianbei, maka posisinya di dalam istana harus dipertimbangkan ulang. Banyak bangsawan mulai… berbisik.”
Suasana di ruangan itu membeku.
Mulan membuka matanya perlahan. “Kau ingin mengusirku?”
Lord Yuan menatapnya lurus. “Saya hanya ingin memastikan tak ada pengaruh luar yang mengancam Han dari dalam.”
Han Xin melangkah maju, suaranya datar tapi mengandung ancaman. “Lord Yuan, aku memberimu kehormatan sebagai Ketua Dewan bukan agar kau menggantikan kehendak kaisar. Mulai hari ini, semua urusan perbatasan akan langsung kulaporkan sendiri. Kau hanya perlu diam dan tunduk.”
Lord Yuan menunduk dalam, tapi saat ia berbalik keluar, wajahnya berubah pucat keabu—dingin, penuh kebencian.
Begitu pintu tertutup, Han Xin menghela napas panjang.
“Dia musuh dalam selimut,” gumam Mulan lirih.
Han Xin mengangguk. “Aku tahu. Tapi untuk menjatuhkannya, aku butuh bukti.”
“Dia bekerja sama dengan Xianbei,” kata Mulan pasti.
Han Xin menatapnya. “Kau yakin?”
“Aku melihat panah dengan simbol naga emas. Itu hanya dimiliki oleh pasukan penjaga istana.”
Hening sesaat. Han Xin menatap langit-langit, matanya tajam tapi tenang. “Kalau begitu, permainan mereka baru saja dimulai.”
Malamnya, Han Xin memanggil empat orang yang paling ia percayai:
Jenderal Zhao Ren, Panglima Liang Fei, dan Zhuge Wei, serta Luan si tabib wanita yang dulu menyembuhkan Mulan di medan perang.
“Mulai malam ini,” katanya pelan, “kita akan bentuk unit rahasia. Nama sandinya ‘Bayangan Timur’. Tugasnya hanya satu membongkar semua jalur pengkhianatan yang menghubungkan istana Han dengan Xianbei.”
Zhao Ren menunduk hormat. “Perintah diterima, Yang Mulia.”
Luan, yang duduk di samping, melirik Han Xin dengan ragu. “Kalau Lord Yuan tahu, dia akan menuduhmu berkhianat pada Dewan.”
Han Xin tersenyum miring. “Biarkan dia berpikir begitu. Pengkhianat sejati tak akan merasa nyaman bila berada di bawah cahaya.”
Sementara itu, jauh di utara…
----
Di istana batu Xianbei yang tertimbun salju, pria bertopeng perak—pamannya Mulan—duduk di atas takhta tinggi.
Di hadapannya berlutut dua orang berpakaian hitam.
“Bagaimana keadaannya?” tanyanya tanpa menatap.
“Putri Naga selamat, tapi terluka,” jawab salah satu dari mereka. “Dan Han Xin sendiri turun ke medan perang untuk menjemputnya.”
“Bagus.” Ia tersenyum kecil, dingin. “Biarkan mereka semakin dekat. Semakin dalam ia mencintai Mulan, semakin mudah ia hancur.”
Pria di sebelahnya berbisik, “Tuan, apakah rencana Penyatuan Utara akan dimulai?”
Senyum pamannya semakin melebar. “Belum. Aku ingin darah naga itu datang padaku sendiri. Aku ingin ia memilih.”
“Dan kalau ia menolak?”
Ia menatap keluar jendela, ke badai yang menggulung.
“Kalau begitu… aku akan menyalakan api besar. Seluruh dunia akan tahu siapa pewaris sejati tanah ini.”
Di istana Han, Mulan perlahan pulih. Luka di bahunya sembuh, tapi bayangan pertempuran masih menghantui mimpinya.
---
Suatu malam, ia berdiri di balkon tinggi, menatap bulan setengah yang menggantung di langit. Angin dingin meniup rambut hitamnya yang panjang.
Han Xin mendekat tanpa suara. “Kau belum tidur.”
“Aku tidak bisa,” jawabnya lirih. “Setiap kali memejamkan mata, aku mendengar suara pedang dan kuda menjerit.”
Han Xin berdiri di sampingnya. “Itu harga yang harus dibayar oleh mereka yang memimpin.”
Mulan menoleh. “Dan kau tidak takut?”
“Aku takut,” jawab Han Xin jujur. “Bukan pada perang… tapi kehilangan orang yang membuatku mengingat mengapa aku berjuang.”
Mulan terdiam, jantungnya berdetak cepat. “Kau bicara seperti penyair.”
Han Xin tersenyum kecil. “Mungkin karena peperangan membuatku sadar bahwa kedamaian hanya berarti jika ada seseorang yang bisa kau jaga.”
Ia menatapnya lama, mata mereka bertemu di bawah cahaya bulan.
Tak ada kata, hanya napas dan keheningan panjang yang lebih dalam dari ribuan janji.
Tapi keheningan itu pecah ketika dari kejauhan terdengar bunyi lonceng alarm.
Han Xin langsung menegang. “Itu sinyal menara barat!”
Mereka berlari keluar aula.
Di halaman utama, pasukan berlarian membawa obor. Seorang penjaga berlutut di depan kaisar. “Yang Mulia! Gudang senjata barat terbakar! Api menjalar cepat!”
Han Xin segera memberi perintah. “Padamkan api! Lindungi bahan mesiu! Jangan biarkan merembet ke istana!”
Mulan menatap arah barat api membubung tinggi, warna merah menyala di langit malam. Tapi di antara kepulan asap, ia melihat sesuatu yang aneh: seekor elang hitam terbang melingkar membawa gulungan emas di cakarnya.
“Aku tahu itu…” gumamnya. “Itu simbol keluarga ibuku.”
Han Xin menatapnya. “Kau yakin?”
Mulan menatap nyala api yang terus membesar. “Ini bukan serangan biasa. Ini pesan.”
Keesokan paginya, api berhasil dipadamkan, tapi sebagian gudang senjata habis terbakar.
Di antara puing-puing, ditemukan gulungan kecil yang selamat dari api.
Tulisan di atasnya berhuruf kuno Xianbei:
“Putri Naga, darahmu memanggilmu pulang.
Langit akan retak, dan hanya naga yang bisa menutupnya.”
Mulan menggenggam gulungan itu kuat-kuat. Han Xin berdiri di belakangnya, wajahnya tegang.
“Ini peringatan,” kata Mulan. “Pamanku bersiap untuk langkah besar.”
Han Xin menatapnya dalam. “Kau ingin ke utara lagi, bukan?”
Mulan menatap gulungan itu. “Bukan ingin. Aku harus.”
“Tidak,” potong Han Xin. “Kau baru sembuh. Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian.”
Ia berbalik, menatap lurus ke matanya. “Kau tidak mengerti, Han Xin. Ini bukan perang antar bangsa. Ini perang darah. Kalau aku tidak ke sana, mereka akan datang dengan pasukan yang lebih besar. Mereka akan menyeret rakyat Han ke dalam perang yang bukan milik mereka.”
Han Xin menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Kalau begitu, aku ikut.”
Mulan terkejut. “Kau… Kaisar.”
“Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi badai itu sendirian. Kalau dunia ingin menantang darah naga… maka biar mereka tahu, naga juga bisa punya sayap Han.”
Ia menggenggam tangan Mulan, menatapnya dengan tekad yang tak tergoyahkan.
“Mulai saat ini, kita bukan dua kerajaan. Kita satu nasib.”
Mulan terdiam, lalu perlahan mengangguk. “Kalau begitu, bersiaplah, Han Xin. Karena badai berikutnya… bukan hanya akan menguji pedang kita, tapi juga hati kita.”
Malam kembali turun.
Di utara, di istana salju Xianbei, pria bertopeng perak menatap bintang merah yang muncul di langit.
Ia tersenyum tipis.“Darah naga sudah bergerak.
Dunia kuno akan bangkit kembali.”
Badai salju mulai turun, lebih lebat dari sebelumnya—menandakan awal dari perang yang akan menentukan masa depan seluruh daratan.
Bersambung