NovelToon NovelToon
Seribu Hari Mengulang Waktu

Seribu Hari Mengulang Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:902
Nilai: 5
Nama Author: Aplolyn

"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~ Bab 21

Suasana ruangan sempat hening. Camilla menahan napas, menunggu ledakan amarah. Namun yang keluar hanyalah helaan napas panjang.

“..Tulis catatanmu di sini,” ucap Arthur akhirnya sambil mendorong tinta dan pena ke arahnya. “Tapi jangan ubah dokumen aslinya. Mengerti?”

Camilla terbelalak. “Eh? Jadi.. kau membiarkanku membantu?”

“Bukan membantu. Hanya.. menambahkan informasi tambahan. Itu saja.”

Senyum lebar langsung merekah di wajah Camilla. Ia kembali menunduk, sibuk menulis, sementara Arthur memperhatikan dari balik meja.

Beberapa jam kemudian, ketika matahari condong ke barat, Camilla meregangkan tubuhnya. Tangannya pegal, tapi wajahnya berseri-seri.

“Aku sudah selesai menambahkan catatan di hampir separuh nama. Sisanya bisa kulanjutkan besok, kalau kau mau.”

Arthur menutup dokumen yang baru saja ia baca, menatapnya lama. “Kau benar-benar aneh.”

“Kenapa?”

“Sebagian besar wanita bangsawan akan mengeluh, menangis karena diabaikan, atau setidaknya mencari cara untuk menghindari ruangan ini. Tapi kau.. menuliskan gosip di dokumen rekrutmen kesatria.”

Camilla tertawa kecil. “Mungkin itu keahlianku. Lagipula, gosip terkadang lebih jujur daripada catatan resmi.”

Arthur hanya menggeleng, tapi sudut bibirnya terangkat samar.

Mary, yang baru datang membawa teh, hampir menjatuhkan nampan ketika melihat pemandangan itu, Arthur dan Camilla duduk bersebelahan, masing-masing dengan dokumen, seolah sedang bekerja bersama.

“Yang Mulia.. ini sungguh pemandangan yang jarang..” bisiknya lirih.

Arthur berpura-pura tidak mendengar, sementara Camilla menahan tawa.

***

Malam itu, ketika Camilla kembali ke kamarnya, Mary tidak bisa menahan diri.

“Yang Mulia, anda sungguh-sungguh bekerja bersama Putra Mahkota hari ini?!”

Camilla merebahkan diri di ranjang dengan senyum puas. “Bukan bekerja. Hanya menulis gosip kecil. Tapi.. kurasa dia mulai mempercayaiku sedikit.”

Mary menatapnya dengan cemas sekaligus bahagia. “Itu pertanda baik, bukan?”

Camilla menutup mata, mengingat tatapan Arthur ketika menerima catatannya. Ada sesuatu di sana, bukan hanya kebingungan, bukan hanya kewaspadaan, tapi… seberkas ketertarikan yang tak bisa ia jelaskan.

“Ya,” gumamnya pelan. “Pertanda baik.”

***

Keesokan paginya, sinar matahari menembus jendela kamar Camilla. Ia masih berbaring, memeluk bantal dengan malas, tetapi senyuman tipis tidak hilang dari wajahnya. Mary masuk sambil membawa nampan berisi sarapan, lalu mendesah seolah sudah terbiasa melihat tuannya begitu bahagia sejak beberapa hari terakhir.

“Yang Mulia, bangunlah. Kalau anda terlambat, Putra Mahkota mungkin tidak akan menunggu anda,” goda Mary dengan nada penuh arti.

Camilla membuka satu matanya, lalu tertawa kecil. “Mary, sejak kapan kau jadi ahli membaca hati orang?”

“Sejak saya melihat Putra Mahkota duduk tenang, membiarkan anda menuliskan catatan konyol di dokumen resmi,” jawab Mary cepat. “Itu saja sudah cukup membuat semua dayang lain hampir pingsan di lorong.”

Camilla menegakkan tubuh, rambutnya yang panjang tergerai berantakan. Ia menyambar roti dari nampan, menggigitnya sambil menggumam. “Kalau begitu, biarkan saja mereka pingsan. Lebih baik begitu daripada mereka curiga aku sebenarnya hanya sedang menulis gosip murahan.”

Mary menutup mulutnya agar tidak tertawa keras. “Tapi gosip anda membuat Putra Mahkota membaca lebih lama daripada biasanya. Saya melihat sendiri beliau menekuri satu halaman hampir sepuluh menit.”

Camilla berhenti mengunyah, teringat kembali ekspresi Arthur yang serius, seolah mencari makna tersembunyi dari tulisan tangannya. Pipinya menghangat. “Itu bukan salahku kalau dia menganggap serius catatan itu. Aku hanya menulis apa yang kudengar.”

“Justru itu, Yang Mulia,” bisik Mary. “Kadang gosip bisa mengungkapkan kebenaran yang tidak tercatat.”

Siang itu, Camilla kembali melangkah menuju ruang kerja Putra Mahkota. Para pengawal di depan pintu menundukkan kepala, meski sorot mata mereka menyiratkan heran, entah karena kebiasaan Camilla yang sering mondar-mandir, atau karena keberaniannya menembus wilayah kerja seorang pria yang terkenal dingin.

Arthur sedang duduk di balik meja, pena di tangannya bergerak lincah menandatangani berkas. Ketika mendengar suara langkah Camilla, ia menoleh sebentar. Tidak ada kata sambutan, hanya tatapan singkat yang sulit diartikan.

“Sudah selesai menulis catatan kemarin?” tanyanya datar.

Camilla mengangkat map kecil dari pelukannya. “Tentu saja. Bahkan aku menambahkan beberapa hal yang mungkin menarik bagimu.”

Arthur mengangkat alis tipis. “Menarik? Dari sudut pandangmu atau dari sudut pandang istana?”

“Bukankah terkadang keduanya sama?” jawab Camilla, meletakkan map itu di hadapan Arthur dengan senyum menantang.

Arthur menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya membuka map tersebut. Ia membaca cepat, sesekali berhenti ketika menemukan catatan yang berbeda dari biasanya. Camilla, sementara itu, berusaha duduk dengan tenang meski jantungnya berdetak lebih cepat.

Beberapa menit kemudian, Arthur menutup map itu. “Tulisannya.. terlalu jujur.”

“Bukankah kejujuran yang kau butuhkan?” sahut Camilla cepat. “Di luar sana, orang-orang mungkin berbicara dengan sopan, tapi apa mereka benar-benar memberitahumu apa yang kau butuhkan?”

Arthur bersandar di kursinya, memandanginya dalam diam. Tatapan itu membuat Camilla merasa seolah jiwanya dibaca, namun ia tidak bergeming.

“Aneh sekali,” gumam Arthur akhirnya. “Biasanya aku membenci interupsi dalam pekerjaanku. Tapi entah kenapa, catatanmu.. membuatku berpikir.”

Senyum Camilla merekah, kali ini lebih lembut. “Kalau begitu, izinkan aku menulis lebih banyak lagi.”

Arthur hendak menolak, bibirnya sudah terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar. Ia hanya menghela napas, lalu menggeser tumpukan dokumen berikutnya ke arah Camilla. “Kalau kau begitu bersemangat, ada baiknya kau melanjutkannya di sini.”

Camilla hampir bersorak kegirangan, tapi ia menahan diri, hanya mengangguk cepat. “Dengan senang hati!”

Sore itu, ruangan dipenuhi suara samar pena yang bergesek dengan kertas. Camilla menunduk serius, menambahkan catatan kecil di pinggir dokumen, sesekali menggigiti ujung pena ketika berpikir. Arthur, di seberangnya, berpura-pura fokus pada pekerjaannya sendiri, meski matanya beberapa kali melirik ke arah gadis itu.

Sesekali Camilla menulis sesuatu yang membuatnya terkekeh sendiri. Arthur mendongak, menatapnya curiga. “Apa yang kau tulis sekarang?”

“Rahasia,” jawab Camilla cepat, matanya berbinar nakal.

Arthur mengerutkan kening. “Jangan sampai kau menulis hal yang tidak pantas.”

Camilla menatapnya balik, pura-pura tersinggung. “Yang Mulia, kau meremehkanku. Aku tidak pernah menulis sesuatu yang tidak pantas. Aku hanya… menambahkan bumbu agar ceritanya lebih hidup.”

“Bumbu?” Arthur menekan kata itu dengan nada skeptis.

“Ya. Misalnya, seorang kesatria terkenal mungkin memiliki reputasi gagah berani, tapi aku menambahkan catatan bahwa dia takut pada kuda. Bukankah itu informasi penting?”

Arthur menahan senyum, lalu berpaling kembali ke dokumennya. “Sungguh tidak masuk akal.”

“Tapi kau tersenyum,” balas Camilla cepat.

Arthur berpura-pura tidak mendengar, meski jelas-jelas sudut bibirnya terangkat.

Menjelang malam, Mary kembali datang membawa teh dan makanan ringan. Kali ini ia sudah lebih siap, tidak lagi kaget melihat kedua orang itu bekerja berdampingan. Namun, matanya tetap berbinar penuh arti ketika melihat betapa nyaman suasana yang terbentuk.

“Yang Mulia, apakah saya perlu menyalakan lampu tambahan?” tanyanya dengan sopan.

Arthur mengangguk. “Ya. Nyalakan semua lampu. Aku masih harus membaca laporan ini.”

Mary segera bergerak, sementara Camilla menepuk-nepuk pergelangan tangannya yang pegal. “Hari ini aku menulis lebih banyak dari kemarin. Sepertinya aku akan tidur nyenyak malam ini.”

Arthur menoleh sekilas, lalu kembali menatap dokumen. “Tidurlah cukup. Besok aku mungkin masih membutuhk..” Ia berhenti, menyadari kalimatnya hampir meluncur terlalu jauh.

Camilla menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Membutuhkan apa?”

Arthur batuk kecil, pura-pura sibuk dengan pena di tangannya. “Membutuhkan catatanmu. Tidak lebih.”

Camilla tersenyum penuh kemenangan. “Itu sudah cukup bagiku.”

Mary, yang mendengarkan dari samping, nyaris tidak bisa menahan senyum lebar. Ia tahu, sedikit demi sedikit, ada sesuatu yang mulai berubah di antara keduanya.

Malam semakin larut. Setelah kembali ke kamarnya, Camilla duduk di depan cermin, rambutnya dibiarkan tergerai. Mary sedang merapikan selimut di ranjang ketika akhirnya memberanikan diri bicara.

“Yang Mulia, anda benar-benar berhasil membuat Putra Mahkota menghabiskan waktu bersam..”

“Shhh,” potong Camilla cepat, meski wajahnya merah. “Jangan terlalu keras. Dinding ini punya telinga.”

Mary menutup mulutnya, lalu tertawa pelan. “Baiklah. Tapi tetap saja, saya tidak bisa berhenti merasa bangga.”

Camilla menatap pantulan dirinya di cermin. Ada cahaya berbeda di matanya, semacam harapan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia teringat lagi tatapan Arthur, nada suaranya, bahkan caranya menahan senyum.

Untuk pertama kalinya sejak datang ke istana, Camilla merasa.. dirinya tidak lagi hanya sekadar tamu yang diabaikan

Ia menyentuh pipinya yang panas, lalu berbisik pada dirinya sendiri. “Mungkin.. ini benar-benar pertanda baik.”

***

Keesokan harinya, istana terasa lebih sibuk dari biasanya. Dari jendela kamarnya, Camilla melihat para pelayan berlarian membawa peralatan, bendera, dan bunga segar. Ia mengernyit, penasaran.

“Mary, ada apa hari ini? Mengapa semua orang tampak sibuk sekali?”

Mary tengah menyisir rambutnya, lalu berhenti sejenak. “Ah, anda belum tahu? Hari ini akan ada pertemuan dewan perang. Para jenderal besar dan bangsawan senior akan datang.”

Camilla terbelalak. “Pertemuan besar? Jadi Arthur pasti.. sibuk sekali.”

Mary tersenyum samar. “Benar. Dan kemungkinan besar, beliau akan menghabiskan waktu seharian di ruang sidang. Anda mungkin tidak bisa menemuinya hari ini.”

Camilla mendesah, sedikit kecewa. Namun, rasa ingin tahunya lebih besar daripada rasa kecewa itu. “Kalau begitu, aku akan menulis catatan sendiri di kamar. Siapa tahu bisa kutunjukkan nanti.”

Mary terkikik kecil. “Anda sungguh berbeda dengan wanita lain. Yang lain akan sibuk berdandan untuk menarik perhatian, sementara anda sibuk menulis gosip untuk Putra Mahkota.”

Camilla menoleh sambil tersenyum nakal. “Siapa bilang gosip tidak bisa lebih berharga daripada gaun indah?”

Di ruang sidang istana, Arthur duduk di kursi utama, dikelilingi para jenderal berzirah dan bangsawan tua dengan jubah berat. Wajahnya dingin dan tegas, mendengarkan laporan perbatasan.

Namun, pikirannya sesekali melayang ke sebuah map kecil dengan catatan tangan yang rapi, map yang tadi pagi secara diam-diam ia bawa dari ruang kerjanya. Catatan itu bukan laporan resmi, melainkan tulisan Camilla.

Anehnya, di tengah tumpukan laporan serius, catatan itu terasa seperti pengingat akan sisi lain kerajaan: suara rakyat, rumor pasar, bahkan rahasia kecil yang tidak pernah sampai ke meja dewan.

“Yang Mulia,” suara salah satu jenderal memecah lamunannya. “Apakah anda setuju dengan usulan ini?”

Arthur segera fokus kembali, menyembunyikan kegundahan kecilnya. “Kita bahas lagi setelah ada data pasti.”

Meski ucapannya tenang, dalam hati ia tak bisa menyangkal, ada kalanya catatan Camilla justru terasa lebih hidup dan lebih jujur daripada laporan resmi yang bertele-tele.

***

Sementara itu, Camilla duduk di kamarnya dengan pena di tangan. Ia sudah menyiapkan beberapa lembar kosong, penuh semangat menuliskan gosip terbaru yang berhasil ia dengar dari pelayan dapur hingga prajurit jaga malam.

“Katanya, salah satu bangsawan yang akan hadir hari ini punya kebiasaan aneh, selalu membawa kantong garam di saku jubahnya. Konon itu untuk mengusir roh jahat,” gumamnya sambil menulis.

Mary yang sibuk menyulam di sisi jendela tidak bisa menahan tawa. “Anda benar-benar menuliskannya?”

“Tentu saja,” jawab Camilla mantap. “Kalau nanti Arthur membacanya, dia mungkin akan lebih waspada. Bagaimana kalau tiba-tiba bangsawan itu menaburkan garam ke arah meja sidang?”

Mary menggeleng sambil tertawa terbahak-bahak. “Hanya anda yang bisa berpikir sejauh itu, Yang Mulia.”

Camilla tersenyum puas, lalu menambahkan lagi beberapa baris. Ia membayangkan wajah Arthur yang dingin tapi diam-diam memperhatikan tulisannya, dan perasaan hangat merambat di dadanya.

Menjelang sore, pertemuan dewan perang berakhir. Arthur keluar dari ruang sidang dengan wajah letih. Para jenderal bubar, masing-masing membawa kekhawatiran sendiri.

Arthur berjalan kembali ke ruang kerjanya, melepaskan mantel beratnya, lalu duduk dengan lesu. Di meja kerjanya, sudah ada sebuah map baru berisi tulisan tangan yang sangat ia kenal.

Ia mengangkat map itu, membuka lembaran pertama. Matanya segera menangkap catatan konyol Camilla tentang bangsawan yang membawa garam. Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat samar.

“Perempuan itu..” gumamnya pelan. “Apa sebenarnya yang ia pikirkan?”

Namun, semakin ia membaca, semakin ia merasa catatan itu bukan sekadar candaan. Ada detail-detail kecil yang ternyata berguna.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!