Hagia terkejut bukan main karena dirinya tiba-tiba dilamar oleh seorang pria yang jauh lebih muda dari usianya. Sebagai seorang janda beranak satu yang baru di ceraikan oleh suaminya, Hagia tidak menyangka jika tetangganya sendiri, Biru, akan datang padanya dengan proposal pernikahan.
"Jika kamu menolakku hanya karena usiaku lebih muda darimu, aku tidak akan mundur." ucap Biru yakin. "Aku datang kesini karena aku ingin memperistri kamu, dan aku sadar dengan perbedaan usia kita." sambungnya.
Hagia menatap Biru dengan lembut, mencoba mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. "Biru, pernikahan itu bukan tentang kamu dan aku." kata Hagia. "Tapi tentang keluarga juga, apa kamu yakin jika orang tuamu setuju jika kamu menikahi ku?" ucap Hagia lembut.
Di usianya yang sudah matang, seharusnya Hagia sudah hidup tenang menjadi seorang istri dan ibu. Namun statusnya sebagai seorang janda, membuatnya dihadapkan oleh lamaran pria muda yang dulu sering di asuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Starry Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 08
Hagia menajamkan penglihatannya, mobil yang dikendarainya baru saja memasuki pekarangan rumah Malik. Namun ada sesuatu yang mengganggu pandangannya, Hasya tampak tertawa bermain dengan Fatma dihalaman. Dua wanita beda usia itu terlihat sangat akrab, sudah lama Fatma tidak mengunjungi cucunya.
"Bundaaa...." seru Hasya saat Hagia baru turun dari mobil.
"Assalamualaikum," ucap Hagia berjongkok dan merentangkan kedua tangannya.
"Alaikumsalam," sahut Hasya langsung memeluk Hagia. "Bunda, nenek datang." Hasya menunjuk Fatma, yang tersenyum pada Hagia.
"Mbah Kung mana?" Hagia menggendong Hasya berjalan menghampiri Fatma.
"Mbah Kung pelgi sama Kakek Abi." Hagia mengangguk lega, karena Malik tidak dirumah.
"Sudah lama, Bu?" tanya Hagia saat sambil menyalami tangan Fatma.
"Lumayan," sahut Fatma menatap sendu Hagia. Mata mantan menantu nya itu terlihat merah dan sembab, pasti Hagia habis menangis.
"Mbak Sri!" seru Hagia membuat wanita yang bernama Sri itu berlari menghampirinya. "Hasya masuk sama Mbak Sri dulu, ya. Cuci kaki, cuci tangan, abis itu minum susu." ucap Hagia memberikan Hasya pada Sri.
"Ayo duduk, Bu. Ibu mau minum apa?" ujar Hagia dengan nada lembut dan sopan, inilah yang membuat Fatma sangat menyukai Hagia. Sayangnya, Heru malah melepaskan Hagia.
"Tidak usah, tadi Sri sudah membuatkan ibu minuman." Fatma menunjukkan cangkir yang sudah kosong diatas meja.
"Kamu apa kabar, Nak?" Fatma meraih tangan Hagia, keduanya duduk berdampingan di kursi rotan yang ada di teras.
"Menurut ibu?" tanya Hagia, Fatma mengangguk lemah, menyesali pertanyaannya.
"Maafkan ibu, ibu tidak bisa memenuhi janji ibu." ucap Fatma menyesal. "Andai saja ibu tahu jika Heru akan senekat ini, ibu tidak akan..."
"Apa ibu tahu kalau sebenarnya Mas Heru masih mencintai wanita itu?" Fatma hanya bisa menunduk menyesal, alasannya menikahkan Heru dan Hagia adalah, agar Heru bisa melupakan Dewi. Nyatanya, Heru malah kembali bersama Dewi.
"Hagia tidak menyangka jika ibu tega melakukan ini. Ibu lihat sekarang, bukan hanya Hagia yang menjadi korban, tapi Hasya juga ." kata Hagia menahan emosi.
"Maafkan ibu," ucap Fatma tidak ada kata lain, yang bisa menggambarkan rasa bersalahnya.
"Ibu tahu, ibu egois, ibu ...,"
"Ya, ibu memang egois! Bagaimana bisa ibu menyembunyikan masalah sebesar ini dariku. Disini aku yang paling hancur, Bu!" Hagia kembali menangis. Ia benar-benar kecewa dengan Fatma.
"Ibu sangat menyesal. Ibu pikir, mengenalkan Heru dengan wanita yang lebih baik akan membuat dia melupakan Dewi, tapi ...,"
"Hagia minta, jangan sampai bapak tahu masalah ini. Katakan pada Mas Heru, jangan pernah menemui bapak." pinta Hagia. Fatma menatap sendu Hagia, lalu mengangguk pasrah.
...
Malik menikmati makan malamnya sambil sesekali melirik kearah putrinya, ada sesuatu yang mengganjal hatinya, tapi Malik masih menahannya untuk bertanya. Namun yang diliriknya terlihat tenang seperti tidak punya masalah.
"Hagia," kata Malik pelan, Hagia mengangkat wajahnya dan melihat Malik.
"Bapak mau tambah nasi lagi?" tawar Hagia, Malik menggelengkan kepalanya. "Mau Hagia ambilkan sesuatu?" tanya Hagia lagi.
"Bapak sudah selesai makannya," ucap Malik meraih gelas berisi air putih. "Kalau kamu sudah selesai, bapak ingin bicara sebentar." kata Malik beranjak meninggalkan ruang makan, menuju ruang tengah. Hagia menatap kepergian pria paruh baya itu dengan tanda tanya, karena tidak biasanya Malik mengajaknya berbicara.
Hagia menghampiri Malik setelah selesai makan dan membereskan meja makan, wanita cantik dengan bergo hitam itu duduk disebelahnya Malik.
"Bapak mau bicara apa?" Hagia meraih tangan Malik dan memijat-mijat tangan yang mulai keriput karena bertambahnya usia.
"Tadi Hasya bilang, kalau Fatma kesini." kata Malik membuat tangan Hagia berhenti memijat.
"Emm, ibu rindu dengan Hasya. Makanya ibu datang kesini," sahut Hagia tenang, tangannya kembali memijat lengan Malik.
"Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu dari bapak?" desak Malik. Hagia tersenyum tanpa beban, lalu menggelengkan kepalanya.
"Bukannya Hagia selalu cerita sama bapak, apapun itu." ujar Hagia. "Lagi pula, kenapa bapak merasa kalau Hagia menyembunyikan sesuatu dari bapak?" Hagia mendengar Malik mengambil nafas dalam-dalam.
"Bapak hanya merasa kalau ada sesuatu yang tidak bapak tahu." Malik meraih tangan Hagia yang memijat lengannya. "Jangan pernah sembunyikan apapun dari bapak." pinta Malik menarik Hagia dalam pelukannya.
Sebenarnya rasa bersalah menyelimuti hati Hagia karena tidak berbicara jujur pada Malik. Namun Hagia tidak ingin menambah beban pikiran Malik, meskipun Malik terlihat tenang, namun ia tahu jika banyak yang dipikirkan oleh pria paruh baya itu.
"Assalamualaikum," ucap seseorang dari balik pintu.
"Walaikumsalam," sahut Hagia dan Malik bersamaan. Wanita itu beranjak dan segera membuka pintu.
"Biru," ucap Hagia terkejut.
"Pak Malik ada, Mbak?" tanya Biru, Hagia mengangguk dan mempersilahkan Biru untuk masuk.
"Pak," ucap Biru mencium punggung tangan Malik.
"Ayo duduk, tumben sekali kamu datang malam-malam. Apa ada hal penting?" tanya Malik penasaran apa yang membawa Biru bertamu kerumahnya malam-malam.
"Ya, kedatangan Biru malam ini punya maksud penting." ucap Biru menatap Malik dan Hagia.
"Kalian ngobrol aja, aku buatin minum dulu." ujar Hagia meninggalkan Malik dan Biru diruang tamu.
"Jadi, kepentingan apa yang membawa kamu datang kesini?" tanya Malik semakin penasaran.
"Sebentar ya, Pak. Nunggu Mbak Hagia," kata Biru. Malik menautkan alisnya bingung, namun pria itu menganggukkan kepalanya.
"Lho, kok malah diem-dieman?" kata Hagia membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat. "Diminum teh nya, hangat kok." Hagia meletakkan secangkir teh didepan biru dan Malik.
"Aku tinggal dulu ...,"
"Mbak Hagia disini saja," cegah Biru. "Ada yang mau Biru omongin sama Mbak," sambung Biru, membuat Hagia duduk di sebelah Malik.
Pria itu meraih cangkir teh yang baru saja di suguhkan, tenggorokan Biru terasa kering. Untung saja teh yang Hagia suguhkan benar-benar hangat. Malik dan Hagia memperhatikan Biru yang terlihat gugup, tidak seperti biasanya.
"Ehem, sebenarnya kedatangan Biru kesini untuk menepati janji Biru sama Pak Malik." kata Biru. Malik dan Hagia saling menatap tak mengerti.
"Maaf, Nak Biru. Janji apa ya? Soalnya bapak lupa," kata Malik. Biru menatap Malik dan Hagia bergantian.
"16 tahu yang lalu, saat Biru mau pergi ke pesantren." kata Biru, namun sepertinya Malik masih belum ingat, apalagi Hagia yang tak tahu apa-apa. "Waktu itu, sebelum Biru berangkat ke pesantren, Biru datang kesini." Biru mengingat kenangannya 16 tahun yang lalu.
~Sixteen years ago~
Dengan mengenakan setelan baju Koko berwarna putih, lengkap dengan pecinya. Biru berlari riang menuju rumah Hagia yang memang tidak terlalu jauh dari rumahnya.
"Wah, kamu rapi sekali. Mau kemana?" tanya Malik melihat kedatangan Biru kecil.
"Biru mau berangkat ke pesantren, Pak." kata Biru tersenyum cerah.
"Pesantren? Wah, bagus itu." kata Malik. "Tapi, memangnya kamu berani tinggal di pesantren?" Malik merengkuh tubuh kecil Biru dan memangku nya.
"Berani dong, Biru mau jadi anak yang pinter. Jadi pria dewasa yang pemberani, biar bisa melindungi mbak Hagia." Malik terkekeh mendengar ocehan Biru.
"Nanti kalau Biru udah pulang dari pesantren, Biru mau melamar Mbah Hagia. Boleh kan Pak?" tanya Biru membuat Malik terkejut.
"Kamu kan masih kecil, kok malah mau melamar Mbak Hagia." Malik menggelengkan kepalanya.
"Kan Biru nanti besar, pokoknya kalau Biru pulang dari pesantren, Biru mau melamar Mbak Hagia." kata Biru membuat Malik semakin terkekeh.
"Ya, ya, kamu boleh melamar Mbak Hagia. Tapi kamu harus pinter ngaji, dan harus jadi pria pemberani." kata-kata Malik membuat bocah 10 tahun yang ada dipangkuan nya itu tersenyum lebar.
"Biru janji, Biru akan belajar ngaji sampai pinter. Biru mau melamar mbak Hagia." ucap Biru membuat Malik menciumi wajah mungil itu dengan gemas. Bagaimana bisa bocah berusia 10 tahu sudah berpikir untuk melamar putrinya, yang notabene nya jauh lebih dewasa.
"Mbak Hagia nya mana?" matanya mencari keberadaan Hagia kedalam rumah.
"Mbak Hagia masih di sekolah." kata Malik. Biru mengangguk, lalu berpamitan karena harus segera berangkat ke pesantren.
*
*
*
*
*
TBC
"Dear para readers kesayangan, tolong bantu author terima gaji🤭🤭🤭 jangan lupa like, subscribe, vote dan komen. Please jangan jadi readers ghoib 🥺"